
Penulis : Anggitane
Pagi meninggalkan suram, menyisakan gelisah dengan gelagat kurang baik di masa pandemi.
Niat bersepeda selepas menuntaskan perjalanan mengejar dokumentasi di Kalimatan Tengah terpaksa urung.
Tak tega menatap mata khawatir belahan jiwa yang memohon untuk menyegerakan urusan hari itu.
Saya memaklumi harapannya, cepat pergi-cepat kembali.
Semua serba tergesa dan dalam ketidakpastian ketika kebijakan aktivitas dari rumah diberlakukan.
Kami yang terlanjur di luar dan dalam masa lepas dari perjalanan diminta segera pulang dan memenuhi anjuran diam di rumah dalam rentang waktu minimal 14 hari.
Tak ada persiapan, tak ada pemeriksaan semua atas dasar kesadaran.
Meski tak berada di zona merah seperti kabar yang belakangan santer ditemukan.
Semua tersebab pemberlakuan pembatasan wilayah oleh Pemerintah Kota Solo, menyusul kejadian meninggal pasien positif Covid-19 (Corona) dari klaster seminar Bogor.
Istilah yang ramai disodorkan media dengan sumber dr. Achmad Yurianto, juru bicara pemerintah terkait Covid-19.
Tak lama kemudian, 12 Maret 2020 Kota Bogor melalui Dinas Kesehatan merilis kabar pemantauan (ODP / Orang Dalam Pemantauan) terhadap 20 warga Kota Bogor untuk rentang waktu selama 14 hari.
Kabar yang disampaikan Pelaksana tugas (Plt) Kepala Dinas Kesehatan Kota Bogor, Sri Nowo Retno itu sepintas seperti mengekor daftar penetapan ODP yang dirilis pemerintah pusat.
Hingga akhirnya, 18 Maret 2020, kabar menghenyak menyadarkan semua pihak. Wali Kota Bogor, Bima Arya positif Corona.
Status positif Wali Kota merupakan imbas dari perjalanannya ke Turki dan Azerbaijan dalam rangka tugas kedinasan mengunjungi Mall Pelayanan Publik terbaik di dunia.
Ia berkunjung bersama 4 jajarannya, termasuk sang istri, Yane Ardian pada 8 – 15 Maret 2020.
Wali Kota dinyatakan positif bersama seorang pejabat lainnya.
Kabar yang sudah barang tentu membuat semua pihak terjaga. Pun kami yang tinggal di wilayah Bogor Utara.
Sejak Corona menyeruak, tak ada pemberitahuan resmi secara kewilayahan kami harus bagaimana.
Kami paham, pemerintah kota sedang sibuk dan sedang beradaptasi dengan situasi.
Sekedar imbauan pembatasan interaksi, cuci tangan dan penggunaan masker plus hand sanitizer. Dan itu sudah kami ikuti meski dengan penerapan sendiri-sendiri.
Sejak memutuskan melaksanakan social distancing, sebelum dikoreksi menjadi physical distancing, saya telah memutuskan berdiam di rumah dan mengurangi kegiatan di luar komplek.
***
Malam belum terlalu larut, beberapa warga Cimahpar Residence memilih berada di dalam rumahnya.
Sementara itu, ketua RT setempat meminta kehadiran beberapa koleganya untuk berembug, mencari ide penanggulangan Covid-19 yang bisa diterapkan di wilayahnya.
Berbagai usulan mengemuka dan coba dijabarkan pelaksanaannya.
Kami berkumpul dalam jarak berdampingan sesuai anjuran. Pilihan yang paling realistis dan kami pahami adalah bagaimana menciptakan situasi steril untuk semua orang dan barang yang masuk komplek perumahan.
Secara cepat, ide itu kami laksanakan dengan menciptakan akses terbatas.
Penutupan gerbang dan pembuatan instalasi cuci tangan, berikut semprotan disinfektan.
Semua kami kerjakan secara swadaya dan dalam tekanan kekhawatiran.
Beruntung, kami hidup berdampingan dengan talenta beragam.
Seorang warga yang memiliki pengetahuan dan pengalaman disinfektan, secara aktif bergerak membuat cairan dari sabun yang mengandung bahan aktif Benzalkonium Chloride 1,5%.
Bahan tersebut kemudian dicampur dengan air rebusan dengan maksud sebagai air sulingan.
Hasil pengalaman dari profesinya sebagai tenaga ahli pada sebuah perusahan perkebunan skala besar.
Tanpa pengawasan dan pendampingan pihak berwenang, kami membuat bilik disinfeksi dengan modifikasi tidak menyemprot wajah.
Pilihan ini kami gunakan demi menciptakan rasa aman dan tenang warga lainnya, mengingat tak semua profesi menempatkan warga bisa WFH (Work From Home).
Kami pastikan setiap warga atau pengunjung yang keluar masuk kawasan telah cuci tangan dan masuk bilik disinfeksi.
Kami terpaksa menghentikan pedagang keliling dengan menempatkannya pada tempat yang tersedia, warga akan diinformasikan kehadiran pedagang tersebut dan bisa belanja secara bergantian.
Ini guna mematuhi anjuran tidak berkumpul dan jaga jarak. Disediakan juga wastafel portable, berikut instalasi airnya.
Untuk sesaat, kami merasa tenang. Paling tidak, kami tak hanya berdiam, sigap waspada dan siap melawan Corona dengan cara yang kami bisa.
Kabar adanya dua status positif Covid-19 di lingkungan yang tak jauh dari kami memaksa untuk meningkatkan kewaspadaan.
Salah satunya adalah sosok yang saya kenal sebagai staf-nya Walikota.
Sementara itu, dalam perjalanan upaya kami menangkal wabah, beredar kabar disinfektan tanpa pengawasan berwenang bisa membahayakan kesehatan.
Ya, kami sadar itu, bergerak tanpa lisensi dan pengawasan berwenang memang bukan tanpa resiko.
Tinggal di zona merah memaksa kami memastikan disinfektan rutin, antara 2 – 3 hari sekali di rumah-rumah, tergantung ketersediaan bahan.
Sebisa mungkin kami lakukan dengan bahan yang dianjurkan dan tanpa menyentuh kulit manusia.
Kami bekerja mandiri dengan tanpa pendampingan kepakaran. Hanya sekumpulan relawan kompleks dengan modal pengalaman.
Itupun segelintir anggota tim yang paham disinfektan.
Zona merah membuat kami tak ada pilihan. Memilih akses terbatas secara mandiri, wajib cuci tangan dan screening pengunjung lingkungan serta disinfektan.
Kami hanya bertindak demi mengurangi beban pemerintah, khususnya di saat tenaga dan fasilitas kesehatan terbatas.
Kami di sini tak mau menambah angka 784 ODP, 79 PDP dan 41 Positif di Kota Bogor, minimal sejak artikel ini ditulis.
Kami sadar, ini pandemi, dan kami tak ingin banyak jatuh korban.
*Penulis adalah cyclist, citizen journalist dan pemulung sampah Ciliwung di Bogor. Menulis musik aktif untuk hujanmusik.id. Founder seluang.id
Discussion about this post