
- Artikel Nadyne_Iva
Pada September 2016 lalu, saya melakukan business trip ke Morowali melalui jalur pantai Timur Sulawesi Tenggara dari Kota Kendari. Lama perjalanannya kurang lebih 11 jam dengan agenda berhenti di beberapa pantai, restoran dan tempat untuk solat. Kami pergi ber-6 dengan menggunakan 2 mobil.
Rute perjalanannya adalah, Jakarta – Kendari dengan transit di Makassar menggunakan Batik Air, kemudian Kendari – Morowali dengan travel jenis mobil Innova.
Sepanjang perjalanan, kami menyusuri area pantai, aneka perkebunan seperti kopra, kakao, cengkeh, sawit dan lainnya serta beberapa pertambangan nikel besar. Di beberapa tempat ada desa yang penduduknya mayoritas Bali, sehingga ketika kami ke sana pas perayaan Galungan Kuningan maka suasanya seperti di Ubud karena banyaknya janur yang dipasang.
Jalan yang kami lalui merupakan Jalan Negara Trans Sulawesi yang menghubungkan propinsi-propinsi di pulau Sulawesi dari Tenggara dan Selatan menuju Tengah ke Utara. Jalanannya bagus, mulus tidak terlalu berkelok dan di beberapa titik ada buka tutup jalan karena adanya proyek pelebaran jalan.

Desa-desa yang kami lalui, beberapa di antaranya merupakan pemukiman nelayan. Dan setiap desa yang kami lintasi tampak bersih dan asri. Ketika tiba di Bahodopi, saya cukup terkesima dengan ramai dan hidupnya kota tersebut akibat adanya perusahaan pertambangan nikel. Dengan dibangunnya smelter nikel di kota tersebut, aktivitas ekonomi masyarakat tampak meningkat dilihat salah satunya dari menjamurnya penginapan dan rumah makan dibandingkan desa-desa yang kami lalui sebelumnya.
Perjalanan yang panjang dan cukup melelahkan akan terbayar dengan pemandangan laut yang begitu indah. Kami berhenti sebentar untuk sekedar meluruskan kaki dan pinggang di sebuah pantai yang saya lupa namanya. Di pantai yang berpasir hitam tersebut ada pohon buah khas sulawesi yakni buah dongi. Warnanya kuning dan rasanya asam. Oleh masyarakat setempat dipakai sebagai bumbu olahan ikan atau campuran minuman yang menyegarkan.
Ketika tiba di Bungku yang merupakan ibukota dan pusat administratif kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah saya memperhatikan kota tersebut seperti kota tua dengan pelabuhan yang memiliki sejarah panjang. Karena pada waktu itu saya hanya sekedar singgah satu malam dan tidak terlalu explore budayanya, cerita tentang Kerajaan Bungku kelak akan saya ceritakan setelah terkumpul cukup datanya.

Melewati Betheleme yang asal katanya dari Bethlehem (karena mayoritas penduduknya adalah Kristen), kami mencoba tinutuan /bubur manado. Namun kata Pak Urbanus, tinutuan di sini agak berbeda dengan versi Manado (fyi, beliau asli Manado). Saya yang baru pertama kali mencoba tinutuan langsung hap hap sajalah. Enaaak bikin perut hangat. Sebenarnya di Beteleme juga ada kuliner terkenal seperti Sop Kaki Donggala yang sop-nya pakai kaki sapi yang sumsumnya bisa diseruput. Namun karena pada waktu itu kami ingin segera tiba di lokasi, kami pun melanjutkan perjalanan.
Keperluan business trip saya adalah menggelar acara bakti sosial pemeriksaan mata dan pembagian kacamata gratis untuk siswa SD. Maka dari itu, saya datang ke sekolah-sekolah yang ada di sekitar unit operasional kebun kami. Di sini saya jadi tahu bahwa anak-anak sampai orang dewasa suka sekali dengan permainan Sepak Takraw. Bahkan ada pertandingan khusus kalau 17 Agustusan. Kata bapak-bapaknya, paling seru kalau ada pertandingan sepak takraw ibu-ibu, karena yang ditendang bukan takraw-nya tapi konde-nya.
Selain itu saya juga senang melihat anak-anak asik ngemil jajanan siang yang ga biasa saya temui di Jakarta, yakni ngudap buah kakao yang ternyata teksturnya seperti buah kecapi. Jadi untuk dibuat menjadi coklat adalah biji kakao-nya. Memang di daerah sulawesi, komoditas perkebunan yang cukup besar adalah kakao. Pada saat perjalanan dari Kendari, saya melewati hanya ada 1 pabrik yang tak jauh di luar kota Kendari. Namun masyarakat setempat jarang ada yang tahu dan menikmati hasil olahan coklatnya.

Saya tanya petani apakah sering minum coklat, mereka menjawab tidak pernah dan mengatakan biji coklat itu hanya untuk dijual, tidak diolah. Di kota Kendari saya melihat beberapa jenis olahan coklat dengan packaging yang menarik dijual di bandara, berharap ke depannya industri kakao bisa berkembang dari hulu ke hilir dan melahirkan industri kreatif dan kuliner seperti coklat Belgia atau coklat Swiss.
Berdasarkan data tahun 2016, Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) menjadi salah satu penyumbang terbesar produksi kakao nasional. Data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sulteng menyebutkan adanya tren kenaikan produksi kakao selama periode 2010 sampai dengan 2015.
Produksi tanaman kakao pada 2010 baru sekitar 138.300 ton, meningkat lagi menjadi 160.859 ton (2011) dan pada 2012 sudah mencapai 181.523 ton. Pada 2013 meningkat lagi menjadi 195.846 ton dan 2014 naik menjadi 208.485 ton. Pada 2016 ini diperkirakan meningkat menjadi 250.000 ton. Sumber berita: Tirto.id
More about kakao Indonesia bisa dilihat di di sini
Pemilihan jalan melalui jalur Sulawesi Tenggara ini kami ambil karena untuk menuju Beteleme kalau dari kota Poso harus melewati beberapa kali buka tutup jalan yang disebabkan pembangunan infrastuktur.

Beberapa tahun terakhir memang Sulawesi sedang berpacu membangun infrastruktur jalanan seperti pelebaran dan penambahan jalan trans sulawesi. Dan melihat langsung dari dekat, saya menyaksikan bahwa tidak mudah melakukan pembangunan infrastruktur di sini. Karena untuk melebarkan jalan saja, harus memapas perbukitan batuan karst.
Saya pernah sebelumnya dari Beteleme hendak ke desa Tomata di kec Mori Atas, terkena buka tutup jalan dan harus berhenti selama 2 jam di Desa Kolaka. Sekitar area tersebut kiri kanan hutan dan bebatuan karst serta sungai besar yang digunakan sebagai pembangkit listrik tenaga hydro.
Sambil menunggu, saya turun ke sungai bersama para pengembara lainnya. Kami harus bersabar menanti jalan dibuka dengan menikmati main di sungai yang jernih dan banyaknya jenis kupu-kupu dan capung berwarna warni yang beterbangan.
Berharap dengan dibangunnya infrastruktur di bumi Sulawesi, akan memudahkan masyarakat untuk melaju dari satu kota ke kota lainnya, tidak hanya menggerakkan perekonomian namun juga memudahkan akses pendidikan dan kesehatan.
NB: Tulisan serupa, bisa dijumpai di Sini
Nadyne_Iva, travel enthusiast, Commuter Depok-Jakarta-Depok, Jack of All Trades, alias banyak maunya.
Discussion about this post