
- Artikel Dony P. Herwanto
Sesaat, nafas Febtinus terhenti. Siang itu, sekira pukul 13.00 wib, 3 orang siswanya meregang nyawa di anak Sungai Borofino, Desa Balombaruzo, Kecamatan Gomo, Kabupaten Nias Selatan, Sumatra Utara.
Memang, siang itu, langit di Desa Balombaruzo sedang pekat keungu-unguan. Angin bertiup kencang. Berbeda dari biasanya. Febtinus sedang merapikan meja kerjanya saat mendengar kabar bahwa Kristina Hulu, Putri Hulu dan Roberton Tavenae hanyut di sungai yang jaraknya dari sekolah sekira 4 kilometer.
Memang hanya sungai kecil. Lebar hanya 5 meter. Tapi anak Sungai Borofino itu seperti ingin menyampaikan pesan bahwa jangan pernah menganggap remeh lebar sungai. Buktinya, sudah banyak orang hanyut di sungai itu. Tak terkecuali 3 murid Febtinus. “Dua diantaranya itu murid yang baru saja kami terima bersekolah di sini,” kata Febtinus, Kepala SD Balombaruzo Orahua.
***
Siang itu, selepas sekolah, Viterman Hulu, siswa kelas 1 SMP Balombaruzo mengajak keempat temannya, Kristina Hulu, Putri Hulu, Roberton Tavenae dan Restu Hulu untuk mencari buah yang terletak di bibir anak Sungai Borofino. Berlima, mereka berjalan kaki sejauh 4 kilometer. Naik turun bukit. Menembus kebun kakao.
Viterman lebih dulu sampai di bawah pohon jambu. Disusul Kristina, Putri dan Roberton. Sementara, Restu masih tertinggal jauh di belakang. Langit makin pekat. Angin juga makin kencang. Viterman dan 4 temannya tak menyadari jika di gunung, hujan sudah turun. Deras. Sangat deras. Tidak seperti biasanya.
***
Febtinus bergegas meninggalkan ruang kerjanya. Dia ingin memindahkan sepeda motornya ke tempat yang lebih aman jika nanti terjadi turun hujan. Tak jauh dari sekolah, ada rumah adat milik mantan kepala desa, begitu warga menyebutnya, warga tak terbiasa menyebut nama seseorang. Hanya jabatannya saja.
Sepeda motor sudah berada di tempat yang aman jika benar-benar turun hujan. Lagi, Febtinus bergegas berlari ke ruang kepala sekolah. Merapikan dokumen-dokumen siswa yang baru yang belum lama diterima. Empat diantaranya, Kristina, Putri, Roberton dan Restu. “Dua orang itu murid yang baru saja kami terima. Dokumennya saja belum kami terima,” ungkap Febtinus.
***
Viterman, Kristina, Putri dan Roberton berdiri di tanah yang mereka tidak sadari akan mencelakakan mereka. Air sungai mulai deras, tanah yang mereka injak, ambles. Berempat, mereka terseret arus yang begitu deras. Kecuali Restu Hulu.
Restu Hulu hanya bisa berlari menjauh dari lokasi. Dia berlari menuju rumahnya. Mengabarkan kepada ibunya, bahwa empat temannya jatuh ke sungai dan hanyut. Kebetulan mereka berlima masih ada hubungan keluarga.
Yumiati Tavenae, ibu Roberton Tavenae bergegas berlari ke rumah orangtua Kristina dan Putri Hulu. Mengabarkan bahwa anak-anak mereka jatuh dan hanyut di sungai yang lokasinya tak jauh dari rumah mereka.
***
Bagai tersambar petir, Febtinus menerima telepon dari salah satu warga yang ikut mencari korban. Ia mengabarkan bahwa 3 muridnya hanyut terbawa arus sungai. Dia buru-buru berlari menuju sepeda motor di samping rumah adat. Tanpa pikir panjang, Febtinus memacu sepeda motornya menuju tempat kejadian perkara (TKP). Di sana sudah berkumpul banyak warga dan orangtua korban.
Febtinus tak habis pikir. Dalam sehari, dan dalam tempo sekejab, tiga muridnya menghembuskan nafas terakhir. Anak-anak sekecil itu sudah harus kembali ke surga. Tempat yang dijanjikan.
“Hari itu juga, (3 September 2018) Kristina dan Putri Hulu ditemukan sudah tidak bernyawa. Sementara, Viterman dan Roberton ditemukan pada 5 September 2018,” jelasnya.
***
Dalam makam yang sama, Kristina Hulu, Putri Hulu, Viterman Hulu dan Roberton Taevane disemayamkan. Berbagai mainan dan barang-barang kesayangan mereka ikut serta. Bahkan, 4 akta kelahiran pun dibungkus dalam kantong plastik yang sama dan diletakkan di atas makam bersama bunga-bunga kamboja.
“Mereka anak-anak baik. Tidak nakal di dalam kelas,” kata Febtinus yang ikut menghadiri acara pemakaman yang lokasinya tidak jauh dari rumah Kristina Hulu dan Putri Hulu.
***
Hilarius Duha, Bupati Nias Selatan tak bisa menyembunyikan kesedihannya. Duka sangat mendalam. Hanya menggelengkan kepala saat mendengar ada 4 siswa sekolah di wilayahnya hanyut di sungai dan meninggal. Duduknya lemas. Sangat lemas.
Hilarius Lahir di Telukdalam, Nias Selatan, 21 Oktober 1962. Mantan Kasubdit Cyber Crime Polda Metro Jaya itu seperti tertampar. Siwa Sanuwu Sihono yang dijadikan program kerjanya harus segera dijalankan. Itu jika tidak ingin banyak jatuh korban lagi.
Seperti yang tertulis di beberapa media, salah satunya detik.com Hilarius mengatakan, pihaknya sedang menginventarisasi titik-titik sungai mana saja yang sering atau ramai dilewati anak-anak sekolah. Terutama sungai yang rawan banjir.
“Di daerah kami terlalu banyak titik sungai. Ada sungai yang lebarnya mencapai 120 meter, 100 meter, ada juga yang lebarnya kecil-kecil,” ucap Hilarius.
Hilarius juga mengatakan kondisi anak-anak sekolah yang menyeberangi sungai itu memang banyak dialami di daerahnya. Dia menggambarkan tak semua desa memiliki sekolah.
“Ada 2 desa ya, sekolah itu cuma ada di desa satunya, sehingga anak-anak itu terpaksa menyeberang sungai untuk sekolah ke desa satunya lagi,” jelasnya.
***
Febtinus memimpin upacara bendera. Dengan suara bergetar, dia meminta kepada semua muridnya untuk mendoakan arwah ketiga temannya, Kristina Hulu, Putri Hulu dan Roberton Tavenae. “Semoga mereka mendapatkan surga. Amin,” kata Febtianus.
Kisah ini ditulis dari pengakuan Febtinus dan berita dari detik.com
Dony P. Herwanto, documentary maker, peminum kopi yang setia dan pembaca buku. Menulis untuk menjaga kewarasan dan ingatan.
Discussion about this post