
Penulis : Dony P. Herwanto
Sebelum lebih jauh, saya harus memperkenalkan diri. Di mana hingga tulisan saya buat status saya adalah Pasien Dalam Pengawasan (PDP), yang tengah menjalani isolasi.
Pekerjaan yang saya geluti saat ini menuntut untuk berinteraksi dengan banyak orang. Covid-19 yang menjadi pandemi saat ini bukan menjadi suatu yang mengerikan, minimal bagi saya. Tapi juga tidak bisa dianggap enteng.
Ya, bagaimana tidak, kalau saya tidak bertemu kolega, bagaimana saya harus menafkahi keluarga? Sedangkan ketika Covid-19 menjadi pandemi, beberapa event harus dibatalkan.
Kisah ini berawal dari Kamis, 12 Maret 2020. Saya mengalami sesak di dada kiri. Itu membuat saya sulit tidur. Rasa sesak itu muncul ketika harus menarik nafas, kembali tibul ketika batuk atau bersin.
Saya coba mencari tahu terkait gangguan yang saya alami. Informasi yang saya dapat mengarah ke jantung. Istri saya yang memang tenaga medis menyarankan saya untuk periksa saat itu juga. Di tengah malam itu juga.
Saya ingin mengabaikan permintaan istri. Toh sakit ini masih bisa ditahan. Pikir saya demikian. Wanita yang memberikan saya satu anak laki-laki itu pun luluh. Mungkin dia melihat saya kuat menahan rasa sakit itu.
Sayangnya, usai azan subuh, saya baru bisa menikmati tidur.
Jam 8 pagi, alarm berdering, tanda sudah waktunya kembali beraktivitas. Rasa sesak masih ada, tetapi hanya ketika batuk dan tidak sesakit seperti malam kemarin. Seperti biasa sarapan pagi, sambil menghubungi beberapa tim karena siangnya akan ada pertemuan mengenai event yang akan kami garap di 20 Maret 2020.
Seusai menutup komunikasi dengan tim, tak lama istri menghubungi untuk segera cek keluhan semalam. Saya memaklumi mengapa dia setakut itu.
Dengan berat badan 100 kilo gram, serta pola hidup yang kurang sehat, makan seenaknya, rokok dan vape, menjadi alasan kekhawatirannya. Saya tak menyalahkannya.
Saya diminta untuk memeriksakan jantung. Karena alasan tersebut saya datang untuk periksa, dan meeting untuk event pun diwakilkan oleh tim yang lain.
Sesampainya di IGD, saya langsung diobservasi. Dokter pun menyarankan untuk EKG. Alat sudah terpasang dan hasilnya bagus, ya bagus. Dokter hanya menyarankan berhenti merokok dan vape.
Setelah minum obat, rasa nyeri itu hilang. Merasa kembali sehat, Jumat 13 Maret, saya kembali beraktivitas, bertemu beberapa klien di pagi hingga sore. Agendanya, koordinasi hasil pertemuan.
Karena merasa sudah sehat, pada 14 Maret saya bertolak ke Bandung, seperti biasa prepare, dan koordinasi. Badan rasanya letih. Saya tetap harus paksakan untuk pulang di malam itu juga. Tentunya setelah menyelesaikan beberapa konsep acara.
Sampai Bogor sudah tengah malam, tanggal 15 Maret. Saya mengalami diare cukup parah hingga 25 kali. Serangan itu membuat saya lemas. Hingga akhirnya saya meminum obat untuk menghentikan serangan itu. Dan berhasil.
Di luar sakit yang tengah menyerang saya, ada kabar status “lockdown” di sejumlah tempat. Itu membuat saya tidak bergairah. Beberapa klien mengirim surat tentang pembatalan acara. Bagai sudah jatuh tertimpa tangga pula. Status grup whatsapp pekerjaan juga sama, mengeluh atas kabar “lockdown“.
Kesal, lemas, tapi tak berdaya semua membuat pasrah. Yasudahlah, saya harus gigit jari bulan ini, hanya itu yang ada dalam pikiran. Ditambah batuk yang tak kunjung berhenti, membuat saya berpikir, lebih baik di rumah saja.
Tanggal 16 Maret, batuk semakin parah. Kebetulan, adik memang ada jadwal untuk cek lab di salah satu laboratorium di Bogor. Saya mengambil kesempatan untuk membeli obat batuk.
Setiap saya batuk, beberapa orang memandang sinis. Ah apa peduliku. Dan akhirnya saya memilih menunggu di dalam mobil.
***
Semua terlihat normal dan biasa saja, sampai Jumat 20 Maret. Laiknya seorang lelaki, saya bersiap untuk berangkat solat Jumat. Ketika hendak berangkat, saya diminta untuk tetap di rumah saja dan melakukan sholat di rumah, ini karena batuk yang saya alami.
Saya mulai penasaran, kenapa 1 botol obat batuk belum mampu menyembuhkan saya. Akhirnya, saya dan istri berinisiatif cek ke puskesmas. Sesampainya di puskesmas kami diarahkan langsung ke IGD rumah sakit. Tanpa berpikir panjang, langsung kami bertolak menuju RS.
Kecurigaan, ketakutan mulai bermunculan ketika saya harus masuk ruang isolasi. Saya sempat bertanya kepada istri, kenapa aku di ruangan berbeda? Emang aku sakit apa?. Dokter bilang kamu mengarah ke Covid-19, kata istri.
Dari saya masuk ruang isolasi, saya harus menggunakan aplikasi komunikasi dengan istri. Baju khusus disiapkan oleh perawat untuk saya. Pelayanan serba hygenis saya dapatkan di RS ini. Ruangan dengan wastafel lengkap dengan sabun dan hand sanitizer, masker hingga sarung tangan.
Di ruang tersebut saya ditemani satu perawat khusus lengkap dengan Alat Pelindung Diri (APD). Sample darah sudah diambil, hingga saya diharuskan untuk rontgen. Saya kembali bertanya tentang kondisi saya kepada istri.
Karena selama saya di ruangan isolasi info hanya diberikan kepada keluarga yang menunggu. Sampai istri mengabari saya bahwa dia harus isolasi 14 hari dan tidak dapat masuk kerja.
Wow. Saya shock. Beberapa kawan memang memberi support ketika mengetahui saya harus diisolasi. Saya tak henti-hentinya bertanya. Mah aku positif? Nggak, kan? Istriku masih menjawab agar aku tenang, belum mas cuma hasil rontgen-mu buruk. Astagfirullah. Saya lemes dan, ah sudahlah. Cobaan apalagi ini, Tuhan.
Istri kembali memberi kode untuk saya angkat telpon, Mas, kamu harus dirujuk ke Jakarta. Sontak aku menjawab tidak, emang di Bogor nggak ada?. Penuh mas, tapi sedang diusahakan oleh management rumah sakit.
Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya saya mendapatkan slot di RSUD di Kabupaten Bogor. Segala persiapan diatur oleh istri. Begitupun dengan pihak rumah sakit, tak henti-henti menyemangati saya sambil menyuntikan alat infus. Saya tak pernah dapat pelayanan IGD semaksimal ini. Hanya itu yang bisa saya syukuri.
Pukul 22.30 wib, tanggal 20 Maret, ambulance membawa saya menuju RSUD Kabupaten Bogor. Pukul 23.15 wib saya sampai rumah sakit. Sayang, saya tak bisa langsung turun dari ambulance. Harus menunggu sampai area clear.
Saya turun dari ambulance dengan ditemani perawat dengan memakai APD lengkap. Laiknya seorang artis yang baru turun dari mobil mewah menuju red carpet penuh dengan orang disamping lengkap dengan pengawal di sisi depan dan belakang. Orang hanya memandangi sambil menutup hidungnya dengan barang seadanya.
Di rumah sakit tempat saya dirujuk, saya ditempatkan di IGD dadakan dengan fasilitas seadanya. Ya, saya akui ini epidemic, tak banyak rumah sakit siap. Semua fasilitas yang saya dapat di rumah sakit sebelumnya tak saya dapatkan di sini, mulai dari kamar mandi tak layak, hingga tidak ada persiapan yang diberikan maupun diinfokan.
Tak ada perawat khusus sehingga saya dan istri sempat kesulitan ketika butuh sesuatu. Saya berada di ruangan ini hingga 21 Maret pukul 19.00 wib. Setelah itu, saya dipindah ke ruangan rawat inap yang laik.
Pagi, 22 Maret sekira pukul 6. 00 wib, saya meminta kepada suster yang jaga untuk masker yang baru. Karena yang saya gunakan sudah hampir 1 hari lebih. Kembali miris bahwa masker tidak tersedia, tidak hanya untuk pasien bahkan untuk perawat itu sendiri.
Saya mencoba mencari masker yang sesuai dengan masker yang saya gunakan. Ada. Tapi sayang harganya terlalu tinggi bagi pekerja seperti saya. Saya urungkan niat untuk membeli. Terpaksa pakai masker yang ada meski tidak dianjurkan. Mau bagaimana lagi.
Tadinya, kalau memang harga normal, saya ingin membeli beberapa box untuk saya dan perawat di ruangan ini. Tapi ya sudahlah, harga masker tersebut bahkan lebih mahal dari harga cicilan motor bulanan saya.
Itu sedikit bagaimana saya bisa menyandang status PDP hingga saat ini saya masih harus menunggu 1 kali tes untuk menyatakan status saya negatif atau positif Covid-19.
Saya hanya bisa berdoa, semoga epidemi ini dapat surut dengan cepat. Yang pasti, saya menulis ini tidak untuk membuat orang menjadi paranoid. Takut. Cemas atau apa. Ini cara saya agar orang-orang tetap di rumah. Karena dengan di rumah penyebaran virus itu akan melambat.
Di sini sudah tak banyak ruang, bukan berarti rumah sakit menolak pasien, bukan. Ini soal sumber daya manusia. Di rumah sakit ini, saya selalu bertemu dengan perawat yang sama setiap hari. Setiap hari.
Saya tidak kuat untuk membayangkan, jika ada 50 pasien yang harus ia tangani. Pasien tanpa didampingi keluarga.
Beruntung, saya memiliki istri yang tenaga medis. Saya tahu cara bagaimana harus mandi, berganti pakaian walau dengan infusan masih terpasang.
Tak terbayangkan jika semua orang ingin dilayani, ingin ganti baju di waktu yang bersamaan karena tak ada keluarga yang bisa membantu.
Sekali lagi, saya tak kuat untuk membayangkn itu. Tak kuat.
***
Sayangi diri kita, keluarga, dan orang lain. Nikmati hari bekerja bersama keluarga. Di sini banyak perawat yang tak dapat bertemu keluarga karena mereka tak ingin menjadi reciver.
Banyak yang memilih untuk tetap tinggal di rumah sakit, daripada harus menjadi reciver virus kepada keluarga dan lingkungannya. Hargai mereka dengan tidak keluar rumah. Salam dari saya, dari Seruni 110.
*Ditulis ulang berdasarkan pengakuan yang bersangkutan. Tentunya, ini sudah melalui ijin yang bersangkutan.
Discussion about this post