
Memasuki tahun 2019, Indonesia menghadapi perhelatan politik yang sangat penting. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk pertama kali akan diselenggarakan secara serentak.
Menurut Koordinator Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran Indonesia Corruption Watch (ICW), Firdaus Ilyas, salah satu isu utama dalam pemilihan umum adalah pendanaan.
“Semua kandidat membutuhkan modal yang besar agar bisa berkompetisi,” kata Firdaus dalam diskusi bertajuk intervensi perusahaan rokok dalam politik di kantor ICW, belum lama ini.
Tidak hanya untuk kampanye, lanjut Firdaus, tapi juga mengawal penentuan nominasi oleh partai, pembentukan tim sukses, hingga pemungutan suara. “Pertarungan dalam pemilu selalu diawali perebutan modal pemenangan,” jelasnya.
Ada dua titik rawan yang patut diwaspadai terkait pengumpulan pendanaan poltik. Pertama, penyalahgunaan sumber daya dan sumber dana negara (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/ Daerah).
Firdaus memaparkan, beberapa kasus korupsi politik seperti suap cek pelawat, Bank Century, dan Hambalang diduga berkaitan dengan kepentingan pendanaan pemilu. Belum termasuk dana hibah dan bantuan sosial (bansos).
Baca juga: Yang Luput dan Sebuah Narasi Panjang
Kedua, lanjutnya, sumbangan dari pihak ketiga terutama perusahaan yang berpotensi menyandera para partai politik dan politisi.
Perusahaan yang memiliki kepentingan memperoleh dukungan kebijakan atau aturan dari pemerintah untuk mempertahankan, memperkuat, dan memperluas bisnisnya berpotensi besar memberikan sumbangan yang bersifat mengikat. “Perusahaan rokok salah satunya,” tegas Firdaus.
Selain itu, banyak pihak yang selama ini concern terhadap kebijakan kesehatan akibat dampak konsumsi rokok, menuntut perubahan kebijakan, misalnya mengenai menaikkan cukai rokok, pelarangan iklan rokok, dan penerapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR).
Apabila tuntutan publik ini dituangkan, eksistensi perusahaan rokok akan terganggu. Karena itu, perusahaan rokok memiliki kepentingan besar untuk mendapat dukungan pengambil kebijakan yang bisa membuat mereka memiliki ruang yang bebas untuk memproduksi, memasarkan, dan mendistribusikan produknya.
Sementara itu, Peneliti ICW, Almas Sjafrina menilai, di Indonesia tidak ada larangan bagi perusahaan rokok untuk memberi sumbangan kepada partai politik dan politisi sepanjang tidak melebihi batasan maksimal yang telah ditetapkan dalam UU Partai Politik, UU Pemilu, dan UU Pilkada.
Padahal, imbuhnya, akibat adanya kepentingan di atas, sumbangan dari perusahaan rokok berpotensi mengikat dan melahirkan konflik kepentingan. “Sumbangan perusahaan tertentu, termasuk perusahaan rokok, patut dikhawatirkan bertujuan untuk mempengaruhi kebijakan,” katanya.
Baca juga: Kata Ibu, Sehari Setelah Aku Lahir Ayah Pergi Melaut (Lagi)
Di beberapa negara, seperti di Australia, lanjut Almas, perusahaan rokok pernah mengakui bahwa mereka menyumbang dana untuk partai politik dengan tujuan mempengaruhi kebijakan.
Pengakuan tersebut diungkap oleh Perdana Menteri Kevin Rudd dari Partai Buruh di Australia pada 2013 lalu. Dalam situs democracyforsale.net, tercatat Philip Morris Ltd dan British American Tobacco Australasia Ltd banyak memberikan sumbangan ke partai politik sejak 1998 hingga 2018.
Di Indonesia, informasi sumbangan perusahaan rokok pada partai dan politisi tidak seterang di Australia. Persoalannya, transparansi pendanaan politik (partai politik dan kampanye) masih menjadi dapur gelap partai yang sulit diakses publik.
Namun, imbuh Almas, apabila perusahaan rokok, seperti Philip Morris (Pemilik HMS di Indonesia) menyumbang dana sedemikian besar di Australia, bukan tidak mungkin Philip Morris tidak melakukan hal yang sama di Indonesia.
Tidak hanya mempengaruhi dengan memberikan sumbangan politik (elektoral atau non elektoral), perusahaan juga diketahui aktif berupaya melibatkan diri dalam pembuatan kebijakan / aturan yang beririsan dengan kepentingannya.
Salah satunya saat pembahasan RUU Pengendalian Dampak Produk Tembakau untuk Kesehatan yang pernah masuk Prolegnas 2004-2009. PT HM Sampoerna pada 2009, 2010, dan 2011 mengirimkan surat permohonan kepada pimpinan DPR dan pimpinan fraksi untuk menyampaikan pandangan dan memohon untuk dilibatkan dalam pembahasan.
Baca juga: Aina, Percayalah Tuhan Tidak Tidur
Pengaruh politik perusahaan rokok tidak lepas dari kemampuan keuangan mereka. Dalam rangka memetakan pos-pos belanja atau pengeluaran perusahaan yang berpotensi digunakan untuk menyumbang modal politik, ICW membedah laporan keuangan empat perusahaan rokok, yaitu PT HM Sampoerna, PT Gudang Garam, PT Bentoel, dan PT Wismilak.
Pemetaan difokuskan pada empat pos belanja, yaitu cukai rokok, iklan, CSR, dan pengeluaran lain yang rawan digunakan untuk “investasi politik”.
Pengeluaran Cukai
Selama periode 2010-2017, empat perusahaan rokok Tbk mencatat pembayaran untuk cukai tembakau dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar Rp 42,150 Triliun pada 2010 dan meningkat hampir tiga kali lipat pada 2012, yaitu Rp 119,06 Triliun.
Kenaikan pembayaran cukai rokok ini salah satunya dikarenakan kenaikan tarif cukai. Misalnya pada 2016, tarif cukai rokok naik sebesar 10,54%.
Jika dibandingkan dengan keseluruhan penerimaan cukai tembakau dalam laporan keuangan pemerintah pusat (LKPP audited) maka kontribusi empat perusahaan raksasa ini sebesar 66,6% pada tahun 2010 dan naik menjadi 80,6% pada tahun 2017.
Belanja CSR
Berdasarkan laporan tahunan perusahaan rokok (Tbk) selama periode 2010-2017, semua perusahaan rokok (Tbk) mencatat pengeluaran kegiatan CSR yang mereka lakukan. Tetapi, tidak semua perusahaan rokok (Tbk) mencantumkan berapa belanja CSR yang sudah mereka keluarkan.
Selain itu, selama periode 2010-2017 terjadi kenaikan belanja CSR yang cukup signifikan. Sebagai contoh, pada PT Sampoerna dari Rp 10 Miliar (2010) menjadi Rp 85,1 Miliar (2017), naik lebih dari 8 kali.
CSR perusahaan rokok meliputi lintas sektor dengan lokasi tersebar pada daerah-daerah penghasil tembakau dan industri rokok, seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, NTB, dan NTT.
Baca juga: Sekolah Kami Berpagar Sungai Berdinding Tebing
Belanja Iklan
Pengeluaran perusahaan rokok (Tbk) untuk belanja iklan dan promosi terus mengalami kenaikan. Dari total empat perusaahan, pengeluaran untuk iklan dan promosi mencapai Rp 3,016 Triliun pada tahun 2010 dan meningkat menjadi Rp 5,9 Triliun pada tahun 2017.
Tren kenaikan biaya iklan rokok ini terjadi pada seluruh perusahaan. Kenaikan belanja iklan ini merupakan sesuatu yang ganjil. Pasalnya, telah terjadi pembatasan iklan dari tahun ke tahun.
Pos Belanja yang Rawan digunakan untuk Investasi Politik
Selain belanja cukai, CSR, dan iklan, ICW juga menginventarisir pengeluaran-pengeluaran perusahaan rokok yang diduga juga digunakan untuk “investasi politik”.
Nama pengeluaran ini beragam di empat perusahaan rokok. Mulai dari honorarium tenaga ahli, jasa keamanan, hingga atensi relasi.
Untuk menghindari pengaruh perusahaan rokok dalam perumusan kebijakan ke depan, paling tidak ada dua hal yang perlu didorong, yaitu, transparansi pendanaan politik.
Menurut Firdaus, daftar penyumbang dana politik dan kampanye penting didorong untuk dibuka pada publik. “Urgensinya adalah terdapat potensi abusive donation yang besar dan potensi konflik kepentingan antara pemberian sumbangan dengan perumusan kebijakan di legislatif dan pemerintah pusat atau daerah,” paparnya.
Selain itu, masih kata Firdaus, buat larangan terhadap penerimaan sumbangan dana politik dan kampanye dari perusahaan-perusahaan dengan intensitas pontensi konflik kepentingan tinggi atau perusahaan di sektor yang dianggap bermasalah.
“Pelarangan ini perlu dimasukkan dalam UU Partai Politik, UU Pemilu, dan UU Pilkada,” jelasnya.
Baca juga: Tegakkan Kepalamu Jum, Tegakkan
Selain itu, ICW juga meminta adanya penguatan regulasi pencegahan konflik kepentingan, baik di lembaga legislatif maupun eksekutif.
DPR RI pada dasarnya telah mempunyai regulasi internal untuk menghindari adanya konflik kepentingan dalam pembahasan kebijakan. Hal itu tertuang dalam Pasal 6 Kode Etik DPR RI No. 1 Tahun 2015.
Di sana disebutkan bahwa, “Sebelum mengemukakan pendapatnya dalam pembahasan suatu permasalahan tertentu, Anggota harus menyatakan di hadapan seluruh peserta Rapat jika ada suatu keterkaitan antara permasalahan yang sedang dibahas dengan kepentingan pribadinya di luar kedudukannya sebagai Anggota,”.
Anggota dewan yang menerima sumbangan dari perusahaan rokok atau bantuan dalam bentuk lainnya, seharusnya dikategorikan sebagai pihak yang mempunyai konflik kepentingan dengan pembahasan regulasi yang beririsan dengan kepentingan perusahaan rokok.
[Tulisan ini diolah dari rilis Indonesia Corruption Watch
]
Dony P. Herwanto, documentary maker, peminum kopi yang setia dan pembaca buku. Menulis untuk menjaga kewarasan dan ingatan.
Discussion about this post