Seluang.id
  • KotaHujan
  • Editor’s Pick
  • Populer
  • About Seluang
  • Login
No Result
View All Result
  • Landscape
  • Our Story
  • Art
  • Amatan & Opini
SeluangID
  • KotaHujan
  • Editor’s Pick
  • Populer
  • About Seluang
No Result
View All Result
SeluangID
No Result
View All Result

Hari Tani dan Simbol-simbol Agama

SeluangID by SeluangID
26 September 2018
in Amatan & Opini
Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsApp
Seorang petani sedang mengerjakan sawahnya di pagi hari. Foto: paktanidigital.com
  • Artikel Dandhy D. Laksono
  • “Perusahaan-perusahaan tambang seperti Semen Indonesia dan Indocement yang menyengsarakan petani, adalah perusahaan yang sahamnya dinyatakan syariah”.

    Di lantai bursa ada yang disebut saham-saham syariah. Jika ada yang menganggap jual beli saham (modal) itu riba atau haram, maka label “syariah” mungkin dapat membuat hati tenang. Seperti saat Anda berurusan dengan “bank syariah”.

    Tak peduli apakah mereka benar-benar menerapkan prinsip “bagi risiko” seperti Beng Mawah yang saya jumpai di Aceh, atau sebenarnya hanya “bagi hasil” seperti bank konvensional dengan embel-embel “syariah”.

    Saham-saham “halal” ini bahkan dikelompokkan secara khusus dalam Daftar Efek Syariah (DES) atau untuk 30 saham yang paling laris disebut Jakarta Islamic Index (JII).

    Kriteria saham syariah tentu saja jauh lebih kompleks dari urusan “alkohol” dan “daging babi”. Perusahaan itu juga harus menjalankan produksi dan distribusi yang tidak terkait dengan perjudian dan jasa keuangan ribawi seperti bank dan lembaga pembiayaan konvensional. Ia bukan perusahaan jual beli risiko seperti asuransi, dan tidak melakukan transaksi-transaksi yang mengandung suap.

    Karena itu, dari 338 perusahaan yang masuk Daftar Efek Syariah, misalnya, Anda hanya akan menemukan Asuransi Jiwa Syariah Jasa Mitra Abadi (JMAS) atau Bank BRI Syariah (BRIS), karena sebagai perusahaan yang berdiri sendiri, laporan keuangannya tak lagi tercampur dengan BRI konvensional.

    Tapi jangan terkejut, jika dalam daftar saham “halal” itu justru bertabur perusahaan-perusahaan pertambangan dan perkebunan yang banyak berkonflik dengan petani dan masyarakat.

    Misalnya, PT Semen Indonesia (SMGR) dan PT Indocement Tunggal Prakarsa (INTP). Kedua perusahaan ini telah dan akan menambang karst di pegunungan Kendeng dan memicu perlawanan para petani di Rembang dan Pati sejak 2006 hingga sekarang. Bahkan sejak 1993 bagi sebagian petani di Tuban.

    Kriminalisasi terhadap petani telah dilakukan sepanjang konflik dengan kedua perusahaan ini, baik di Pati, Rembang, hingga Kendal. Mereka ditahan atas tuduhan penyerobotan tanah di atas lahan yang sebelumnya telah mereka kelola selama bergenerasi, seperti menimpa tiga petani Surokonto Wetan yang divonis 3 tahun penjara.

    Para petani sedang berjalan di pematang sawah. Sumber Foto: berbagitips.co

    Tapi kedua saham semen “pribumi” dan “asing” ini tercatat sebagai 30 saham terlaris dalam Jakarta Islamic Index (JII).

    Contoh lain saham “halal” adalah milik PT Merdeka Copper Gold yang memiliki kode perdagangan MDKA. Perusahaan tambang emas yang sebagian sahamnya dimiliki Calon Wakil Presiden Sandiaga Uno ini berkonflik dengan warga dan petani di Tumpang Pitu, Banyuwangi.

    Seorang warga bernama Budi Pego dikriminalisasi dengan dalih menyebarkan “ajaran komunisme” dan divonis 10 bulan penjara.

    Sandiaga sendiri memiliki saham di Merdeka Copper melalui PT Saratoga Investagama Sedaya (SRTG) yang juga termasuk saham syariah.

    Maka dalam kasus Tumpang Pitu di Banyuwangi, narasi ada “komunis” menolak perusahaan tambang PT Merdeka dan lembaga investasi “syariah” seperti PT Saratoga adalah narasi yang seksi untuk mendapat dukungan “umat” terhadap perusahaan tambang emas itu.

    Apalagi belakangan Sandi dinobatkan sebagai “ulama” untuk melengkapi dan mengimbangi narasi politik identitas yang juga dimainkan kubu Joko Widodo yang memasang Ketua MUI Ma’ruf Amin.

    MUI sendiri adalah lembaga yang sejak tahun 2001 turut memberikan stempel “halal” kepada berbagai produk pasar modal di Indonesia, termasuk saham syariah.

    Hampir dipastikan, lembaga seperti MUI tak akan memasukkan pertimbangan etis kemanusiaan dan (apalagi) lingkungan ketika memutuskan “halal” dan “haram” sebuah emiten atau perusahaan yang menjual sahamnya di lantai bursa.

    Padahal, dari 659 kejadian konflik tanah sepanjang 2017 saja, sebanyak 32 persen di antaranya (208 kasus) melibatkan industri perkebunan tanaman tunggal (monokultur), terutama kelapa sawit yang juga masuk dalam saham syariah seperti grup Wilmar, Indofood, London Sumatera, atau Providen.

    Setelah perkebunan, menurut catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), pada tahun 2017 properti adalah sektor berikutnya yang menyumbang konflik paling banyak dengan masyarakat (30 persen).

    Tapi ini tak akan ada yang mengaitkan semua ini dengan moralitas dan etis dalam perdagangan saham. Sebab perusahaan properti seperti Agung Podomoro Land (APLN) yang mengancam kehidupan nelayan dengan proyek reklamasi Teluk Jakarta atau PT Jakarta International Hotel and Development yang anak perusahaan hendak menguruk Teluk Benoa di Bali, adalah emiten-emiten syariah yang sahamnya dinyatakan “halal” oleh MUI.

    Sepanjang kedua perusahaan itu tidak berbisnis alkohol atau membungakan uang, tampaknya MUI atau Dewan Syariah Nasional tak akan mau pusing dengan urusan perusakan lingkungan atau peminggiran ekonomi kaum dhuafa.

    Alat pertanian menjadi salah satu modal mendapatkan hasil yang maksimal. Sumber Foto: jitunews.com

    Sama halnya dengan kelompok politik agama yang lebih sibuk dengan urusan “kriminalisasi ulama” yang tak lebih dari jargon politik dibanding kriminalisasi petani yang benar-benar ada, nyata, dan meluas di banyak tempat. Bahkan melibatkan pengusaha yang menjadi kawan koalisinya.

    Sebenarnya gejala ini tak baru. Ketika mengkritik video Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang mendukung industri monokultur kelapa sawit, saya telah mengaitkannya dengan agenda-agenda dakwah monoteisme seperti terjadi dari Mentawai hingga Papua.

    Tahun 2011, misalnya, Front Pembela Islam (FPI) tiba-tiba ribut dan meminta pemerintah melarang kegiatan Greenpeace. Alasannya, karena organisasi pengkampanye lingkungan ini sering menyerang pemerintah dengan “data-data palsu” dan menjelek-jelekkan Indonesia di luar negeri. Alasan berikutnya karena Greenpeace internasional juga mendapat donasi dari uang lotere (judi).

    Setiap organisasi tentu berhak menentukan standar moralitasnya. Bahkan ada perusahaan media yang tak menerima iklan rokok.

    Tapi alasan seperti FPI ini tentu memancing bahan tertawaan karena diikuti oleh desakan agar organisasi lain ditutup, dan di saat yang bersamaan, ia menutup mata pada banyak praktik perusahaan yang merusak lingkungan, melanggar hak asasi manusia, dan meminggirkan masyarakat.

    Jika benar setiap hasil uang judi harus ditutup atau disingkirkan, maka meminjam sindiran Gubernur DKI Ali Sadikin, “jangan lewat jalanan di Jakarta, karena jalan-jalan itu dibangun dari uang judi.”

    Tahun-tahun itu, Greenpeace memang gencar mengkampanyekan kasus-kasus konflik dan perusakan lingkungan yang dilakukan industri kelapa sawit di Sumatera dan mendesak perusahaan-perusahaan besar seperti Unilever tidak membeli minyak sawit dari perusahaan-perusahaan bermasalah di Indonesia.

    Suatu pagi di tahun 2013, Dompet Dhuafa mengundang berdiskusi tentang buku “Indonesia for Sale” yang pernah saya tulis 2009. Kami bicara bagaimana mempertahankan orang tetap sejahtera sejak di kampung halamannya, dan bukannya menunggu mereka menjadi miskin (dhuafa) untuk disantuni.

    Seorang petani sedang menabur pupuk untuk kesuburan padinya. Sumber Foto: agribisnis.co.id

    Gagasan yang mungkin tidak menarik minat donatur yang baru tergerak menyumbang jika melihat foto warga miskin dan penderitaannya.

    Tapi ide ini tetap saya sampaikan karena lembaga yang dirintis para jurnalis pada 1993 ini sejatinya cukup terbuka dengan berbagai gagasan. Mereka menyalurkan bantuan modal untuk korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dampingan Kontras yang kerap dianggap sebagai “LSM kiri”.

    Belakangan, mereka juga ikut membantu logistik petani Kendeng jika sedang berunjuk rasa ke Jakarta atau membiayai proyek-proyek pertanian di Tasikmalaya dan berbagai tempat.

    Sejak peristiwa 1965, isu-isu petani dan konflik tanah kerap dianggap sebagai tema “kekiri-kirian”. Sementara Dompet Dhuafa memegang mandat para donatur yang mayoritas muslim. Sementara sebagian petani Kendeng justru penganut keyakinan “Sedulur Sikep” atau “Saminisme” yang mengosongkan kolom agama di KTP. Hal yang membuatnya dicap “kiri” di masa Orde Baru.

    Mengotak-kotakkan sebuah permasalahan dari kacamata ideologi atau agama, tentu sebuah kesalahan berpikir yang fatal. Sebab pemberontakan petani Banten tahun 1926 melawan kolonial adalah kisah perlawanan para haji seperti Achmad Chatib atau Moehammad Madoen yang kemudian dibuang ke Boven Digoel.

    Jika para ulama seperti ini masih hidup hari ini, barangkali merekalah yang akan menunjukkan apa itu “halal” dan “haram” secara substansi dalam sebuah praktik ekonomi. Bukan hanya simbol dan stempel “syariah”.

    Mereka tidak akan memakai isu impor beras sebagai retorika politik untuk menyerang lawan politik –tapi lebih sibuk membela “ulama” daripada petani—namun benar-benar bergerak untuk ikut mewujudkan swasembada itu dengan advokasi-advokasi yang nyata.

    Selamat Hari Tani.

    Sumber asli tulisan ada di sini

    Dandhy Dwi Laksono, Wartawan, Pembuat Film Dokumenter dan Pendiri Rumah Produksi Watchdoc

    SeluangID

    SeluangID

    Related Posts

    Refleksi di Ujung 2020: Pandemi, Politik dan Budaya Tropis

    by SeluangID
    7 Januari 2021
    0

    Petani di Kasepuhan Karang tengah merawat padi dari ancaman hama di akhir tahun. Foto: Dony P. Herwanto Penulis :...

    Ecocide dan Tatanan Hidup Baru

    by SeluangID
    7 Juni 2020
    0

    Sumber Foto : ekuatorial.com Penulis : Ani Muklisatun Munawaroh Di tengah krisis COVID-19 yang sedang berkembang, ada beberapa negara yang...

    Keselamatan Rakyat, Negara Harus Hadir

    by SeluangID
    29 Mei 2020
    0

    Mural bergambar manusia bermasker menjadi pesan sosial di jalanan. Sumber: detik.com Penulis : Eko Cahyono Kini semakin sadar dan...

    Next Post
    Pembukaan Global Land Forum (GLF) 2018, Bandung, Senin (24/9) - (Kiri ke Kanan) Direktur International Land Coalition (ILC) Mike Taylor; Ketua National Organizing Committee GLF 2018 Dewi Kartika; Kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko; Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution; Ketua Komnas Ham Ahmad Taufan Damanik; dan Walikota Bandung Oded M. Danial, membuka secara resmi Global Land Forum 2018 dengan bersama-sama memainkan Angklung, alat musik khas Jawa Barat. Permainan angklung secara simbolis menggambarkan harmoni dan sinergi dari semua pihak untuk kesuksesan program Reforma Agraria di Indonesia. Foto: Panitia GLF 2018

    Wujudkan Pengelolaan Tanah Berbasis Masyarakat

    Pertahankan lingkungan tetap lestari. Aksi warga/petani Kendeng didominasi perempuan di depan Istana Negara, Jakarta. Mereka menuntut kejelasan sikap pemerintah atas tambang-tambang di Pegunungan Kendeng, seperti PT Semen Indonesia, yang mengancam sumber air warga. Foto: Andreas Iswinarto

    Upaya Mengupas Borok Agraria

    Penebaran jala pertama mancokau oleh tetua adat di di Sungai Subayang, kawasan Rimbang Baling yang masuk Desa Aur Kuning, Kampar, Riau. Foto : Agustinus Wijayanto/Mongabay Indonesia

    Ada Lubuk Larangan di Sungai Subayang

    Discussion about this post

    Story Populer

    • Pembacaan Proklamasi kemerdekaan RI oleh Sukarno di Pegangsaan. Sumber foto: Wikipedia

      Proklamasi, Kenapa Pindah dari Ikada ke Pegangsaan?

      0 shares
      Share 0 Tweet 0
    • Coretan-coretan Sukarno pada Teks Proklamasi itu

      0 shares
      Share 0 Tweet 0
    • Seni dan Virtual, Antara Eksperimen dan Eksplorasi

      0 shares
      Share 0 Tweet 0
    • Banjir di Jantung Kalimantan

      0 shares
      Share 0 Tweet 0
    • Ini Cara Kita Memuliakan Penyintas Bencana

      0 shares
      Share 0 Tweet 0
    • Telepon Nasution dan Sarwo Edhie Setelah Pranoto Dibebaskan

      0 shares
      Share 0 Tweet 0
    • Bunin, Mutiara Terpendam di Kaki Leuser

      0 shares
      Share 0 Tweet 0
    # # #
    SeluangID

    Kami ingin menyajikan berita melalui cerita. Mimpi sederhana kami: mengisahkan kebenaran - walau itu kecil - ke banyak orang. Karena Dunia Butuh Cerita.

    • Amatan & Opini
    • Art
    • Catatan Redaksi
    • Kota Hujan
    • Landscape
    • Obituari
    • Our Story
    • Review

    Follow Us

    We’d like to hear from you!

    Hubungi Kami di : [email protected]

    Ikramina Residence Blok E No 1 RT 004/007 Desa Bojong, Kecamatan Kemang Kabupaten Bogor Jawa Barat, 16310

    • About Seluang
    • Beranda
    • Pedoman Media Siber

    © 2021 Design by Seluang Institute

    • Landscape
    • Our Story
    • Art
    • Amatan & Opini
    No Result
    View All Result

    Welcome Back!

    Login to your account below

    Forgotten Password?

    Create New Account!

    Fill the forms below to register

    All fields are required. Log In

    Retrieve your password

    Please enter your username or email address to reset your password.

    Log In