
Dia menulis tentang rasa kehilangannya terhadap suasana Kota Bandung, yang dulu terasa asri. Dulu, saat ia menempuh kuliah sastra di Unpad.
Bandung yang genah, telah banyak berubah, namun bikin hati jadi gundah, dan bukannya membuat hati tambah betah, saat memasuki kembali kota yang penduduknya ramah dan someah. Pembangunan kerap merebut kenangan, karena banyak hal diubah secara drastis, bahkan kadang semena-mena.
“Saya merasa banyak kehilangan di Kota Bandung. Tapi perasaan kehilangan saya itu, belum seberapa, dibanding dengan mereka yang kehilangan rumah atau sawah, untuk selamanya, nun di Sidoarjo sana, yang tenggelam bersama luapan Lumpur Lapindo.”
Demikian kira-kira curhatan Arie Mp Tamba, yang dimuat pada tabloid Koktail, sekira tahun 2007. Tabloid ini, merupakan bagian dari grup Jurnal Nasional, yang bisa dikatakan, menjadi tempat menulis sesuka imajinasi berkelana.
Di tabloid ini, Arie Tamba masih berposisi sebagai Redaktur, dan saya abadi menjadi wartawan senior, hingga Koktail dan Jurnal Nasional gulung tikar, seiring dengan berakhirnya kekuasaan SBY. Jurnal Nasional memang diinisiasi oleh Presiden SBY, dan terbit perdana pada 1 Juni 2006.
Arie Tamba orang yang baik, pekerja keras, dan dengan disiplin yang bisa dikatakan cukup Spartan. Mungkin karena terlalu memacu fisiknya itu, ia terkena serangan ginjal. Beberapa temanku, wafat karena ginjal. Sebut misalnya Wan Anwar, Nandang Aradea, dan harus cuci darah. Radhar Panca Dahana, termasuk yang paling kuat, karena sejak 2005 ia harus cuci darah akibat ginjal kurang berfungsi.
Orang Batak yang satu ini, cukup lunak, walau bisa membentak. Hal ini saya rasakan benar, ketika kami sama-sama bekerja di sektor redaksi. Namun perbedaan pendapat mulai muncul, ketika saya dipindah ke bagian marketing, dan Arie Tamba menjadi Redaktur Pelaksana, mengganti Agus Sopian yang mulai sakit, lalu meninggal di kantor.
Saya seperti dipicu adrenalin, karena tiap bulan harus menutup operasional kisaran 200 juta rupiah, ketika industri media massa cetak makin muram, karena tersisih oleh kehadiran TV dan portal internet yang makin meruyak. Saya hendak menerapkan strategi marketing, tiba-tiba berbenturan dengan idealisme redaksional.
Di situ kami kuat-kuatan beradu argumentasi. Sampai di suatu hari, di kantor kami yang baru, kami berseberangan pendapat soal satu hal, dan Arie menggebrak meja. Tapi begitulah, dengan tujuan yang sama, bisa jadi beda cara dan pendapatnya.
Kami berharap, majalah Arti yang kala itu kami kelola bersama, bisa tumbuh sehat dan melejit. Majalah Arti adalah salah satu skoci dari koran Jurnal Nasional.
Namun pada akhirnya kami semua ambruk, diawali dengan terungkapnya pencurian dana nasabah di Bank Century, yang mencapai Rp 3,5 Triliun. Ternyata grup Jurnal Nasional, menggelontorkan dana tidak kurang dari Rp 400 milyar, dari keran Century. Kami tak tahu apa-apa soal itu, apalagi secara detail. Yang kami tahu, kami adalah pekerja pers.
Saya bertemu lagi dengan Arie Tamba di Bandung, pada akhir 2015, ketika Kongres Kesenian ke-4 digelar. Rupanya kami dicatat sebagai seniman nasional. Karya puisi yang saya tulis, memang pernah sebuku bersama cerpen Arie Mp Tamba, dalam buku Angkatan 2000 dalam karya sastra, yang merupakan hasil penelitian satu dasawarsa pengamat sastra Korrie Layun Rampan.
Setelah saya tinggal kembali di Bandung, praktis komunikasi dengan teman-teman di Jakarta, terputus secara intensifnya. Hanya sesekali saling sapa atau berkomentar di sosial media. Hal ini juga terjadi dengan Arie Tamba. Tahu-tahu, ada kabar duka lewat grup WA, dari Frans Ekodhanto, bahwa Tamba telah tiada.
Saya langsung merasa kehilangan, karena kami pernah begitu intens berbincang-bincang tentang seni budaya tiap pagi, di kantor Redaksi Tabloid Koktail, sebelum berubah menjadi Majalah Arti, sebelum saya dimutasi ke bagian marketing, dan sebelum perbedaan pendapat terasa memuncak.
Tiap pagi, saat Arie baru datang ke kantor, sedang saya baru akan pulang dari kantor, kami bersua dan berbincang-bincang. Meskipun sama-sama di redaksi, namun kami seperti berbeda shift dan dimensi, sebab ia datang pagi itu, justru jelang saya baru akan pulang, dan atau saya datang ia bersiap-siap pulang, selepas senja itu.
Tapi saya merindukan tawanya yang riang, yang tak pernah sampai terbahak-bahak, mencerminkan ia bukan orang yang berlebih. Aku rindu ketenangannya, kedisiplinannya, cepat dan tepat, rapi jali, yang mewakili ummatan was-sathon (manusia paripurna) dalam soal waktu.
Selamat Jalan Bang Arie, ke alam kasunyataan sangkan paraning dumadhi.
[Sumber tulisan berasal dari sini]
[Penulis adalah Kepala Sekolah di Sekolah Kewajaran Bersikap. Pernah bekerja sebagai Senior Reporter di Jurnal Nasional. Pernah bekerja sebagai Wartawan di Media Indonesia.]
Discussion about this post