
- Artikel Dony P. Herwanto
[KotaHujan – Bogor] Lima tahun implementasi UU No. 6 tahun 2014 tentang desa hingga hari ini masih menyisakan pekerjaan rumah yang tidak mudah, meski pemerintah telah menggelontorkan anggaran Dana Desa dari APBN mencapai Rp 257,7 triliun untuk tahun anggaran 2015-2019.
Hasil refleksi Seknas FITRA dalam diskusi bertajuk “Desa Melek Anggaran untuk Pembangunan Desa yang Responsif Gender dan Inklusif” belum lama ini memberi catatan, antara lain, masih terjadi disharmoni kebijakan antar regulasi turunan UU Desa, misalnya, Permendes 16/2018 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa 2019 tidak sinkron dengan Permendagri No. 20/2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa.
“Ketidaksinkronan tersebut terlihat dari pengaturan Nomenklatur Belanja dalam APBDesa,” kata Misbah Hasan, Sekjen Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA) seperti tertulis dalam rilis yang diterima seluang.id.
Selain itu, lanjut Misbah, mandat bagi Kabupaten/Kota untuk menerbitkan Peraturan Bupati/Walikota tentang Daftar Kewenangan Desa masih banyak dilanggar. Menurutnya, dari 74.957 Desa, baru sekitar 20 persen yang sudah menetapkan Perbup/Perwali tentang Daftar Kewenangan Desa tersebut.
Hingga akhir 2018, Satuan Tugas Dana Desa (Satgas DD) menerima 14.291 pengaduan dari masyarakat dan baru 5.067 aduan yang diproses. Sedangkan pengaduan yang terkait Dana Desa sebanyak 1.371.
“Khusus kasus korupsi Dana Desa ada 181 kasus. Kasus korupsi ini melibatkan 184 tersangka termasuk 141 Kepala Desa. Per Semester I 2018 Penyimpangan Dana Desa mencapai Rp 40,6 Milyar,” jelas Misbah mengutip hasil penelitian ICW tahun 2018.
Menurut Misbah, dari aspek transparansi dan partisipasi masyarakat, sebagian besar desa sudah membuat publikasi APBDesa melalui baliho/website desa, namun masih sebatas ringkasan, sehingga tidak bisa digunakan secara maksimal untuk peningkatan kualitas partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan dan penganggaran desa.
Melihat fenomena tersebut, Seknas FITRA merekomendasikan beberapa hal, diantaranya mondorong koordinasi yang lebih intensif antar kementerian yang membidangi isu desa, yakni Kemendesa, PDTT, Kemendagri, dan Kemenkeu untuk duduk bersama ketika akan menerbitkan suatu regulasi, sehingga tidak membingungkan Pemerintah Desa dan masyarakat.
“Kementerian terkait, perlu memberi teguran atau bahkan sanksi kepada Kabupaten/Kota yang belum menerbitkan Perbup/Perwali tentang Daftar Kewenangan Desa sesuai aturan yang berlaku,” terang Misbah.
Selain itu, imbuh Misbah, peran masyarakat desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam melakukan pengawasan dan audit sosial terhadap pengelolaan keuangan Desa harus diperkuat.
“Penguatan kapasitas ini bisa dilakukan atau disupervisi oleh lembaga penegak hukum, seperti Inspektorat (APIP), Kejaksaan, Kepolisian, dan lain-lain, bukan terjun langsung melakukan pengawasan dan pemeriksaan yang justru menyuburkan praktik korupsi di desa,” paparnya.
Sementara itu, menurut Badiul Hadi, Manager Riset Seknas FITRA, pemerintah pusat harus mempertahankan dan mendorong pemerintah desa untuk meningkatkan kualitas transparansi dan akuntabilitas pengelolaan anggaran desa.
“Pemberdayaan masyarakat melalui literasi anggaran, skill advokasi, dan pendalaman demokrasi di tingkat desa harus diperkuat dengan penyelenggaraan Sekolah Anggaran Desa (Sekar Desa) dan membetuk Posko Pengaduan Warga,” pungkasnya.
[Tulisan diolah dari rilis yang dikirim Seknas FITRA]
Dony P. Herwanto, documentary maker, peminum kopi yang setia dan pembaca buku. Menulis untuk menjaga kewarasan dan ingatan.
Discussion about this post