Seluang.id
  • KotaHujan
  • Editor’s Pick
  • Populer
  • About Seluang
  • Login
No Result
View All Result
  • Landscape
  • Our Story
  • Art
  • Amatan & Opini
SeluangID
  • KotaHujan
  • Editor’s Pick
  • Populer
  • About Seluang
No Result
View All Result
SeluangID
No Result
View All Result

Kejutan Setiba di Budapest

SeluangID by SeluangID
19 Mei 2019
in Our Story
Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsApp
Benny Arnas di salah satu sudut kota Budapest, Hungaria. Foto : Dokumentasi pribadi
  • Artikel Benny Arnas

Langit Budapest mulai buram. Pukul 9 petang, kami tiba di Hungaria. Magrib baru berlabuh. Saya menggeret koper menuju apartemen.

Hari ini saya mulai berniat tak ingin merepotkan Ethile lagi. Ransel besar di punggungnya tentu bukan beban yang ringan. Selama ini, atas dalih fasilitator, dia mengurus koper saya, termasuk menggeretnya ke mana-mana.

Entah bagaimana, beberapa waktu belakangan, dengan semua kegilaannya, Ethile malah menumbuhkan empati dan simpati dalam diri saya.

Tentu saja mulanya pemuda yang sudah keliling dunia sejak usia 17 itu memaksa membawakan koper saya, tapi saya sudah tak mau kalah.

Baca juga : Bab Terakhir dari Ketegangan di Plivitce

Lima langkah di depan, Ethile sibuk dengan Google Map-nya. Sepuluh menit kemudian kami tiba di sebuah gedung berlantai 5 di Laeron Street.

Belum lima menit bicara dengan resepsionis, Ethile menatap saya. Tatapan yang lain. Tentu saja saya curiga. Curiga ada yang tidak beres.

“Sorry, Benn.”

“Kenapa?”

“Saya salah apartemen.”

“Oke.” Saya mencoba menyimpan kekesalan. “Jadi mana yang benar? Itu, itu, atau itu?” Saya menunjuk beberapa apartemen yang tampak di daerah itu.

“Saya salah ketik jalan. Yang benar adalah Laer Oon Street.”

“Oke, Et. So?”

“Tunggu saya hubungi taksi.”

“Oke.”

Lima menit kemudian.

“Wah, kartu kredit saya gak kebaca di aplikasi!”

“To the point, Eth.”

“Wait, Benn!” Ia berlari menjauh.

“Ke mana?”

“Siapa tahu ada taksi ngetem di ujung Liberty Bridge!”

Oh oke. Saya baru tahu kalau kami sekarang berada tak jauh dari salah satu ikon Kota Pest itu.

“Kenapa?” tanya saya cepat ketika mendapati Ethile muncul dengan ekspresi yang sepertinya tidak menunjukkan kabar baik.

“Kita harus jalan kaki ke utara, Benn.”

“Berapa jauh.”

“Cuma 10 menit mungkin.”

“Sejauh?”

“Google Map bilang 1,6 km-lah.”

Baca juga : Ketegangan di Plivitce (Bagian 1)

Saya pikir tak ada gunanya mengeluh. Saya menggeret koper. Ke arah telunjuk Ethile. Ke Utara.

Ia mengambil alih koper saya. Saya biarkan saja. Dia lebih dulu beberapa langkah di depan saya.

Sepuluh menit—ya, sepuluh menit—kemundian kami tiba di apartemen yang dituju. La Visuty, begitu tertera di plank pintu masuk. Ethile menekan kombinasi angka di papan tombol pintu masuk.

Baru saja Ethile meletakkan koper ke dalam kamar, ponselnya berdering.

“Benn,” intonasi suaranya terdengar lain, kombinasi antara kecemasan dan ketakmungkinan.

Saya tak peduli. Saya melepas sepatu dan melempar ransel ke ranjang. Saya bermaksud hendak menyalakan heater sebab di jam tangan digital saya menunjukkan saat ini Budapest dingin sekali. Sembilan derajat celcius.

“Aida, Benn!” Ethile mendekati.

Baca juga : Daun Kelor di Slovenia

“Kenapa?” Saya mengeluarkan sarung dari dalam ransel. Ah tanpa benda satu itu, saya takkan merasa nyaman melakukan aktivitas di dalam kamar/apartemen.

Saya perlu mengondisikan semuanya seperti rumah agar nyaman beraktivitas, termasuk tidur, membaca, atau menulis tentu saja.

“She was shooted!”

“Apa?” Saya refleks berhenti menggulung sarung di pinggang.

“Kenapa bisa?”

“Itu yang buat aku tak habis pikir.”

“Ya, kenapa?”

“Aida saat ini di rumah sakit.”

“Jadi kamu perlu kembali ke Zagreb untuk menjenguknya?” Saya mulai kesal. Ethile tidak menjawab pertanyaan saya. “Kenapa Aida bisa tertembak?” Saya mulai berteriak.

“Mercy itu bukan punya Aida.”

“Kan bisa saja itu punya perusahaan taksinya. Aku pun mengiranya begitu atau … Aida mencurinya dari seseorang.”

“Bukan itu masalahnya.”

“Lalu apa?”

“Dia memakai mercy orang lain untuk ke Plivitce untuk ….”

“Untuk melukai gadis-gadis itu?”

Ethile mengangguk lemah.

“Jadi, Aida pelakunya?”

Ethile tak menjawab.

“Eth?”

“Jangan banyak tanya dulu, Benn. Aku sedang syok memikirkan banyak hal!” Mukanya benar-benar kusut.

Sungguh belum pernah saya melihat Ethile marah dan sedih seperti saat ini.

Dia pasti syok sekali sebab gadis yang baru saja ia temui—sekaligus ia sukai—ditangkap dalam keadaan mengenaskan sebagai penjahat.

“Eth ….” Saya mendekatinya. Duduk di dekatnya di tepi dipan.

Ethile membuang muka.

Saya terdiam. Di luar, suara orang-orang yang baru keluar dari bar yang terletak tepat di samping kanan apartemen ini, mulai menceracau, mulai bising.

Baca juga : Ketegangan di Plivitce (Bagian 2)

Ethile pasti pusing sekali..

Saya ke kamar mandi. Ambil wudu. Hendak salat magrib, sekaligus mendoakan … Aida, eh atau … Ethile. Saya tak tahu.

[Tulisan bersumber dari sini]

[Penulis adalah Founder BennyInstitute. Tinggal di Lubuklinggau, Sumatera Selatan]

SeluangID

SeluangID

Related Posts

Catatan dari Lokasi Banjir di Pamanukan

by SeluangID
11 Februari 2021
0

Banjir di Pamanukan. Foto: Bayu Gawtama / Sekolah Relawan Penulis : Bayu Gawtama Ini memang harus dituliskan agar masyarakat...

Chanee Kalaweit dan Kisah Pelestarian Satwa Liar

by SeluangID
22 Januari 2021
0

Chanee Kalaweit mendedikasikan hidupnya untuk kelestarian Owa. Sumber Foto : greeners.co Penulis : Linda Christanty Andaikata saya kembali ke...

Kado 2021 Jokowi untuk Masyarakat Adat

by SeluangID
9 Januari 2021
0

Acara penyerahan SK Pengelolaan Hutan Adat, Perhutanan Sosial dan TORA di Istana Negara, Kamis, 7 Januari 2021. Foto: BPMI...

Next Post
Sumber foto: www.narakata.com

Tiga Fragmen di Tahun 1965

Salah satu penyintas gempa dan tsunami Palu yang menemukan kedamaian dari bilik bambu. Foto : Ahmad Yunus.

Tuhan Ada di Bilik Bambu

Seorang pelajar membawa kantong berisi sampah plastik yang dipungut dari Sungai Code. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

Bersih-bersih Sungai Code

Discussion about this post

Story Populer

  • Naskah asli Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang dikoleksi wartawan B.M Diah. Sumber foto: Wikipedia

    Coretan-coretan Sukarno pada Teks Proklamasi itu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Proklamasi, Kenapa Pindah dari Ikada ke Pegangsaan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Telepon Nasution dan Sarwo Edhie Setelah Pranoto Dibebaskan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Saya Tidak Panik. Saya Mengisolasi 14 Hari

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • “Kami tak Ingin Lingkungan Ini Rusak,” kata Yanto

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Seni dan Virtual, Antara Eksperimen dan Eksplorasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ajip Rosidi: Membaca dan Menulis Tanpa Akhir

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
# # #
SeluangID

Kami ingin menyajikan berita melalui cerita. Mimpi sederhana kami: mengisahkan kebenaran - walau itu kecil - ke banyak orang. Karena Dunia Butuh Cerita.

  • Amatan & Opini
  • Art
  • Catatan Redaksi
  • Kota Hujan
  • Landscape
  • Obituari
  • Our Story
  • Review

Follow Us

We’d like to hear from you!

Hubungi Kami di : [email protected]

Ikramina Residence Blok E No 1 RT 004/007 Desa Bojong, Kecamatan Kemang Kabupaten Bogor Jawa Barat, 16310

  • About Seluang
  • Beranda
  • Pedoman Media Siber

© 2021 Design by Seluang Institute

  • Landscape
  • Our Story
  • Art
  • Amatan & Opini
No Result
View All Result

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In