
Pemerintah Indonesia bertanggung jawab penuh atas pergeseran wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang sudah sejak lama terjadi.
Perubahan itu memicu ancaman kehilangan ruang kehidupan bagi masyarakat pesisir yang menempati kawasan tersebut.
Salah satu yang paling dikhawatirkan, adalah kehilangan mata pencaharian sebagai nelayan tradisional.
Demikian diungkapkan Direktur Eksekutif Pusat Studi Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim kepada Mongabay, belum lama ini.
Menurutnya, persoalan pesisir harus disikapi dengan sangat bijak dan cepat oleh Negara, karena itu menyangkut ruang hidup masyarakat pesisir yang mendominasi kawasan tersebut.
Hal tersebut diungkapkannya, karena Halim mengetahui Pemerintah tengah bekerja keras mengatasi persoalan pergeseran batas wilayah di kawasan pesisir yang berpotensi menjadi pergeseran batas wilayah Negara.
Pergeseran itu bisa terjadi, karena wilayah pesisir terus mengalami kerusakan, misalnya karena abrasi.
Baca juga : Pada Timbunan Sampah Plastik
Untuk mengatasinya, Pemerintah harus memvalidasi dulu penyebab kerusakan wilayah pesisir sehingga menimbulkan abrasi.
Hasilnya bisa menjadi dasar bagi Pemerintah untuk melakukan upaya preventif.
“Bila ditemukan adanya pelanggaran hukum, sudah seyogyanya itu diproses sesuai ketentuan hukum dan Undang-Undang yang berlaku di Indonesia,” ungkapnya.
Indikasi potensi perubahan batas wilayah Negara, seharusnya tidak bisa terjadi begitu saja.
Mengingat semua wilayah Indonesia mencakup pulau dan kepulauan seharusnya sudah terdaftar secara resmi di perserikatan bangsa-bangsa (PBB).
Dengan terdata resmi, maka seberapa parah kerusakan pesisir, tidak akan mengubah batas wilayah Negara.
“Batas negara tidak hilang sepanjang sudah didokumentasikan terlebih dahulu. Seharusnya minimal sudah didaftarkan (oleh Negara ke PBB),” jelasnya.
Baca juga : Timah dan Wajah Bangka yang tak Bahagia
Rehabilitasi Pesisir
Dengan fakta itu, Pemerintah sebaiknya fokus pada perbaikan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang mengalami kerusakan.
Perbaikan sebaiknya dengan pemetaan masalah hingga ditemukan penyebabnya secara detil.
Setelah itu, baru dilakukan perbaikan dengan mengedepankan langkah preventif.
Salah satu upaya perbaikan, menurut Halim, adalah dengan melakukan koordinasi antara kementerian dan lembaga Negara terkait, seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman.
Dengan bekerjasama, maka perbaikan bisa dilakukan lebih cepat dan fokus.
“Lakukan replanting mangrove dan upaya-upaya strategis lainnya. Termasuk di antaranya pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan mangrove,” tuturnya.
Halim mengungkapkan, kerusakan di kawasan pesisir, akan berdampak pada kehidupan masyarakat pesisir, terutama nelayan setempat.
Misalnya kehilangan daratan mengakibatkan masyarakat pesisir lainnya kehilangan rumah tinggal.
Ancaman itu semakin nyata jika tidak ada upaya perbaikan dari Pemerintah.
Kehilangan kawasan pesisir berdampak pada batas wilayah pulau, maka perlu pengecekan kembali dokumentasi pengukuran tapal batas yang dimiliki Pemerintah.
Jika sudah tercatat, maka cukup dilakukan perbaikan dan pemulihan hak-hak masyarakat pesisir di kawasan itu.
Baca juga : Pentingnya Tata Ruang Laut dan Ruang Hidup Nelayan
Hak-hak itu seperti pembangunan kembali rumah tinggal apabila ditemui rusak akibat bencana alam, pelatihan pengelolaan dan pemanfaatan hutan bakau untuk keperluan ekonomi sekaligus menjaga kedaulatan tapal batas negara, dan pelatihan kebencanaan.
Dengan dipenuhinya hak-hak tersebut, maka Negara sudah melakukan tugasnya dengan baik.
“Perbaikan kawasan pesisir juga pada akhirnya kembali pulih dan bisa mengembalikan daratan yang hilang, walau waktunya lama,” ujarnya.
“Untuk melakukan itu, Negara harus melibatkan lembaga kompeten seperti BPPT (Balai Pengkajian Penelitian Teknologi) untuk merancang teknologi bagi wilayah pesisir yang abrasi,” lanjutnya.
Sepanjang 2019 setidaknya terjadi beberapakali abrasi yang parah di beberapa wilayah pesisir di Provinsi Jawa Barat dan Aceh.
Abrasi yang terjadi di Kampung Muarajaya RT 01/RW 01, Desa Pantaimekar, Kecamatan Muaragembong, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, telah merusak sedikitnya 50 rumah warga setempat.
“Itu kejadian abrasi pada tanggal 15 Juni 2019,” jelas Halim.
Kemudian, abrasi yang menggerus pesisir Pantai Jilbab di Desa Palak Kerambil, Kecamatan Susoh, Aceh Barat Daya (Abdya) pada 28 April 2019 lalu, merusak sejumlah cafe dan pondok milik warga setempat, hingga kini belum tertangani.
Baca juga : Mengembalikan Marwah Perempuan Pesisir
Ancaman Perbatasan
Sementara itu, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh. Abdi Suhufan berpendapat, kerusakan yang terjadi pada wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, terutama pada kawasan terluar yang menjadi batas Negara, sebaiknya menjadi perhatian serius oleh Pemerintah Indonesia melalui KKP dan Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP).
“Harus ada tim yang turun langsung ke sana untuk memastikan kerusakan seperti apa,” ujarnya.
Menurut Abdi Suhufan, untuk pulau yang terkena abrasi, perlu ada upaya revitalisasi melalui penanaman bakau atau dilakukan reklamasi agar fungsi ekologis pulau bisa dipertahankan.
Kemudian, harus juga ada upaya lain untuk mengelola pulau tersebut agar keberadaannya bisa menjadi daerah konservasi laut.
“Agar upaya perlindungan juga bisa berjalan optimal,” tambahnya.
Diketahui, Pemerintah Indonesia merilis informasi tentang ancaman berkurangnya batas Negara karena ada kehilangan wilayah daratan di empat pulau terluar di Provinsi Riau yang diakibatkan abrasi pantai.
Empat pulau tersebut, adalah Pulau Batu Mandi, Pulau Rupat, Pulau Rangsang, dan Pulau Bengkalis.
Informasi tersebut dirilis resmi oleh Kementerian Koordinator Kemaritiman pada akhir Mei 2019.
Baca juga : Aturan Baku Mutu Air Limbah PLTU Batubara Bahayakan Laut
Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Alam dan Jasa (SDAJ) Kemenko Bidang Kemaritiman Agung Kuswandono mengatakan, keempat pulau yang ada di Provinsi Riau tersebut diketahui mengalami abrasi parah dan sampai sekarang masih dilakukan rencana perbaikan.
Kerusakan tersebut, menjadi bahasan serius oleh Pemerintah dan mencari banyak masukan dari akademisi dan pemangku kepentingan yang terkait.
“Awalnya karena kita berbicara tentang mangrove, yang sebagian besar sekitar 52 persen di Indonesia hilang atau rusak, kemudian kita buat klaster di seluruh Indonesia, ini agar ada rehabilitasi mangrovenya,” ujarnya.
Dari penyusunan klaster tersebut, terungkap sebuah permasalahan besar yang melanda Provinsi Riau.
Ternyata, kata Agung, masalahnya tidak hanya terkait ekosistem atau lingkungan saja, tetapi ada masalah kedaulatan karena (kawasan) bakau rusak, tanahnya pun terkena abrasi.
Jika itu dibiarkan, ada kekhawatiran batas Negara akan bergeser, terutama karena wilayah empat pulau tersebut berbatasan langsung dengan Selat Malaka yang menjadi bagian dari Malaysia dan Singapura.
Tentang berkurangnya garis pantai karena abrasi ini, Agung mencontohkan, Pulau Rangsang, Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau, jumlah yang hilang telah mencapai 1 km.
Dari data yang ada, di pulau Rangsang laju kerusakan pantai berkisar antara 6,6 meter sampai 8,9 meter per tahun dan ini sudah terjadi selama puluhan tahun.
[penulis adalah kontributor Mongabay Indonesia di Jakarta]
Artikel “Abrasi Pesisir Ancam Kedaulatan Negara?” merupakan konten kolaborasi dengan Mongabay Indonesia. Konten serupa bisa dilihat di sini
Discussion about this post