
- Artikel Dony P. Herwanto
Beberapa hari yang lalu, saya menjeru ke Pondok Pesantren Agro Ekologi Biharul Ulum, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor pimpinan KH Atim Haetami. Empat hari 3 malam, saya mengadar di pondok pesantren yang menitikberatkan pendidikannya kepada kajian fiqh lingkungan.
Saya disambut hangat oleh KH Atim Haetami dan Edi Syamsi, pengasuh pondok pesantren yang getol menyadarkan para santri dan warga sekitar untuk peduli terhadap lingkungan. KH Atim Haetami duduk bersila di hadapan saya. Persis di hadapan saya. Membetulkan letak pecinya yang mulai miring ke kiri. Di samping kirinya, duduk bersila, Edi Syamsi dengan jaket kulit hitam dan sarung kotak-kotak. Menyimak dengan takzim.
“Lingkungan sudah rusak. Itu akibat ulah kedua tangan manusia,” begitu kata KH Atim Haetami memulai obrolan ringan kami. “Gunung kayuan, lamping awian, datar imahan, lebak sawahan dan legok balongan sudah tidak menjadi pegangan orang Sunda lagi,” lanjut KH Atim menyoal konsep tata ruang yang berdampak terhadap rusaknya ruang hidup manusia.
Gunung atau bukit yang seharusnya menjadi rumah bagi kayu-kayu (baca: pepohonan) sudah jarang ditemui. Yang ada, gunung atau bukit ditanami beton (baca: rumah, hotel dll). Lamping awian atau tebing yang sejatinya menjadi tempat bambu untuk hidup juga sudah berubah rumah, tempat manusia tinggal.
Datar imahan yang harusnya menjadi tempat tinggal masyarakat umum, menjadi milik pemilik modal dan capital need. Pun demikian dengan Lebak Sawahan dan Legok Balongan, sudah berubah fungi dan peruntukannya. Konsep tata ruang yang disuarakan orang Sunda zaman dahulu, sudah diabaikan.
Apa yang dikatakan kembali oleh KH Atim Haetami di atas mengingatkan saya akan tata ruang, khususnya permukiman di Kota Bogor. Kontur tanah yang labil ditambah topografinya yang berbukit, menjadikan Kota Bogor masuk urutan 461 daerah rawan bencana tingkat nasional.
Banyaknya bangunan, baik tempat tinggal maupun usaha di sejumlah tebingan di Kota Bogor menjadi sebuah ancaman serius yang kudu mendapatkan perhatian Pemerintah Kota Bogor. Tak hanya sekali, duakali, tiga kali tanah longsor terjadi di sejumlah area tebingan. Korban jiwa dan kerugian harta benda sudah tidak bisa dihitung lagi.
Gunung kayuan dan lamping awian yang seharusnya ada berubah fungsi seiring pertumbuhan dan kemajuan Kota Bogor. Saya bukannya anti pembangunan. Bukan. Tapi, anju atau mitigasi bencana, khususnya tanah longsor di kawasan tebingan harus segera dilakukan. Selagi belum terlambat.
Seyogianya, Pemerintah Kota Bogor lewat Dinas Pengawasan Bangunan dan Permukiman lebih tegas lagi. Bappeda harusnya jeli lagi mengeluarkan cetak biru pembangunan kota. BPPT juga harus cermat mengeluarkan ijin mendirikan bangunan di wilayah tebingan.
Tak ada salahnya mengingat petuah bijak orang-orang tua dahulu: Gunung Kayuan, Lamping Awian, Datar Imahan. Alangkah bijaknya jika pembangunan sebuah kota bertolak kepada kearifan lokal yang dimiliki. Kota Bogor masuk kategori rawan bencana tanah longsor. Jadi, tegaslah kepada pencari ijin mendirikan bangunan di tebingan yang jelas-jelas memiliki potensi longsor. Bukan malah sebaliknya. Memberikan ijin dengan mudah!
Saya benar-benar marah kali ini!
Tengoklah Perda Kota Bogor nomor 8 tahun 2011 tentang RTRW Kota Bogor 2011-2031 Bab VII rencana pola ruang wilayah Bagian Kedua tentang Rencana Kawasan Lindung Pasal 43 point 2.
Begini bunyinya: Rencana kawasan perlindungan setempat meliputi: a) perlindungan dan penguatan dinding pembatas sungai dan situ. b) penghijauan sempadan sungai dan situ. c) Mempertahankan kawasan resapan air untuk menjamin ketersediaan sumberdaya air dengan membatasi pengembangan kegiatan pada kawasan resapan air.
Wahai SKPD terkait, mengapa anda masih bebal dengan memberikan ijin pengembangan kegiatan di kawasan resapan air yang justru mengancam warga anda sendiri? Anda mengabaikan mitigasi yang anda ciptakan sendiri melalui Perda itu. Sadarkah anda?
Huft. Baiklah, untuk mengingatkan kita semua, pada rentang Juli – September 2016, terdapat 274 kabupaten atau kota yang terancam bahaya longsor di Indonesia. Kota dan Kabupaten Bogor, masuk di antaranya. Jadi, waspadalah sejak dini. Namaste.
Dony P. Herwanto, documentary maker, peminum kopi setia dan pembaca buku. Menulis untuk menjaga kewarasan dan ingatan.
Discussion about this post