
Sabtu, 24 November 2018 saya bersama teman-teman Srawung Psikologi berkesempatan menghadiri acara puncak Upacara Kebo Ketan sebagai Penawar Racun Devide Et Impera dengan tema Marilah Kita Mendoa Indonesia Bahagia, bertempat di Rumah Tua dan Lapangan Desa Sekaralas Widodaren Ngawi. Acara ini dihadiri oleh masyarakat sekitar, maupun dari berbagai daerah, termasuk beberapa seniman dari berbagai penjuru nusantara.
Kebo Ketan adalah simbolisme dari sebuah Seni Kejadian Berdampak atau yang disebut dengan Happening Art, menurut Sunarno, MA yang pernah menghadiri upacara Kebo Ketan Tahun lalu, dan juga hasil obrolan dengan Bramantyo Prijosusilo (inisiator Upacara Kebo Ketan) bahwa maksud dari Happening Art adalah berdasarkan beberapa prinsip yaitu, pertama kesukarelaan yang dapat dilihat dari beberapa seniman secara sukarela untuk ikut terlibat dalam acara tersebut.
Seperti Om Kampret (panggilan akrab saya untuk menyebutnya), Ia melukis 22 lukisan yang ukurannya 1,5 x 7 m, yang kemudian menjadi lingkaran di titik tengah panggung sebagai bentuk penataan artistik. Kemudian ada pelukis on the spot yang datang untuk melukis beberapa acara yang digelar di sana, termasuk beberapa seniman dari berbagai daerah yang secara sukarela hadir untuk memberikan konstribusi disana. Kedua, adalah prinsip memberikan yang terbaik.
Terlihat sekali, siapapun yang terlibat di Upacara Kebo Ketan memberikan yang terbaik, mulai dari para seniman, relawan panitia, relawan pasukan semut, bahkan pedagang yang berjualan di tempat upacara. Ketiga, prinsip tanpa pamrih rame ing gawe. Kemudian spirit keempat adalah kegembiraan.
Baca juga: Deep Sea dari Kedalaman Rasa Mery Celeste

Dampak dari seni yang telah disuguhkan adalah pada kohesi sosial, menurut Hogg dalam Essential of Social Psychology, salah satu faktor yang dapat diandalkan dalam meningkatkan kohesi sosial adalah rasa saling suka (mutual liking) antara anggota, di mana dalam kelompok kecil orang saling mengenal satu sama lain. Untuk meningkatkannya dapat dilakukan dengan berbagi pengalaman serupa.
Menurut Carl Gustav Jung dalam teori kepribadiannya, ada yang menjelaskan mengenai Ketidaksadaran Kolektif yang diartikan sebagai suatu sistem psikis yang paling kuat dan paling berpengaruh, serta pada kasus-kasus patologis dapat mengungguli ego atau kesadaran pribadi. Ketidaksadaran kolektif adalah Gudang ingatan laten yang diwariskan oleh leluhur zaman purba, yaitu binatang.
Ingatan tersebut diwariskan berulang antar generasi sebagai sebuah kecenderungan untuk bertindak. Ketidaksadaran kolektif ini juga merupakan pondasi ras yang diwariskan dalam keseluruhan struktur kepribadian.
Isi dari ketidaksadaran kolektif yang utama adalah archetype, yang muncul dalam kesadaran dalam bentuk simbolisasi. Archetype sendiri adalah bentuk pikiran yang memiliki muatan emosi besar yang mewakili atau melambangkan peluang munculnya jenis persepsi dan aksi tertentu. Contoh riil dari simbolisme ini dapat kita lihat di Upacara Kebo Ketan.
Baca juga: Jionara dan Makna Sebuah Perpisahan

Simbolisme Kebo yang dipilih dalam Upacara Kebo Ketan adalah, berangkat dari rakyat pada masa dahulu yang mayoritas memiliki kebo. Kemudian dalam acara Kebo Ketan sendiri, simbol dari kebo yang besar (ginuk-ginuk) adalah melambangkan rakyat yang makmur, sehingga Kebo dapat diartikan sebagai rakyat itu sendiri.
Kemudian karakter kebo atau di sini dalam simbol Kebo Ketan dapat disebut sebagai rakyat, bahwa rakyat adalah pekerja keras, melalui simbol Kebo dapat kita ketahui bahwa, Kebo pada zaman dahulu digunakan untuk membantu manusia dalam bercocok tanam, seperti nggaru dan ngluku. Kemudian dalam memperlakukan Kebo itu sendiri harus dengan lemah lembut yaitu dengan uro-uro (nembang jawa).
Begitu juga manusia, dalam konteks bernegara; Pemerintah sebagai pelaksana dari kenegaraan ini seharusnya memperlakukan rakyat dengan lemah lembut, bukan dengan kekerasan, pemaksaan, maupun penindasan. Kebo itu juga sangat dekat dengan tanah dan air, sebagai contoh saat nggaru di sawah, Kebo membutuhkan air untuk membajak tanah tersebut. jika tidak ada air, maka Kebo akan kesulitan melakukannya. Dalam hal ini, seharusnya Kebo tersebut dapat mengingatkan kita pada cinta Tanah Air.
Sedangkan simbolisme Ketan, atau kependekan dari Kerekatan memiliki arti ngraketke paseduluran. Kerekatan ini adalah lebih pada hal rasa yang arahnya kemudian pada kohesi sosial. Seperti apa bentuk kohesi sosial adalah, kehangatan antar masyarakat, saling bahu membahu, serta gotong-royong. Sehingga puncak dari kohesi sosial ini adalah harmoni atau dapat disebut dengan kesejahteraan secara bersama-sama.
Baca juga: Menjaga Asa The Luxitania

Dalam acara ini juga terdapat pembagian wajik dan jadah. Bentuknya unik, dan kedua makanan yang asli dari ketan ini diraketkan. Warna wajik yang merah dan jadah yang putih dan sudah diraketkan adalah simbol dari bendera Indonesia itu sendiri.
Acara Kebo ketan ketiga ini, selain terdapat Kebo ketan yang disimbolkan untuk menempuh ngraketke paseduluran, terdapat juga Mahesa Dahana, Kebo yang dibuat dari kawul. Simbol dari Mahesa Dahana yang lekat dengan api, berfungsi untuk merusak ataupun membakar.
Hal ini jika digambarkan dalam manusia (rakyat) bahwa, selain terdapat orang-orang yang berusaha merekatkan paseduluran juga ada yang bersifat merusak. Oleh karenanya, di akhir setelah riuh seni sakral nusantara, Mahesa Dahana ini dibakar. Simbol ini memiliki arti, bahwa puncak kemenangan berada pada Kebo Ketan, yaitu pada kemenangan rakyat yang mempersatukan bangsa. Oleh karenanya tema dari Upacara Kebo Ketan ini adalah, Mari Mendoa Untuk Indonesia Bahagia.
Acara ini dihadiri dari berbagai penjuru nusantara, juga melibatkan beberapa komunitas yang jargonnya tertulis dalam bendera yang diarak bersama Kebo Ketan. Terdapat 36 Bendera dari beberapa komunitas yang ada di Nusantara. Kata yang tertulis dalam bendera tersebut diantaranya Gemi, Wani, Migunani, Jagjag, Rumaket, Horas, Earth, Kahofa, Padusi, Cari, Ewako, Helau, dan Jianai.
Baca juga: Tradisi Menjaga Air di Lonthoir

Simbolisme yang di garap bersama LSM Kraton Ngiyom ini, yang mulannya adalah untuk memperbaiki kondisi alam alas begal dan sendang margo di sana, kini dapat menghadirkan orang-orang dari penjuru Nusantara.
Oleh karenanya, sangat jelas bahwa ini adalah sebuah Seni Kejadian Berdampak (happening art), yang memberikan makna kerekatan seperti simbolnya yaitu Kebo Ketan.
[Penulis adalah mahasiswi Fakultas Psikologi IAIN Kediri, Jawa Timur]
Discussion about this post