Catatan Fatkurrahman Abdul Karim
Saya miliki halaman yang begitu riuh dengan pelbagai jenis rerumputan. Awalnya hamparan ini hanya terhimpun atas bebatuan yang saya timbun dengan sisa pasir sehabis pembangunan rumah saya selesai. Hujan secara bertubi-tubi menderanya berminggu-minggu dengan jeda yang saya tidak sadari. Selang beberapa minggu, halaman itu meyerupai prosesi suksesi ekologis.
Saya cermati dari timbunan bebatuan dan pasir itu, vegetasi mengisi ruang dengan pelbagai herba yang tak terduga. Ada waktu yang bekerja di sana sebagai kehadiran yang meng-Ada.
Tidak hanya itu, beberapa tetangga dan rekan saya bertandang dan berdiri di halaman itu untuk memperbincangkan pelbagai hal. Kadang tentang pekerjaan yang tak kunjung rampung diselesaikan. Kadang tentang roda sepeda motor yang mulai tipis. Kadang tentang perjalanan menelusuri bentara. Dan lebih sering tentang sesuatu yang sederhana tapi kerap hadir dalam kehidupan kita.
Pada beberapa momen, yang ekologis seakan bertaut dengan yang sosiologis di halaman itu. Mungkin juga di banyak halaman bagi mereka yang memang memiliki halaman dan menghendaki momen itu terjadi.
Halaman bisa juga sebagai bagian dari sebuah buku atau pagina yang berisi pelbagai ide, gagasan atau apa pun yang tertera di sana. Halaman pun lantas sebagai arena yang menyediakan kita untuk melakukan pelbagai kontestasi yang berjalin kelindan dengan kehendak kita yang mengemuka atau sesuatu yang timbul dari ketaksadaran.
Halaman adalah pertemuan pertama kali bagi seseorang yang bertandang ke rumah kita. Di halaman ini seringkali simulakra beroperasi pada rona jasmaniah hingga tatanan jiwa yang berlapis-lapis itu. Halaman pun tidak saja kanvas yang menghendaki apa dan siapa pun membubuhkan sesuatu pada bidangnya, namun juga sebagai panggung teater sosial yang mementaskan realitas yang kompleks.
Benarkah kita senantiasa membutuhkan halaman? Di era dengan permukiman yang makin ciut di area urban? Bisa jadi kita menginginkan halaman di rumah kita. Tapi apa daya, tidak semua orang sanggup untuk menyediakan areal bermukin sebuah halaman.
Seluang, media yang hadir di tengah-tengah kita, bagi saya, serupa halaman yang menyediakan diri untuk berbagi pertemuan ide yang tak terduga. Seluang bisa juga sebagai halaman yang tengah merayakan khasanah flora maupun fauna renik yang sederhana di sekitar tempat kita bermukim. Seluang, suatu area untuk bersitatap kisah atau sekedar ekspresi bahasa yang mempersilakan orang untuk menafsir secara terbua. Seluang adalah halaman bagi pikiran siapa saja.
Halaman seluang pun menemui cakrawala makna seluas angkasa dan sedekat semut yang menyeret remah roti di bawah meja makan kita. Mungkin seperti halaman rumah saya atau halaman kita.
Fatkurrahman Abdul Karim, aktivis lingkungan, penggiat seni dan sastra. Menetap di Bogor.
Discussion about this post