
- Artikel : Mariana Amiruddin
Sungguh, saya merasa malu karena baru kali ini mengetahui bahwa di Provinsi Banten, di Kota Serang ada Universitas Negeri bernama Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
Di kampus ini, saya bertemu dengan seorang dosen Fakultas Hukum bernama Rena Yulianti yang merupakan ahli victimologi dan meneliti banyak kasus tentang korban dalam hukum pidana.
Beliau yang mengantarkan saya untuk berdiskusi tentang “Benarkah RUU Penghapusan Kekerasan Seksual melegalkan Zina?“. Diskusi ini diselenggarakan oleh Womens March Serang Banten.
Sebuah komunitas gerakan perempuan yang memperjuangkan hak-hak perempuan dan kesetaraan gender di Banten.
Baca juga : Urgensi Ruang Hidup Demokratis Perempuan
Dalam seminar sederhana sambil duduk bersama dengan mahasiwa yang hadir berduyun-duyun sampai tumpah keluar di pintu tersebut, saya hanya berdua dengan Rena berhadapan dengan mereka.
Rupanya, Rena adalah dosen favorite di kampus tersebut dan mengajak mahasiswa di fakultas manapun baik hukum, Fisip dan komunikasi utk benar-benar membaca RUU tersebut yang mereka ambil dari Situs DPR-RI dan meminta untuk berhenti bergosip dan menangkal hoax yang beredar.
Mereka benar-benar membaca pasal per pasal, bahkan saya takjub dengan Rena karena beliau justru menjadi ahli dan sangat paham bahwa RUU ini memiliki perspektif keadilan bagi korban.
Mahasiswa yang hadir tidak semuanya perempuan. Bertumpah juga mahasiswa laki-laki. Anak-anak muda ini bergantian bertanya dengan pertanyaan-pertanyaan yang cerdas yang sudah jarang saya temui di berbagai kampus.
Mereka bahkan ikut memikirkan strategi bagaimana agar publik tidak salah paham dengan RUU ini dan berniat utk membantu melakukan sosialisasi bahwa RUU ini untuk mengubah budaya dan mengurangi kekerasan seksual terhadap perempuan.
Seorang mahasiwa berdiri lantang, mengatakan, “Saya laki-laki tapi merasa perlu mendukung RUU ini karena saya peduli pada ibu dan saudara perempuan di rumah. Saya tidak mau mereka jadi korban berikutnya.”
Baca juga : Hentikan Penindasan dan Kekerasan Terhadap Perempuan
Saya perlu mengakui bahwa saya kagum. Sudah jarang sekali saya mengagumi sesuatu. Mereka begitu menghayati apa yang mereka pelajari.
Mereka juga menyatakan bahwa tidak ada agama yang menyetujui kekerasan seksual. Mereka bahkan bertanya mengapa terjadi kesalahan pembacaan bahwa RUU tersebut dicap pro zina dan lain-lain.
Mengapa RUU sebaik ini dianggap buruk dan keji?
Seorang mahasiswa lagi-lagi bertanya, apakah RUU ini benar melegalkan suka sama suka alias zina?
Saya melihat mata mahasiwa itu bertanya sungguh2 dan menginginkan klarifikasi. Saya jawab bahwa untuk apa kita mengatur orang yang suka sama suka?
Justru temuan Komnas Perempuan menunjukkan bahwa orang yang suka sama suka pun banyak menjadi pelaku dan korban kekerasan seksual.
Saya mengeluarkan data marital rape, kekerasan seksual berbasis dunia maya, dan kekerasan seksual terhadap perempuan dengan disabilitas serta incest.
Semua terjadi di rumah dan lingkungan terdekat anda. Diantaranya adalah kekerasan dalam pacaran dalam konteks suka sama suka.
Di mana perempuan diintimidasi, dipaksa berhubungan seksual atas nama cinta dan pengorbanan, dan bila menolak diancam menyebarkan foto pribadi mereka di sosial media.
Suka sama suka belum tentu saling menyukai karena perempuan sering mengalami intimidasi terlebih dahulu sebelum mereka membuat keputusan yang sadar.
Baca juga : Mengembalikan Marwah Perempuan Pesisir
“Fakta-fakta itu adalah kejadian sesungguhnya, kalian bahkan akan sulit membayangkan itu bisa terjadi, bagaimana suami menjual istri menjadi pelacur, bagaimana anak diperkosa ayahnya sendiri selama bertahun-tahun sejak usia di bawah umur, dan perbuatan tidak manusiawi lainnya yang membuat pikiran dan jiwa kita terguncang dan terpanggil untuk segera menghentikan situasi ini. Oleh karena itu, kita memerlukan hukum yang melindungi korban,” begitu jawaban saya.
Saya melihat sinar mata mahasiswa-mahasiswi yang hadir berubah menjadi lembut dan hanyut, mengetahui fakta-fakta kekerasan seksual yang di tampilkan di layar. Diantaranya ada yang berlinang air mata.
Usai seminar, saya diajak berjalan keliling kampus bersama Rena dan beberapa mahasiswa lainnya.
Bagaimana saya begitu bahagia keluar masuk berbagai gedung fakultas di kampus tersebut dan melihat anak-anak muda begitu antusias rasa ingin tahu mereka dan haus akan ruang-ruang diskusi.
Juga Rena, dosen favorit mereka yang menurut saya adalah perempuan cerdas yang saya kagumi di universitas ini.
Saya begitu bahagia bertemu mereka. Mereka sederhana dan apa adanya, tidak dibuat-buat dan mereka begitu inspiratif!
[Tulisan aslinya bisa mengunjungi halaman Facebook Mariana Amiruddin]
[Penulis adalah lulusan Magister Humaniora Kajian Gender Universitas Indonesia dan Komisioner Komnas Perempuan]
Discussion about this post