
Belum lama ini, Presiden Joko Widodo menggelar Rapat Kabinet Terbatas (Ratas) di Istana Negara, Jakarta. Dalam kesempatan itu, Presiden memerintahkan jajarannya untuk mempercepat penyelesaian masalah pertanahan dan sengketa lahan (konflik agraria) yang hingga hari ini belum menemui titik terang.
Sudah bukan rahasia umum, konflik rakyat dengan perusahaan swastaw, perkebunan negara (BUMN) maupun konflik agraria antara rakyat dengan pemerintah terus meruncing akhir-akhir ini. Itu belum termasuk penertiban konsesi yang bermasalah.
Baca juga : Membedah Ketimpangan Agraria di Indonesia
“Kami berharap, hasil Ratas dan perintah Presiden ini tidak menguap. Sebab, kami mencatat dalam bulan Februari, Maret dan di awal Mei Presiden memimpin Ratas dengan pembahasan yang hampir serupa,” jelas Dewi Kartika, Sekjend Konsorsium pembaruan Agraria (KPA).
Pendeknya, lanjut Dewi, telah beberapa kali Presiden memberikan perintah-perintah semacam ini sejak awal tahun 2019.
Selama ini, menurut KPA, jajaran kementerian terkait seperti Kementerian ATR/BPN, KLHK dan Kementeerian BUMN justru menghindari langkah penyelesaian konflik agraria bersama rakyat, dan kembali pada kerja-kerja bussines as usual, dimana masalah konflik agraria dengan rakyat dipandang sebagai problem adminsitrasi hukum semata, bukan sebagai problem keadilan sosial.
“Komitmen Ratas ini juga akan menguap kembali jika para pimpinan daerah (gubernur dan bupati) tidak diperintahkan untuk mengambil langkah yang sejalan dengan agenda ini,” paparnya.
KPA mencatat, satu dekade Pemerintahan SBY telah mewariskan konflik agraria yang ditunjukkan dengan 1.770 kejadian konflik agraria yang dialami 926.700 kepala keluarga, disertai penangkapan 1.534 petani dan masyarakat adat di banyak tempat di Indonesia.
Dengan warisan semacam itu, saat Pemerintahan Jokowi-JK mulai memimpin, masalah konflik dan ketimpangan agraria menjadi pekerjaan rumah yang ditunggu penyelesaiannya oleh masyarakat luas, utamanya petani, penggarap, buruh tani, dan masyarakat adat.
Namun, lanjut Dewi, langkah pemerintah belum serius. Dalam 4 tahun terakhir ini, para menteri terkait enggan menyentuh wilayah-wilayah konflik agraria yang bersifat struktural untuk diselesaikan dalam kerangka reforma agraria.
Baca juga : Membuka Kotak Pandora Hak Guna Usaha
Seperti tertulis dalam rilis yang diterima Seluang.id, sejak 2015 – 2018, terjadi 1.769 kejadian konflik agraria di seluruh provinsi (Catatan Akhir Tahun KPA, 2018).
KPA mengkritisi unit-unit penyelesaian konflik dan sengkreta agraria yang ada di ragam kementerian dan lembaga negara (pusat dan daerah) karena terbukti tidak sanggup berbuat banyak.
Sebab konflik agraria adalah problem lintas sektor pemerintahan, sehingga unit tersebut tidak dapat menyelesaikan konflik agraria lintas sektor secara tuntas dan berkeadilan.
“Diperlukan langkah korektif yang cepat dan sistematis, yang langsung dipimpin dan diawasi oleh Presiden untuk menyelesaian konflik agraria di Indonesia,” jelasnya.
KPA meminta Presiden Joko Widodo untuk memimpin dan mengawasi secara berkala langkah-langkah penyelesaian konflik agraria sesuai dengan perintah dalam Ratas lalu.
Bahkan, Presiden Jokowi seharusnya menggunakan kecepatan dan ketepatan penyelesaian konflik agraria sebagai langkah melakukan evaluasi kinerja para menteri.
Baca juga : Upaya Mengupas Borok Agraria
Dewi menambahkan, sebenarnya, terdapat beberapa langkah untuk mempercepat proses ini. Presiden segera memerintahkan para menteri terkait untuk membuka data konsesi-konsesi perusahaan (perkebunan, kehutanan, tambang, properti); HGU, HTI, HGB, Perhutani/Inhutani, ijin tambang) yang telah menyebabkan ketimpangan dan konflik agraria; merugikan dan melanggar hak-hak masyarakat.
Segera overlay data-data konsesi tersebut dengan data-data wilayah hidup rakyat yang telah dilaporkan dan diusulkan berulangkali kepada pemerintah (pusat-daerah) untuk diselesaikan dalam kerangka reforma agraria.
Dengan demikian, imbuh Dewi, presiden dapat mengganti acara-acara penyerahan sertifikat melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) dengan acara pelepasan dan pengeluaran desa-desa, kampung-kampung, sawah, kebun masyarakat, ladang pengembalaan, tambak, fasilitas umum dan fasilitas sosial masyarakat dari klaim tanah (hutan) negara, HGU dan konsesi lainnya.
KPA mengingatkan, langkah ini hanyalah permulaan dari agenda kebangsaan kita yang belum dilaksanakan, yaitu melaksanakan reforma agraria sejati sesuai dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 dan Tap MPR No.IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
“Pointnya, tertibkan konsesi-konsesi perusahaan penyebab ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia,” pungkasnya.
[Tulisan diolah dari rilis Konsorsium Pembaruan Agraria]
Dony P. Herwanto, documentary maker, peminum kopi yang setia dan pembaca buku. Menulis untuk menjaga kewarasan dan ingatan.
Discussion about this post