Seluang.id
  • KotaHujan
  • Editor’s Pick
  • Populer
  • About Seluang
  • Login
No Result
View All Result
  • Landscape
  • Our Story
  • Art
  • Amatan & Opini
SeluangID
  • KotaHujan
  • Editor’s Pick
  • Populer
  • About Seluang
No Result
View All Result
SeluangID
No Result
View All Result

Belajar Toleransi pada Masa Lalu

SeluangID by SeluangID
8 Agustus 2019
in Our Story
Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsApp
Pringadi Abdi di depan Seribu Patung, Pulau Bintan. Foto: dokumentensi Pringadi
  • Artikel Pringadi Abdi Surya
  • Festival Sastra Gunung Bintan pada November 2018 lalu meninggalkan pengalaman menarik. Dalam satu kesempatan, aku memutuskan tidak ikut makan malam bersama rombongan.

    Kulangkahkan kaki ke warung-warung yang ada di dekat hotel. Satu warung menarik minatku karena menyediakan menu kuetiau. Di warung itu juga, ramai sekali orang-orang berbahasa asing.

    Di Bintan, memang banyak sekali turis asing. Rata-rata dari Singapura dan sebagian besar beretnis Tionghoa.

    Kepulauan Riau menjadi destinasi menarik bagi mereka, karena selain alamnya yang indah, perjalanan ke Kepri bisa ditempuh tanpa naik pesawat, yakni dengan kapal laut.

    Orang-orang Singapura itu sedang memesan makanan ke penjual Melayu yang memakai jilbab sangat lebar.

    Lucunya, yang satu tak cakap berbahasa Melayu, sehingga menggunakan Bahasa Cina. Sedangkan orang Melayu juga tak cakap berbahasa Cina. Keduanya pun berbahasa isyarat.

    Entah karena sebab apa, saat asik berbahasa isyarat itu, mereka mendadak tertawa bersama.

    Sang turis pun mengeluarkan ponselnya. Ia mengajak orang Melayu berfoto berdua.

    Belum puas foto berdua, ia mengajak orang Melayu tersebut berfoto lagi bersama para turis asing lain yang sepertinya adalah keluarganya.

    Malam itu, dari meja sebuah warung kecil di Bintan, kusaksikan pertunjukan kemanusiaan.

    Tak mengenal batas negara, agama, etnis, maupun bahasa. Toleransi itu ada dan nyata.

    Beberapa hari sebelumnya, baru kupelajari mengenai hubungan Melayu dan Cina yang sedemikian erat.

    Orang Melayu yang terkenal sebagai anak dagang menyebar luas di Kepulauan Riau yang kemudian menjadi pusat perdagangan.

    Berbagai bangsa berdatangan. Cina yang terbanyak, di antaranya orang Hokkian, Kwong Foe, dan Tio Tjioe.

    Letak geografis kawasan Melayu yang berhadapan dengan selat Melaka menjadikan persaudaraan Melayu dengan orang Cina sangat terbuka.

    Hubungan Melayu dan Cina itu terekam pula pada beberapa karya sastra di antaranya Sejarah Melayu, Silsilah Kutai, dan Hikayat Merongmahawangsa. Hikayat Merongmahawangsa mengisahkan hal yang menarik.

    Dalam hikayat tersebut dikisahkan seekor burung garuda terbang ke negeri Cina lalu menyambar putri di sana dan membawanya ke Pulau Langkawi.

    Dalam sebuah perjalanan, perahu Raha Merongmahawangsa dirusak burung garuda yang sama sehingga terdampar ke Langkawi.

    Di sana sang raja bertemu sang putri sehingga akhirnya membina kasih. Pertemuan kedua budaya, Melayu dan Cina, juga menjadi sebuah akulturasi.

    Menurut Keotjaraningrat (1983), akulturasi adalah proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadap-hadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing.

    Namun, unsur-unsur tersebut lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri.

    Akulturasi tersebut bisa kita lihat dalam karya sastra lain, yakni Syair Kawin Tan Tik Cu.

    Terdapat banyak pembauran mulai dari Bahasa, pakaian, makanan, dan kebiasaan makan antara Melayu dan Cina.

    Syair Kawin Tan Tik Cu merupakan salah satu karya sastra Melayu klasik berbentuk naskah kuno yang disimpan di Leiden.

    Karya ini dianggap penting karena menampilkan kisah menarik yang menampilkan ritual perkawinan orang Cina yang menggunakan adat Melayu.

    Pada syair ini, keluarga Baba Tik Sing (orang Cina) memberi nama anak-anaknya juga dengan nama Melayu, yakni Riau, Asa, dan Kalsi.

    Nama-nama pakaian Melayu seperti kasud, songkok, kain tudung, pancung serong, selepa, jambak, sunting merak, dan sanggul dikenakan juga oleh orang Cina.

    Makanan yang juga begitu sentral perannya juga mengalami pembauran dengan penyebutan masak cara Cina cara Melayu.

    Nasi astakona khas Melayu yang merupakan lambang dari berbagai sajian yang dihidangkan pada suatu perayaan juga disebut dalam syair ini.

    Sampai di sini, aku berpikir betapa indahnya, apabila kita memahami bahwa pada masa lalu dua budaya bisa bertemu dan mengalami akulturasi.

    Toleransi itu nyata, bukan hanya orang Melayu yang hormat kepada orang Cina, tetapi juga orang Cina hormat kepada orang Melayu.

    Sampai kini, sebenarnya toleransi itu masih terjaga meski ada upaya untuk merusaknya (seperti kasus Tanjung Balai).

    Di Kepri, berbagai wihara berdiri kokoh dan bahkan menjadi kebanggaan masyarakat setempat.

    Sebut saja Vihara Kstigarbha Bodhisatva yang menjadi salah satu destinasi unggulan Kepri dengan patung seribu wajahnya.

    Dana pembangunan wihara ini sebagian besar dari komunitas Tionghoa di Singapura.

    Hubungan baik yang menunjukkan toleransi itu bukan hanya terjadi dengan orang Melayu.

    Orang Jawa juga pernah mengalaminya. Dalam salah satu versi sejarah Majapahit, pemimpin Majapahit saat itu, Rani Suhita, membebaskan orang-orang Cina yang saat itu sebagian besar beragama Islam berdagang di pesisir Jawa, dan bahkan menduduki posisi pemerintahan.

    Ketika belakangan ada demo untuk menurunkan lampion di Solo, seharusnya para pendemo tersebut membaca ulang sejarah. Bahwa lampion sudah diakulturasi oleh budaya Jawa.

    Lampion (tênglong/燈籠) sudah ditiru menjadi lampu Ting oleh Keraton Surakarta, dan dikirab keliling keraton Kasunanan Surakarta, untuk menyambut malam selikuran, yakni malam ke-21 Ramadhan.

    Pada Melayu, pada masa lalu, seharusnya kita berkaca, bahwa kita pernah bisa begitu bertoleransi, hidup berdampingan bersama-sama.

    Namun kini, sedikit perbedaan saja, kenapa ada upaya untuk memecahkan rasa kebersamaan tersebut?

    Mari kita renungkan.

    Pringadi Abdi Surya, Penulis buku PHI dan commuter Citayam – Jakarta. Sekarang bekerja di Ditjen Perbendaharaan. Catatan pribadinya bisa disimak di catatanpringadi.com.

    SeluangID

    SeluangID

    Related Posts

    Catatan dari Lokasi Banjir di Pamanukan

    by SeluangID
    11 Februari 2021
    0

    Banjir di Pamanukan. Foto: Bayu Gawtama / Sekolah Relawan Penulis : Bayu Gawtama Ini memang harus dituliskan agar masyarakat...

    Chanee Kalaweit dan Kisah Pelestarian Satwa Liar

    by SeluangID
    22 Januari 2021
    0

    Chanee Kalaweit mendedikasikan hidupnya untuk kelestarian Owa. Sumber Foto : greeners.co Penulis : Linda Christanty Andaikata saya kembali ke...

    Kado 2021 Jokowi untuk Masyarakat Adat

    by SeluangID
    9 Januari 2021
    0

    Acara penyerahan SK Pengelolaan Hutan Adat, Perhutanan Sosial dan TORA di Istana Negara, Kamis, 7 Januari 2021. Foto: BPMI...

    Next Post
    Sumber foto: http://perempuan.aman.or.id/

    Bersuaralah Senyaringnya, Sekeras-kerasnya

    Superego, EP perdana mereka dirilis ulang di Brighton, UK. Foto : dok. Superego

    Superego, Jatinangor – Brighton dalam Kepingan Album Fisik

    Sukarno, Hatta dan dr. Radjiman. Sumber foto: www.narakata.com

    Semua Kerja yang Telah Dimulai Harus Dituntaskan!

    Discussion about this post

    Story Populer

    • Pembacaan Proklamasi kemerdekaan RI oleh Sukarno di Pegangsaan. Sumber foto: Wikipedia

      Proklamasi, Kenapa Pindah dari Ikada ke Pegangsaan?

      0 shares
      Share 0 Tweet 0
    • Coretan-coretan Sukarno pada Teks Proklamasi itu

      0 shares
      Share 0 Tweet 0
    • Seni dan Virtual, Antara Eksperimen dan Eksplorasi

      0 shares
      Share 0 Tweet 0
    • “Kami tak Ingin Lingkungan Ini Rusak,” kata Yanto

      0 shares
      Share 0 Tweet 0
    • Banjir di Jantung Kalimantan

      0 shares
      Share 0 Tweet 0
    • Telepon Nasution dan Sarwo Edhie Setelah Pranoto Dibebaskan

      0 shares
      Share 0 Tweet 0
    • Menanam Kebaikan, Tumbuh Kebaikan

      0 shares
      Share 0 Tweet 0
    # # #
    SeluangID

    Kami ingin menyajikan berita melalui cerita. Mimpi sederhana kami: mengisahkan kebenaran - walau itu kecil - ke banyak orang. Karena Dunia Butuh Cerita.

    • Amatan & Opini
    • Art
    • Catatan Redaksi
    • Kota Hujan
    • Landscape
    • Obituari
    • Our Story
    • Review

    Follow Us

    We’d like to hear from you!

    Hubungi Kami di : [email protected]

    Ikramina Residence Blok E No 1 RT 004/007 Desa Bojong, Kecamatan Kemang Kabupaten Bogor Jawa Barat, 16310

    • About Seluang
    • Beranda
    • Pedoman Media Siber

    © 2021 Design by Seluang Institute

    • Landscape
    • Our Story
    • Art
    • Amatan & Opini
    No Result
    View All Result

    Welcome Back!

    Login to your account below

    Forgotten Password?

    Create New Account!

    Fill the forms below to register

    All fields are required. Log In

    Retrieve your password

    Please enter your username or email address to reset your password.

    Log In