Seluang.id
  • KotaHujan
  • Editor’s Pick
  • Populer
  • About Seluang
  • Login
No Result
View All Result
  • Landscape
  • Our Story
  • Art
  • Amatan & Opini
SeluangID
  • KotaHujan
  • Editor’s Pick
  • Populer
  • About Seluang
No Result
View All Result
SeluangID
No Result
View All Result

“Bagaimana Pidato Mas Tadi, Fat?” Kata Bung Karno

SeluangID by SeluangID
12 November 2018
in Our Story
Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsApp
Sukarno bersepeda di pematang sawah. Sumber: wikipedia
  • Artikel Hasan Aspahani
  • Kebun luas di belakang rumah Jalan Pegangsaan Timur 56 itu – kebun dengan beberapa pohon mangga, dan sejumlah pohon besar lain dengan sirih gading menjalari batang dari pangkalnya, dan tanaman sayur yang menjalar subur di para-para – tidak bisa meneduhkan kegelisahan Sukarno sepenuhnya. Tapi ke sanalah ia pergi jika ia perlu menenangkan hati. Juga pada malam 31 Mei 1945 itu.

    Ia merokok.

    Fatmawati sudah tahu perangai suaminya. Biasanya, itu terjadi jika keesokan harinya ada rapat besar di mana Sukarno harus memberi pidato.

    Tapi, bukankah besok tak ada rapat besar? Kecuali rapat Badan Persiapan yang dipimpin dr. Radjiman yang sudah beberapa hari ini berlangsung? Biasanya Mas akan bilang dan mengajak saya untuk menyaksikannya jika ia akan berpidato? Biasanya juga, Fatmawati akan membiarkan saja sampai Sukarno membagikan sendiri kegelisahannya.

    Menjelang tengah malam, Sukarno baru masuk ke kamar.

    “Fat, besok Mas akan mengucapkan pidato di Chuo Sangi In. Pidato yang amat penting mengenai dasar-dasar negara kita jika kelak kita merdeka,” kata Sukarno.

    “Ya, Mas. Mas sudah siapkan pidatonya?”.

    “Butir-butirnya sudah. Besok Fat ikut ya…”.

    “Ya, Mas..”

    Di Gedung Pejambon, Badan Pekerja sudah tiga hari bersidang. 1 Juni 1945 itu adalah hari terakhir, hari keempat. Fatmawati melihat banyak sekali wartawan meliput rapat itu. Lebih banyak daripada wartawan yang biasa ia lihat dalam beberapa peristiwa yang sempat ia lihat ketika mengikuti kegiatan Sukarno.

    Pembukaan pidato Sukarno di hari terakhir rapat Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai sudah merangkum, menggambarkan, bagaimana sidang berjalan dan bagaimana ide-ide dibentang selama empat hari sidang tesebut.

    “Maaf beribu maaf! Banyak anggota yang telah berpidato, dan dalam pidato mereka itu diutarakan hal-hal yang bukan permintaan tuan ketua, yaitu bukan dasarnya Indonesia Merdeka. Yang diminta ialah, dalam Bahasa Belanda, “philosophische grondslag”, dasar falsafah dari Indonesia Merdeka, ialah pundamen “filsafat, fikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat, yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi,” papar Sukarno.

    Dengan sangat santun tetapi tegas, pada tanggal 1 Juni 1945 itu, Sukarno seakan hendak mencubit – atau bahkan menampar – tokoh-tokoh tua dan pembicaraan lain dalam rapat itu. Seraya mengajukan kritik, ia menunjukkan kejeniusannya sebagai pemikir, kebesarannya sebagai pemimpin visioner.

    Pembukaan secerdas itulah yang mengantar pemaparan panjang dan lugas tentang Pantja Sila, apa yang kemudian disepakati menjadi dasar negara Republik Indonesia.

    Retorika Sukarno sangat matang. Ia mulai dengan menggugah apa arti kata merdeka, dan kenapa harus merdeka, lalu mencontohkan dengan menyebut sejumlah negara merdeka. Ia mengutip apa yang ia setuju dari pembicara terdahulu, ia mencuplik pidato Moh. Yamin, menyitir Prof. Supomo, dan memetik ide dari Ki Bagoes Hadikoesoemo.

    “Indonesia Merdeka Sekarang. Sekarang. Sekarang!” Tiga kali Sukarno mengulangi kata “sekarang”.

    Para pemuda yang ikut mendengarkan pidato itu sesungguhnya melihat ketidaksabaran Sukarno terhadap lambannya persiapan kemerdekaan itu, kekesalannya pada pihak Jepang dan para pemimpin tua lainnya yang dari pidato-pidato sebelumnya menunjukkan sikap yang sangat berhati-hati.

    Ini menempatkan Sukarno pada kubu yang sama dengan para pemuda. Kelambanan itulah yang mengecewakan para pemuda.

    “Saudara-saudara, kenapa kita sebagai pemimpin rakyat, yang mengetahui sejarah, menjadi zwaarwichtig, menjadi gentar, padahal semboyan Indonesia Merdeka bukan sekarang saja kita siarkan? Berpuluh-puluh tahun yang lalu, kita telah menyiarkan semboyan Indonesia Merdeka, bahkan sejak tahun 1932 dengan nyata-nyata kita mempunyai semboyan ‘INDONESIA MERDEKA SEKARANG’. Bahkan tiga kali sekarang, yaitu Indonesia Merdeka sekarang, sekarang, sekarang!”.

    Pada momentum inilah, pada titik gagasan itulah, antara para pemuda dan Sukarno bertemu sebuah persetujuan, apa yang kemudian digubah oleh Chairil Anwar dalam sajak yang ia tulis setahun setelah proklamasi: Bung Karno! Kau dan aku satu zat satu urat. Di uratmu di uratku kapal-kapal kita berlayar. Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak dan berlabuh.

    Pidato Sukarno diselingi tepuk tangan tanda dukungan yang menggemuruh sebagai bentuk persetujuan, pembenaran, dan dukungan atas gagasan-gagasannya. Juga tepuk tangan dari para wartawan yang meliput rapat itu.

    Di barisan kursi-kursi para istri dan hadirin bukan peserta rapat, Fatmawati menyaksikan itu semua dengan dada yang seakan hendak pecah oleh kagum dan bangga. Sukarni lalu memaparkan lima dasar yang ia rumuskan sebagai rangkuman cerdas, akumulasi dari pemahaman, pengetahuan, dan kecintaannya atas Indonesia, Indonesia yang merdeka.

    Sukarno, dalam forum itu tampil memikat, karena ia menunjukkan kelas dirinya sebagai seorang pemikir politik, sekaligus politisi yang handal, seorang ideolog, sekaligus pelaksana dari ideologi itu. Ia seorang konseptor, dan mahir pula mengkomunikasikan ide-idenya. Itulah yang membuat dia popular, memikat, dicintai, dan pantas diberi amanah sebagai pemimpin.

    Pada masa-masa itu, Sukarno menunjukkan pencapaiannya sebagai politisi dan pemimpin yang matang!

    “Bagaimana pidato Mas tadi, Fat?” tanya Sukarno di dalam mobil dalam perjalanan pulang.

    “Hebat sekali, Mas. Hebat sekali!”

    Sukarno tersenyum puas. Sampai di rumah, ia langsung menemui dan menggendong bayi Guntur. Lalu mengimami sembahyang zuhur, dan makan siang. Fatmawati amat bahagia melihat Sukarno makan dengan sangat lahap. Dengan lauk kegemarannya yang sangat sederhana: sayur asem dan tempe goreng.

    [Penulis adalah mantan wartawan. Kini bermukim di Jakarta. Giat menulis puisi dan sedang mendalami penulisan naskah film. Tukang gambar yang rajin berkeliling Jakarta]

    Artikel “Bagaimana Pidato Mas Tadi, Fat? Kata Bung Karno” merupakan konten kolaborasi dengan narakata.com, konten serupa bisa dilihat di sini

    SeluangID

    SeluangID

    Related Posts

    Catatan dari Lokasi Banjir di Pamanukan

    by SeluangID
    11 Februari 2021
    0

    Banjir di Pamanukan. Foto: Bayu Gawtama / Sekolah Relawan Penulis : Bayu Gawtama Ini memang harus dituliskan agar masyarakat...

    Chanee Kalaweit dan Kisah Pelestarian Satwa Liar

    by SeluangID
    22 Januari 2021
    0

    Chanee Kalaweit mendedikasikan hidupnya untuk kelestarian Owa. Sumber Foto : greeners.co Penulis : Linda Christanty Andaikata saya kembali ke...

    Kado 2021 Jokowi untuk Masyarakat Adat

    by SeluangID
    9 Januari 2021
    0

    Acara penyerahan SK Pengelolaan Hutan Adat, Perhutanan Sosial dan TORA di Istana Negara, Kamis, 7 Januari 2021. Foto: BPMI...

    Next Post
    Dirjen Perikanan Budidaya Kementerian KKP Slamet Soebjakto dalam acara OOC 2018 di Bali, menjelaskan tentang konsep ekonomi biru yang dijalankan Indonesia. Foto : Ditjen Perikanan Budidaya KKP/Mongabay Indonesia

    Komitmen Indonesia untuk Ekonomi Biru

    Puluhan warga Papua dan Papua Barat menggelar aksi di depan kantor KLHK sebagai bentuk penolakan aksi sepihak yang dilakukan salah satu perusahaan yang merebut hak milik hutan adat mereka. Sumber: change.org

    Hutan adalah Ibu Kami

    Para perempuan di Rabutdayo, Pulau Makeang, membawa saloy, tas yang terbuat dari bambu, dan ember untuk mengambil hasil tangkapan nelayan, Oktober 2018. Foto: Faris Bobero/ Mongabay Indonesia

    Kisah Orang Taba di Pulau Gunung Api

    Discussion about this post

    Story Populer

    • Naskah asli Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang dikoleksi wartawan B.M Diah. Sumber foto: Wikipedia

      Coretan-coretan Sukarno pada Teks Proklamasi itu

      0 shares
      Share 0 Tweet 0
    • Proklamasi, Kenapa Pindah dari Ikada ke Pegangsaan?

      0 shares
      Share 0 Tweet 0
    • Telepon Nasution dan Sarwo Edhie Setelah Pranoto Dibebaskan

      0 shares
      Share 0 Tweet 0
    • Seni dan Virtual, Antara Eksperimen dan Eksplorasi

      0 shares
      Share 0 Tweet 0
    • Kami Mengukur Curah Hujan untuk Menanam

      0 shares
      Share 0 Tweet 0
    • Banjir di Jantung Kalimantan

      0 shares
      Share 0 Tweet 0
    • Saya Tidak Panik. Saya Mengisolasi 14 Hari

      0 shares
      Share 0 Tweet 0
    # # #
    SeluangID

    Kami ingin menyajikan berita melalui cerita. Mimpi sederhana kami: mengisahkan kebenaran - walau itu kecil - ke banyak orang. Karena Dunia Butuh Cerita.

    • Amatan & Opini
    • Art
    • Catatan Redaksi
    • Kota Hujan
    • Landscape
    • Obituari
    • Our Story
    • Review

    Follow Us

    We’d like to hear from you!

    Hubungi Kami di : [email protected]

    Ikramina Residence Blok E No 1 RT 004/007 Desa Bojong, Kecamatan Kemang Kabupaten Bogor Jawa Barat, 16310

    • About Seluang
    • Beranda
    • Pedoman Media Siber

    © 2021 Design by Seluang Institute

    • Landscape
    • Our Story
    • Art
    • Amatan & Opini
    No Result
    View All Result

    Welcome Back!

    Login to your account below

    Forgotten Password?

    Create New Account!

    Fill the forms below to register

    All fields are required. Log In

    Retrieve your password

    Please enter your username or email address to reset your password.

    Log In