- Artikel Pebriansyah Ariefana
Rumah, menjadi mimpi untuk sebagian pekerja di kota besar seperti Jakarta. Mempunyai rumah berarti ada tempat berteduh dari panas dan hujan, yah tidak terlalu berlebihan mungkin. Namun untuk sebagian orang, tidak harus rumah untuk tempat berteduh, bisa saja tempat tongkrongan atau juga warung kopi? Tapi sampai kapan berteduh di kedua tempat itu?
Di Jakarta, pekerjanya dihadapkan dengan cita-cita punya rumah, tapi harganya selangit. Jika tak bisa beli rumah tapak, rumah susun atau apartemen bisa jadi pilihan. Jika tak mampu keduanya, maka menyewa rumah tapak atau rumah susun/apartemen. Tapi sampai kapan untuk terus menyewa?
Kalau pun ada rumah murah, jaraknya akan jauh dari Ibu Kota tempat bekerja. Mempunyai rumah jauh, kemacetan Jakarta akan menghantui (selamanya). Sementara pendapatan buruh di Jakarta berbanding lurus dengan kebutuhan yang dikeluarkan. Jadi mempunyai gaji besar di Jakarta dan tinggal di Jakarta, akan berbanding lurus.
Jadi, ini yang ingin saya ceritakan?
Sebagai jurnalis yang berkantor di Jakarta, saya menghabiskan waktu 5 jam untuk perjalanan rumah ke kantor dan kembali ke rumah dengan bermotor. Jika naik commuter line atau kereta listrik, bisa memakan waktu kurang lebih 6 jam pulang dan pergi.
Bahkan saya melewati 3 provinsi dan 4 kota. Yaitu Provinsi Banten, Jawa Barat dan DKI Jakarta. Untuk kabupaten/Kota, saya melewati Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang Selatan, Kabupaten Bogor dan Kota Jakarta Selatan.
Perjalanan ini sudah seperti traveling bukan? Jelas iya. Saya harus membawa pakaian ganti 1 buah dan peralatan mandi, jaga-jaga Jakarta dikepung banjir atau ketinggalan kereta jika pulang larut malam.
Saya tak tahu, bagaimana jika pekerja selain jurnalis seperti saya? Apakah sampai sebegitu ‘lebay’-nya?
Keputusan untuk menjadi ‘daily traveler’ dimulai 2013 lalu. Saat itu saya dihadapi dengan 2 pilihan, membeli rumah atau apartemen, uang sudah terkumpul paling tidak untuk membayar down payment (DP) atau uang muka.
Pilihan pertama sebuah apartemen di kawasan Jalan Pramuka, Jakarta Timur. Nama apartemennya sama dengan nama jalan itu, dan sempat bombastis belum lama ini karena masalah pengelolaan. Tapi tidak fokus ke masalah itu.
Harga yang ditawarkan saat itu sangat terjangkau untuk pekerja kelas menengah. Cicilannya di bawah Rp1,5 juta sebulan. DP-nya pun, di bawah Rp30 juta.
Lokasi apartemen sangat strategis, dekat dengan pusat kota dan ujung kota. Selain itu, agak bebas banjir. Lainnya? Intinya itu strategis. Tak sampai 20 menit untuk ke Monas.
Pilihan kedua, sebuah rumah tipe 22 di kawasan dekat Serpong. Ini rumah yang saya tempati kini, seberapa jauh? Sudah saya jelaskan sebelumnya.
Kedua pilihan itu, di masanya sangat membingungkan. Saya ingin tempat tinggal yang strategis untuk hidup dan dekat dengan pusat logistik atau pasar. Selain itu, tempat tinggal yang minimalis dan tidak terlalu direportkan dengan perawatan. Terakhir, hunian yang terjangkau. Di masanya, semua ada di kedua hunian itu.
Apartemen
Tapi akhirnya, saya dihadapkan dengan sebuah realita, apartemen lebih banyak kekurangannya. Ini dilihat dari kebutuhan dan pendapatan. Mempunyai apartemen memang praktis dari sisi perawatan, tapi harus keluar biaya ekstra untuk bayar keamanan dan kebersihan kawasan.
Selain itu biaya pemeliharaan tanaman dan fasilitas umum. Semua dikelola oleh pihak pengembang atau swasta. Belum lagi listrik dan air yang bergantung dengan pengembang juga.
Misalnya saja, biaya perawatan apartemen di kawasan Jakarta Selatan dekat Stasiun Duren Kalibata sampai Rp7 jutaan per tahun. Catatan, nilai itu akan terus bertambah seiring inflasi dan penaikan harga.
Tapi harga yang dibayarkan sejalan dengan fasilitas yang disediakan, kolam renang, taman olahraga, taman bermain dan lain-lain. Selain itu, keamanan terjamin dan dikelola secara profesional. Ditambah, jika apartemen itu dekat dengan mall. Pengurusan pembelian apartemen pun akan lebih sederhana birokrasinya, cukup duduk di satu loket pembelian, dan isi ini itu.
Unit apartemen bersertifikat hak guna bangunan (HGB) sudah ditangan Anda, kalau sudah bayar lunas uang muka dan cicilan pertama. Satu lagi, unit apartemen sekilas milik Anda, tapi sebenarnya tidak. Anda hanya mempunyai hak guna bangunan yang akan diperpanjang beberapa tahun sekali. Biasanya 20 tahun sekali.
Rumah Tapak
Bukan berarti rumah tapak lebih baik dibanding rumah susun. Rumah tapak lebih memakan waktu pengurusan pembelian, semua dilakukan sendiri. Selain itu banyak ‘ritual’ yang harus dilewati. Semisal boking fee, memantau pembangunan, akad kredit, sampai pengurusan perubahan HGB ke surat hak milik (SHM). Nah, rumah ini baru usah milik Anda dari sisi bangunan dan tanah.
Ketika sudah membayarkan uang pembelian rumah tapak, kerepotan belum berakhir. Biaya rumah tapak yang dibeli belum siap huni. Anda harus merenovasi tiap bagian. terutama membangun pagar, mengganti keramik, membuat dapur, renovasi kamar mandi, sampai perbaikan genteng bocor. Sampai kini, saya masih melakukan itu, memperbaiki genteng bocor.
Hal yang tidak akan Anda temui jika membeli apartemen atau rumah susun. Uang ekstra dikeluarkan, lebih dari setengah harga rumah itu sendiri. Yap, ini yang nggak enak. Tapi ada ungkapan, sekali bayar mahal akan dipakai selamanya.
Sebenarnya kelebihan rumah tapak yang ada di sebuah perumahan, memberi kesempatan warga ‘baru’ untuk membentuk koloni baru. Membuat sistem dan aturan sendiri. Mulai membuat kepengurusan RT/RW, sistem birokrasi iuran, sampai mengelola dana sosial. Ini dilakukan sendiri, tanpa ada campur tangan pihak swasta.
Tantangannya klasik, menyatukan persepsi puluhan sampai ratusan kepala menjadi satu. Oh satu lagi sekadar catatan, saya tinggal di perumahan non-elit. Tidak ada campur tangan pengembang. Urusan dengan pengembang putus saat rumah dan fasilitas publik terbangun. Bahkan hubungan saya sekarang hanya dengan bank saja untuk bayar cicilan.
Jarak Jauh
Konsep rumah, bagi saya tempat istirahat yang harus sangat terpisah dengan dunia bekerja. Meski seringkali, bekerja di rumah. Intinya, tidak ada suasana bekerja dan hiruk pikuk kesibukan sebuah kota di rumah. Tidak ada suara bising industri.
Saya lebih setuju kawasan permukiman dipisahkan dari kawasan bisnis dan industri. Mungkin jaraknya minimal 10 km. Dengan begitu, konsep istirahat bisa dimaknai dengan benar. Meski konsep seperti ini dikatakan jadul oleh ahli tata kota yang pernah saya wawancarai.
Menurut mereka, konsep smart city saat ini ‘one stop life’, serba terintegrasi dan serba praktis. Jika konsep kota terpisah menurut fungsinya, maka kawasan bisnis dan industri akan menjadi kota mati di malam hari. Secara prinsip integrasi saya setuju, tapi jika kawasan itu disatukan, saya tak sepakat. Secara pribadi, itu tak nyaman.
Pilih mana?
Untuk kebutuhan sementara, saya akan pilih apartemen, cocok untuk pekerja baru dan lajang. Serta pekerja yang tidak terlalu banyak mengeluarkan kebutuhan ini itu. Tentu jika mempunyai gaji cukup, tidak harus besar.
Untuk kebutuhan masa depan, rumah tapak lebih prioritas. Terutama yang memilih untuk berkeluarga di masa depan. Rumah tapak juga lebih nyaman untuk Anda yang suka bersantai di taman dekat pintu rumah.
Soal jauhnya akses rumah dengan tempat bekerja, carilah permukiman yang dekat dengan akses transportasi, terutama commuter line. Paling tidak waktu tempuh stasiun ke rumah Anda maksimal 30 menit.
Satu lagi, semakin lama Anda menunda beli rumah, harganya semakin mahal. Kalau ada rumah murah, pastikan rumah itu tidak dibangun di atas tanah bermasalah.
Selamat resah….
Pebriansyah Ariefana, wartawan suara.com, terkadang folding biker, terkadang commuter.
Discussion about this post