- Catatan Turasih
Minke, sebuah nama fiksi dari tokoh nyata yang diceritakan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam karya besarnya Tetralogi Pulau Buru memberikan satu keniscayaan bahwa seseorang akan abadi karena berpikir, menulis, dan berkarya.
Empat bukunya menyedot energi ekstra supaya dapat dipahami sebagai gambaran lompatan sejarah di Indonesia menjelang akhir penjajahan Belanda sebelum Jepang meneruskannya. Seperti sebuah revolusi yang didorong untuk segera terjadi, Minke melakukannya dengan cara menulis yang kemudian menuntunnya membikin penerbitan “Medan”.
Kisah nasionalisme Minke yang sangat bergejolak digambarkan oleh penulis kelahiran Blora-Jawa Tengah yang kemudian mendapatkan berbagai penghargaan serta diterjemahkan ke banyak bahasa. Empat buku itu memberikan gambaran proses perubahan sosial di Indonesia sekaligus bagaimana bangsa ini mengenal modernisasi.
Terlepas dari betapa menakjubkannya sebuah karya kreatif seorang Pramoedya serta soal sejarah bangsa yang dituliskan pada buku-buku itu, ada nilai penting yang terselip meski barangkali kecil tapi mampu memiliki energi yang mampu mendorong perubahan. Dalam suatu percakapan Nyai Ontosoroh (Sanikem) dengan Minke:
“Nak kau tau mengapa aku menyayangimu?” Kira-kira demikian pertanyaannya kepada Minke, anak (menantu) kesayangannya di Bumi Manusia.
“Kenapa Ma?” Tanya Minke yang menghormati seorang Nyai Ontosoroh sebagai mertua sekaligus ibu budayanya.
“Karena kamu berbeda, Nak. Karena kamu menulis. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
Terbayang bagaimana sebuah pekerjaan yang disebut abadi mampu menjadi perantara perubahan besar dalam sejarah. Sesuatu tercatat, terekam dalam dialek kata-kata yang menurut saya memiliki 2 fungsi: (1) bagaimana seseorang dengan tulisannya mampu mengubah cara pandang banyak orang terhadap dunia; (2) bagaimana dunia memandang seorang penulis tersebut dari karya yang dihasilkan.
Kita sadar bahwa tidak ada karya atau tulisan yang sempurna, selalu ada perdebatan yang mengikutinya. Jangankan karya manusia, kitab suci agama yang dipercaya sebagai wahyu Tuhan saja bisa multi-tafsir. Namun yang pasti, menulis adalah jalan untuk menebar gagasan dan menuangkan ide.
Saat saya diajak berkolaborasi untuk menulis di Seluang, saya menyambutnya dengan perasaan bungah sekaligus tertantang. Bungah karena seperti gayung bersambut bahwa ide-ide saya akan sejalan dengan prinsip seluang.id yaitu menceritakan kebenaran – walaupun kecil – ke banyak orang, dan tertantang karena #menulisbaik tidak semudah gambaran bahwa tulisan kita akan menyenangkan bahkan menjadi obat di tengah hiruk pikuk tulisan provokatif dan hoax di era bebas akses teknologi saat ini.
Lalu saya ingat dengan tokoh Minke, dia dicintai banyak orang karena menulis kebenaran. Lalu saya ingat Pramoedya yang menuliskan Minke ini, dia menjadi legenda karena menuliskan ide.
Seandainya sejarah-sejarah bangsa tidak pernah tertulis pada dinding-dinding batu, pada helai daun lontar, pada kertas-kertas buram, hingga kini dalam lini teknologi, barangkali tidak akan ada gagasan besar yang mewujud menjadi kebudayaan manusia yang terus berinovasi. Kemudian yang muncul hanya mitos dari mulut ke mulut, tanpa tercatat dan tanpa terbaca.
Seluang hadir dengan kesederhanaan pikir, memberikan ruang bernafas bagi pembaca yang penat dengan berita maupun tulisan tendensius politik dan adu domba berdasarkan suku, ras, dan agama (SARA).
Mimpi-mimpi sederhana Seluang akan terwujud dengan satu kunci: konsistensi. Semoga kunci itu bisa saya pegang, demikian pula bagi para pegiatnya yang lain. Konsistensi mewujudkan mimpi untuk menyampaikan kebenaran dengan cara yang baik #menulisbaik.
Turasih, seorang ibu, peneliti dan penulis aktif.
Discussion about this post