
Tiga gelas es kopi Suspresso (susu espresso) tersaji di hadapan kami, lengkap dengan pisang bakar dan singkong goreng yang masih mengepul.
Cuaca Bogor siang itu cukup terik, tapi tempat kami berkumpul lumayan adem karena rimbun pepohonan di sekitarnya.
Rumpun bambu di dinding tebing tak jauh dari tempat kami duduk, turut menambah hawa sejuk di Jong Cigombong Koffie.
Suasana yang asri, sajian khas kedai kopi, dan hangatnya perbincangan, melarutkan kami hingga sore menjelang.
Hari itu saya, A Rizza, dan Rajib berbincang tanpa arah tentang banyak hal, mulai dari persoalan komunitas, politik, lingkungan, kopi, hingga musik.
Semua mengalir deras dalam percakapan kami. Kami mengomentari berbagai persoalan kehidupan, bertindak bak para ahli yang memahami kehidupan ini lebih dalam daripada siapa pun.
Obrolan khas warung kopi yang banyak kami selingi dengan tawa, meski berkali-kali berpikir keras mencari jawaban ke dalam diri masing-masing.
Baca juga : Melihat Hidup Secara Utuh
Persoalan yang cukup mendominasi obrolan kami adalah “bagaimana idealisme tetap bertahan di tengah gempuran propaganda media dan industri?”. Berat.
Mengapa masyarakat kita saat ini cenderung individualis dan serba instan? Kami yang saat ini tengah berjempalitan menumbuhkan gerakan-gerakan anak muda menghadapi tantangan ini dan seringkali gagap menemukan formula untuk memecahkannya.
Rasanya, sebagian besar manusia saat ini, khususnya anak muda, cenderung mengejar produktivitas, prestasi, ekonomi, yang sayangnya seringkali memicu kita untuk mengambil jalan pintas.
Kita tidak lagi berorientasi pada proses, melainkan hasil yang sifatnya utopis dan semu.
Lalu kita mengalami krisis eksistensial dan cenderung menghiraukan keadaan sekitar.
Ketika kami bertiga duduk santai menikmati kopi dalam waktu luang seperti ini, kami tampak tertinggal dari arus kehidupan manusia lainnya.
Baca juga : Sebuah Cerita dari Segelas Kopi
Fransiskus Simon dalam bukunya Kebudayaan dan Waktu Senggang mengatakan bahwa krisis eksistensial peradaban muncul dalam simptom hilangnya nilai-nilai luhur dan mendasar dalam hidup.
Manusia tak lagi mempunyai prioritas hidup. Dan krisis tersebut disebabkan karena manusia telah membunuh waktu senggang sehingga kehilangan kesempatan menilai dan evaluasi; kehilangan daya untuk menghimpun kekuatan dan menyusun strategi.
Kita selalu dikejar-kejar untuk melakukan percepatan dalam segala hal. Tapi tentu kita perlu menilik lebih jauh waktu senggang yang dirujuk oleh Simon tersebut.
Pada masa Yunani Kuno, waktu senggang bagi orang bebas (bukan budak) diisi oleh diskusi-diskusi tentang kebenaran dan upaya-upaya menjunjungnya; berefleksi tentang berbagai gelagat peristiwa kehidupan yang telah, sedang dan akan ada; berdistansi dan berabstraksi dengan realitas yang digauli, dan seterusnya. Maka lahirlah pemikiran-pemikiran filsuf pada masa itu.
Menurut Josef Pieper yang juga disitir oleh Simon, berfilsafat adalah berwaktu senggang. Waktu senggang yang semestinya dimengerti dengan jelas sebagai sikap mental dan spiritual; “sikap menerima”, sikap kontemplatif, sikap yang tak hanya membiarkan segala peristiwa berlalu begitu saja.
Dengan berwaktu senggang, para filsuf dan pemikir sanggup melemparkan ide-ide yang bernas, merefleksikan riwayat pengalaman, bahkan mengkritisi dan menggugat Tuhan, hidup, alam, dan dirinya sendiri, lantas menggelindingkan sejarah baru.
Baca juga : Kami Terjepit dan Kami Harus Melawan
Waktu Senggang yang Sempit
Tetapi pemaknaan waktu senggang dari waktu ke waktu mengalami pergeseran. Jika para filsuf memaknai waktu senggang sebagai sebuah ajang untuk “melihat ke dalam diri”, manusia saat ini malah mencerabut dirinya sendiri untuk keluar dan menyelimutinya dengan kesenangan-kesenangan artifisial, atau justru semakin menjebak diri pada lingkaran-lingkaran percepatan yang kosong.
Kemudian terbentuklah kebudayaan yang semakin jauh dari nilai-nilai luhur yang memanusiakan manusia.
Pieper menandaskan waktu senggang adalah perayaan, yang mengutip Karl Kerenyi sebagai perpaduan dari ketentraman (transquillity), kontemplasi (contemplation), dan kesungguhan hidup (intensity of life).
Saat ini, manusia mendefinisikan perayaan sebagai pesta pora. Padahal, jika kita melihat lebih jauh sejarah masyarakat tradisional di berbagai penjuru dunia, perayaan justru merujuk pada aktivitas pemujaan terhadap keilahian, sesuatu yang bersifat transenden, bukan seremonial yang menghamburkan sumber daya.
Lihat saja bagaimana kebanyakan dari kita menghabiskan waktu senggang kita. Sebagian besar diisi dengan bermalas-malasan, tidak berpikir atau melakukan apa pun.
Ada juga yang memaknai waktu senggang sebagai waktu untuk berhenti melakukan suatu pekerjaan, yang kemudian diisi dengan pekerjaan yang lain.
Baca juga : “Saya Kembali, Banjir Su Hantam-hantam di Kaki,” Kata Martina
“Generasi lambe turah” mungkin mengisinya dengan mengorek kehidupan orang lain sambil sesekali mencoba bermain tiktok.
Kita sangat jauh dari kontemplasi atau merenungi beragam hal dalam kehidupan. Dalam waktu senggang sekalipun, kita kerap dikejar keresahan yang bersifat materialistis.
Tak pelak, waktu senggang terasa sempit.
Padahal jika kita dapat menikmati waktu senggang dengan kontemplasi, akan memberikan kedamaian dan juga berdampak positif bagi kebudayaan.
Kontemplasi dalam waktu senggang adalah peluang melihat kembali dimensi holistik, yakni keterkaitan antara bagian dan keseluruhan, maupun sebaliknya.
Kontemplasi bisa menjadi peluang hermeneutika sekaligus penemuan kemungkinan baru bagi kebudayaan.
Kontemplasi juga melahirkan kebijaksanaan, kesederhanaan, ketabahan, dan keadilan.
Dengan begitu, kebudayaan dapat memfokuskan diri pada perkara yang lebih humanis seperti persoalan etika, moral, kedamaian, dan persaudaraan antarmanusia.
Baca juga : Ide yang Akan Melegenda
Ngopi siang itu bersama Rajib dan A. Rizza mengingatkan kami untuk selalu meluangkan waktu berdialektika dengan diri sendiri maupun orang lain; menjaga kesadaran, kekuatan, dan menumbuhkan kepercayaan bahwa yang kami lakukan tidak sia-sia.
Sayang sekali “ngopi kontemplatif” semacam ini belum tentu terjadi pada gelas kopi di berbagai penjuru Bogor yang semakin sesak.
Jadi, kapan kita ngopi lagi?
[Tulisan ini pernah dimuat diblog pribadi penulis, sila berkunjung ke sini]
[Penulis adalah seorang pekerja di Pasar Alam, Bekasi. Peminum kopi. Pembaca buku yang rakus. Tinggal di Bogor jika ada waktu luang]
Discussion about this post