
- Artikel Nadyne_Iva
Pada November 2017 lalu, saya berkesempatan pergi ke Jepang untuk pertama kalinya. Saya akan menceritakan perjalanan tersebut dalam beberapa postingan. Dan ini cerita pertama saya tentang Hakone.
Silam, Hakone bukan tujuan utama. Jauh sebelumnya, saya justru ingin explore Kyoto. Berhubung ada salah satu teman yang kerap menyebut daerah ini, maka jadilah saya riset sekalian, dan wah, saya langsung terpikat.
Hakone terletak di Perfektur Kanagawa, sebelah Barat Kota Tokyo di Taman Nasional Fuji-Hakone-Izu. Terkenal sebagai tempat Onsen dengan pemandangan Gunung Fuji. Berhubung bucket list saya adalah “Onsen Trip in Japan”, maka saya sedikit mengubah haluan yang semula Kyoto – Kinosaki- Tokyo menjadi Kyoto – Hakone – Tokyo.
Saya menuju Hakone dari Stasiun Kyoto. Saya memanfaatkan JR Pass Shinkansen menuju Stasiun Odawara. Stasiun Odawara ini kalau dari Kyoto letaknya sebelum Tokyo, jadi di tengah-tengah sebelum masuk Yokohama juga. Di Stasiun Odawara, saya membeli Hakone Free Pass untuk 2 hari 1 malam sebesar ¥ 4.000, sedangkan teman saya membeli untuk 3 hari 2 malam seharga ¥ 4.500.
Dengan free pass tersebut, saya bebas untuk naik transportasi di sekitar Pegunungan Hakone dengan menggunakan transportasi yang dikelola Hakone Tozan. Yang mencengangkan, variasi transportasinya sangat lengkap, mulai bus, kereta, kereta wisata (Hakone Tozan Railways), ropeway, cable car, cruising.

Di Hakone, saya menginap di Hakone Hotel Kowakien, yang letaknya persis di depan halte bus Kowakien. Di hotel ini, saya akhirnya mencoba Onsen untuk pertama kalinya. Oh iya karena wisata hot springs biasanya digemari oleh para orang tua, maka di Hakone ini kita akan banyak menemui para elderly dan senang rasanya melihat Opa Oma dengan bahagianya jalan kaki bawa ransel dan kamera DSLR plus tongkat.
Saya putuskan menggunakan bus utuk perjalanan dari stasiun Odawara ke Hotel Kowakien. Dan memang itu lebih mudah. Tadinya, saya berniat menggunakan Hakone Tozan Railways yang konon kereta wisata ini melewati jalur romantic autumn yang legendaris. Tapi karena saya dan teman membawa koper dan ransel, pilihan menggunakan bus adalah sebuah keputusan yang tepat, saya kira. Kami tidak mau ribet. Pasalnya, kalau menggunakan kereta, harus berpindah menggunakan kereta di Stasiun Hakone Yumoto.
Tetapi setelah pulang, saya baru tahu, kalau ternyata pindah keretanya tidak ribet, ada di peron yang sama hanya bersebelahan (otak dan pikiran mikirnya kaya di Manggarai sih).
Ketika tiba dan check in di Hotel (petugasnya berbahasa Inggris dengan fasih) kami memutuskan untuk makan siang (atau sore?) di minimart sebelahnya. Harga makanan di hotel sangat mahal, sehingga untuk menekan budget kita harus pintar-pintar mengatur pengeluaran. Setelah perut kenyang, kami menuju Gora dengan menggunakan bus.
Dari Gora, kami naik cable car menuju Sounzan. Cable car ini hanya ada 1 jalur, namun di tengahnya ada percabangan, sehingga bisa 2 arah. Sepanjang naik cable car ini kami disuguhi pemandangan daun-daun yang menguning di kiri kanannya. Setiba di Sounzan, kami sambung dengan naik ropeway menuju lembah Owakudani. Dan kami beruntung di sore hari itu karena cuacanya yang cerah maka bisa melihat Gunung Fuji, dan tak lupa, di bawah kami terlihat hamparan kuning-coklat-maroon daun-daun musim gugur. Saya kagum. Benar-benar kagum.

Sebelum masuk Stasiun Owakudani, ropeway kami melintas di atas kawah belerang yang ternyata dijadikan sumber energi untuk wilayah setempat. Di ropeway ini juga disediakan tissue basah untuk menutup hidung apabila aktivitas belerangnya meningkat. Sungguh detail, saya kira. Dan keselamatan serta kenyamanan penumpang adalah yang utama dan pertama. Patut dicontoh.
Di Owakudani, kami bisa melihat kawah dan puncak Mt Fuji. Hawa belerang yang kuat menyeruak di hidung. Di sana, kami membeli telur hitam yang direbus di air panas belerang sebagai bekal sarapan besok pagi di hotel. Kami senang memutuskan untuk ke sana di waktu sore, karena ternyata besok paginya ropeway dan Owakudani ditutup karena ada peningkatan aktivitas vulkanik.
Malam hari setelah makan malam, kami berniat untuk mencoba Onsen. Kami awalnya sangat kikuk dan gugup karena kudu naked, sebab Onsennya pada malam itu sangat sepi, hanya ada 3 Oma. Onsennya cukup luas, dan sangat nyaman (dan tentunya tertutup). Setelah lelah berjalan kaki dan nyasar sejak tiba di Jepang, rasanya berendam di Onsen itu obat pelipur lara. Sungguh kenikmatan yang paripurna.
Pagi harinya ketika bangun, tubuh terasa lebih segar, karena tidurnya sangat berkualitas. Selepas sarapan, kami menuju Lake Ashi untuk cruising. Menuju ke sana, kami menggunakan bus dengan transit 1 kali. Di perjalanan ini, kami bertemu dengan pasangan dari Yokohama, Ayako-san. Ketika dalam perjalanan, kami melewati spot hamparan ilalang yang sangat luas. Berwarna keemasan. Terpukau dengan itu, kami putuskan untuk menandai lokasinya supaya nanti pulangnya bisa mampir kembali.
Setiba di Dermaga Cruise, ternyata kapalnya memiliki desain bajak laut. Selama pelayaran di Lake Ashi, saya berdiri di dek belakang meskipun dingin. Ini saya pilih karena ingin menikmati angin dan terkena silaunya matahari siang. Dari Lake Ashi kami juga bisa melihat Mt Fuji dan Torii merah dari Kuil Shinto yang terletak di pinggir danau.
Karena kami ingin ke padang alang-alang yang tadi kami lewati, maka kami memutuskan untuk ikut balik dengan kapal besar ini ke dermaga awal. Setiba di dermaga, kami makan siang di restoran yang tak jauh dari lokasi. Harganya tidak terlalu mahal untuk ukuran restoran dengan pemandangan Lake Ashi. Satu paket lunch berkisar ¥ 1.200 sudah ada miso ramen, rice, salad and free flow air mineral / tea.

Dari Lake Ashi kami kembali ke padang ilalang tersebut, berhenti di bus stop Sengoku Kogen. Di sini kami bertemu dengan turis dari Madrid yang lama bermukim di Madagascar. Dia menanyakan lokasi yang ternyata juga tempat yang kami tuju. Ketika masuk ke jalan setapak padang ilalang, kami seperti berjalan di dunia mimpi. Jalan yang tak nampak ujungnya dengan tone coklat keemasan. Kami menikmati perjalanan ini dengan bercerita dan tertawa. Ternyata, turis dari Madrid itu tidak terlalu impress dengan tempatnya, karena menurut dia, di daerah asalnya, Madrid, banyak yang seperti ini. Alasan saya terkesima karena di Depok mah kagak ada beginian. Hehehe.
Di Hakone, selain pemandangannya yang indah, juga banyak museum yang bisa dikunjungi. Jadi, kalau memang punya waktu lebih, bisa juga stay lebih lama seperti teman saya di mana hari ketiga saya memutuskan untuk ke Kamakura, sedangkan dia belanja di Premium Outlet Gotemba. Buat kamu yang hobi shopping, ke Gotemba is a must. Tapi kalau saya lebih prefer move to next destination.
Demikian perjalanan singkat saya ke Hakone, sampai jumpa di cerita Jepang selanjutnya ya.
NB: Tulisan serupa, bisa dijumpai di Sini
Nadyne_Iva, travel enthusiast, Commuter Depok-Jakarta-Depok, Jack of All Trades, alias banyak maunya.
Discussion about this post