- Catatan Yudi Ahmad Tajudin
Di sekitar tahun 1999, tak lama setelah Teater Garasi menyelesaikan perjalanan pentas keliling Endgame (Samuel Beckett) di beberapa kota di Jawa, ada sebuah workshop penting diselenggarakan di gedung Societet Taman Budaya Yogya: workshop Butoh untuk beberapa seniman muda Yogyakarta, yang diberikan oleh Yukio Waguri, salah satu murid seniman besar yang menciptakan dan mengawali Butoh, Tatsumi Hijikata.
Beberapa seniman Teater Garasi waktu itu (Sri Qadariatin, Gunawan Maryanto, Verry Handayani dan Jamaludin Latif –dua nama terakhir kini tak lagi bergabung dengan Teater Garasi), mengikuti workshop yang merupakan awal pertemuan kami, Teater Garasi, dengan Butoh. Saya sendiri hanya sempat datang dan menyaksikannya dari luar di hari terakhir.
Workshop itu, meski singkat, kemudian ternyata menjadi bagian yang cukup penting dalam perjalanan pembelajaran dan jelajah estetika Teater Garasi. Paling tidak untuk Gunawan Maryanto dan Sri Qadariatin, dua seniman Teater Garasi yang saya kira paling intens mempelajari Butoh dan mengadaptasi serta mengapropriasinya dalam tubuh dan kesenian mereka.
Gunawan Maryanto, bersama Sri Qadariatin, Verry Handayani dan Jamaludin Latif, kemudian membuat pertunjukan non-verbal di tahun 2001, berjudul “Repertoar Hujan”, yang berangkat dari beberapa kalimat atau frasa, yang disebut Gunawan Maryanto sebagai “puisi-puisi yang gagal atau belum selesai”.
Pijakan estetika pertunjukan yang memang sejak awal diniatkan untuk lebih mengoptimalkan bahasa tubuh dan meminimalkan bahasa verbal itu, salah satunya adalah estetika ketubuhan Butoh.
Repertoar Hujan kemudian dipentaskan berkali-kali di beberapa kota di Jawa, dan pada tahun 2005 diundang untuk dipentaskan di International Physical Theater Festival di Tokyo, yang diselenggarakan oleh Storehouse Theater Company dan The Japan Foundation. Yukio Waguri hadir di sana. Yukio Waguri juga di tahun-tahun itu beberapa kali mengajak Sri Qadariatin dan Gunawan Maryanto berkolaborasi dalam karya-karya Butoh-nya.
Saya tidak terlalu memahami Butoh, suatu kesenian, beberapa orang menyebutnya teater-tari, yang pertama kali diciptakan oleh Tatsumi Hijikata dan Kazuo Ohno di akhir tahun 50-an. Saya hanya tahu, di satu sisi, Butoh dilatarbelakangi situasi keterpurukan Jepang pasca bom atom di Hiroshima dan Nagasaki yang mengakhiri Perang Dunia II, dan di sisi lain, di tahun-tahun 50-an itu lingkungan seni avant-garde Jepang begitu intens dan terbuka memasuki percobaan-percobaan yang berani yang mendialogkan antara ‘yang tradisi’ dan sumber inspirasi yang lain (tradisi yang lain) yang datang dari manapun.
Pada tahun-tahun akhir 90-an itu, kami, Teater Garasi, sedang bergiat membaca dan mempelajari estetika seni pertunjukan dari banyak sumber. Kami sedang mengalami transisi dan dihadapkan pada sekian pertanyaan eksistensial, selepas dari kampus, selepas Indonesia 1998, yang tak kami punya jawabannya. Kami membaca dan mementaskan Beckett, mengadaptasi Jean Genet dan Lorca, serta beberapa penulis drama dari luar Indonesia yang lain.
Kami juga membaca Peter Brook, Grotowski dan Barba, yang kemudian mengantarkan kami pada pembacaan atas gagasan-gagasan performance studies yang dibawa Richard Schechner dan estetika Tanztheater Jerman.
Di tahun 2001, kami memutuskan untuk membangun apa yang disebut Barba sebagai ‘training culture’: program pengolahan modal dasar keaktoran yang cukup intens dan sistematis. Estetika ketubuhan Butoh menjadi salah satu pilar bangunan training culture yang dijelajahi aktor-aktor Garasi waktu itu (5 hari seminggu, 5-8 jam sehari), di samping sistem bela diri Bangau Putih, tari klasik Jawa, Bali dan Topeng Indramayu.
Dan, saya lupa tahun persisnya, di tahun-tahun pertengahan 2000-an, di salah satu rangkaian acara FKY, di gedung Societet, saya ingat: saya berdiri dan bertepuk tangan dengan bersemangat seusai menyaksikan nomor tunggal Butoh karya Yukio Waguri. Sialnya saya lupa judulnya.
Tapi saya ingat, dengan kostum dan rambut palsu yang mengesankan seorang gelandangan tua, Yukio Waguri buat saya waktu itu seperti tengah dan telah melepaskan diri dari bayang-bayang Tatsumi Hijikata, gurunya, dan hadir sebagai master butoh yang lain. Sepenuhnya. Dan mata saya berkaca-kaca.
Jika ukurannya popularitas, Yukio Waguri mungkin tak sepopuler master butoh yang lain, seperti Min Tanaka atau Eiko-Koma. Tapi buat saya, buat Teater Garasi, Yukio Waguri memiliki arti yang besar.
Pada derajat yang lebih ringan, ingatan saya saat ini, dalam mengenang ia yang pergi memasuki alam yang lain pagi tadi, memutar lagi peristiwa kecil di tahun 2006: Yukio Waguri menemukan saya semaput di toilet sebuah sake bar di Tokyo, lalu membangunkan dan memapah saya kembali ke lingkaran pesta perpisahan rombongan Teater Garasi dan Kunauka Theater Company, seusai mementaskan hasil kolaborasi kami, Mnemasyne, di Suzunari Theater, Shimokitazawa. Tentu saja dia mengejek saya habis-habisan. Sebagaimana teman-teman keparat saya dari Teater Garasi.
Tak ada whisky, minuman kesukaanmu, di rumah saya malam ini, Waguri-san. Hanya ada sekaleng bir dan alkohol fermentasi buah nanas yang dibuat warga kampung di pinggiran utara Jakarta yang kampungnya belum lama ini digusur dengan buldoser yang dikawal ratusan tentara. Tetapi saya meminumnya, dan mengenang pertemuan kita.
Dengan kesedihan yang tak bisa sepenuhnya kupahami.
Yudi Ahmad Tajudin, sutradara Teater Garasi.
Discussion about this post