
Selalu menyenangkan apabila bertemu dan ngobrol dengan tetua adat. Banyak hal baru dan seru yang bisa kita dapatkan, perspektif yang berbeda dengan yang selama ini kita punya. Pada akhir tahun 2017 lalu, saya beruntung bertemu dengan beberapa pemangku adat di kecamatan Mori Atas, salah satunya adalah Ibu I. Wille Manggede yang merupakan Dewan Adat Desa Tomata, jadi lebih paham bagaimana mereka memaknai alam, desa dan kehidupannya.
Masyarakat di Mori Atas sangat menjaga hutan di sekitar mereka, karena hutan tersebut merupakan sumber pemenuhan kebutuhan hidup mereka. Kayunya untuk rumah, mata airnya untuk makan dan minum, sungainya untuk irigasi sawah, tumbuhannya untuk diramu menjadi makanan.
Bagaimana menjaga hutannya tersebut mereka musyawarahkan dalam rapat desa dan hasilnya dibakukan dalam Peraturan Desa (PERDES). Dan di tiap desa memiliki perdesnya masing-masing sesuai dengan adat dan kesepakatan mereka. Contohnya seperti ketika ada warga yang ingin membangun rumah dengan kayu di hutan, maka harus mengajukan izin ke kepala desa untuk menebang pohon.
Pengembalaan ternak pun dilakukan di kandang besar milik desa yang ada di padang rumput besar seperti Koromboyo yang merupakan kandang besar milik Desa Tomata dan Desa Pambarea serta Wasumease yang dimiliki oleh Desa Gontara.
Pangan dan ketersediaannya sudah menjadi bagian dari budaya masyarakat kecamatan Mori Atas yang dihuni oleh berbagai suku yang mayoritasnya dari Suku Mori (dengan sub suku Padoe, Molioa, Tinambe), Pamona, Toraja, Bugis dan sebagian kecil Batak dan Jawa.
Dalam prosesi masa panen di mana panen raya memiliki arti yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat setempat, ritual adatnya mencakup Mowue dan Padungku. Mowue adalah berdoa setelah panen, padi yang dipetik tidak boleh dimakan sebelum doa syukuran dipanjatkan.
Nasi dibungkus dalam daun khusus lalu dilakukan doa dan ibadah evangelisasi di tiap-tiap rumah. Tata cara berdoa pun mengalami perubahan, jika dulu berdoa “Bersyukur atas berkah bumi dan menyambut padi baru ini” dipanjatkan kepada Tuhan Pencipta, maka kini masyarakat yang sudah mayoritas Kristen berdoa sesuai dengan ajaran Injil.
Pada Mowue ini juga ditentukan kapan waktu yang tepat untuk pelaksanaan Padungku yakni pesta panen raya. Biasanya Padungku dijadwalkan berbeda-beda tanggal antara desa satu dan lainnya, agar masing-masing tetangga bisa saling bersilaturahmi.
Selain ritual adat untuk panen, juga ada ritual untuk membuka areal lahan yakni ritual Mesumbo yang merupakan doa untuk memohon restu kepada Tuhan Pencipta agar lahan yang dibuka diberkati dengan hasil yang baik. Dalam Mesumbo digunakan pinang, kapur sirih dan tembakau yang dibingkai dengan anyaman yang dibuat oleh para tetua.
Pada tahun-tahun terakhir juga para ibu PKK aktif membuat program “mendekatkan pasar ke rumah” yakni inisiatif menanam aneka sayur, tanaman obat dan bumbu dapur di pekarangan rumah. Progam ini menurut Ibu Wille ada yang berhasil dan ada yang tidak, tergantung dari ketekunan pemilik rumah. Sayangnya saya belum ada kesempatan untuk bertandang ke rumah beliau sehingga tidak bisa foto pekarangan rumahnya.
Dari ritual adat yang terus dijaga sejak zaman nenek moyang, masyarakat setempat sangat menghargai dan menjaga lahannya sebagai tempat mereka melangsungkan hidup. Buat saya yang dibesarkan di kota besar, sejak kecil dididik untuk belajar supaya pintar nanti masuk universitas yang bagus dan bekerja dengan penghasilan yang baik sehingga kehidupan kita akan mapan. Memang tidak salah, untuk tolak ukur kita. Tapi dalam proses mencapai kemapanan itu sendiri kadang kita lupa memaknai perjalanannya.
Kalau kita mau makan, kita perlu uang. Mau rumah, perlu uang. Mau baju, perlu uang. Semua perlu uang. Seluruh dunia tau kita perlu uang. Di era yang semuanya serba diukur dengan uang dan seakan sekat antar negara hilang dan memudahkan kita mendapatkan barang, rasanya bumi menjadi berat. Lalu di mana-mana mulai bergaung sustainable living, homesteady, naturalist, simple living etc.
Gerakan kembali ke alam, di mana kita bisa konsumsi makanan dengan apa yang ada di sekitar kita. Pangan lokal mulai dilirik kembali.

Kalau kita browsing homesteady bisa dilihat banyak tautan yang memberikan informasi apa saja usaha orang-orang agar dapat mencukupi kebutuhan sehari-harinya. Bahkan ada yang share ilmu mengenai lay out pekarangannya agar sepanjang tahun dapat panen. Bukan untuk dijual kembali namun untuk dikonsumsi keluarga.
Bersama dengan rekan-rekan Tzu Chi, biasanya kami suka saling sharing mengenai hidup yang sustainable. Prinsip dasarnya adalah membedakan keinginan dan kebutuhan. Kita butuh makan, maka seharusnya apa yang disediakan alam di sekitar kita, bisa kita ramu menjadi sesuatu yang layak dimakan.
Pernah saya baca di National Geographic Indonesia edisi Maret 2016 tentang Ketahanan Pangan, di mana di dunia ini seharusnya tidak pernah kekurangan pangan karena sejatinya bumi menyediakan makanan sesuai dengan kebutuhan kita manusia di masing-masing daerahnya.
Per tahunnya ada berton-ton pangan dibuang dengan alasan estetika tidak diterima di pasar, sementara itu di belahan dunia lain ada yang sampai kekurangan makanan karena tidak adanya pangan. Atau di negara berkembang, di mana pangan menguap begitu saja karena kekurangan fasilitas penyimpanan yang memadai, jalan yang bagus, dan alat pembeku ketika pasca panen.
Sejatinya kemajuan teknologi dapat membuat kehidupan yang lebih baik. Kebutuhan akan uang dan kapitalisasi semua bidang membuat kita kadang lupa memaknai hal-hal di sekitar kita.
Sebagai muslim, saya diajarkan bagaimana Rasulullah selalu mengingatkan kita agar hidup tidak berlebihan.
Rasulullah dan Khadijah, sangat banyak memiliki kekayaan, namun hartanya semua dibuat untuk dakwah di jalan-Nya, yang tersisa hanya apa yang dibutuhkan dalam kehidupan kesehariannya. Di belahan bumi lain dan sejak nenek moyang, ajaran kesederhanaan menjadi kebajikan yang universal.
Dengan pertemuan bersama Ibu Wille, saya seperti diingatkan lagi dengan apa yang saya pelajari sejak kecil, akan makna tanah yang kami injak, asal air yang kami pakai untuk minum dan makanan yang kami makan. Semua tidak perlu berlebihan, tapi bagaimana kita bisa menghargai dan bersyukur atas nikmat yang diberikan kepada kita. Dunia ini cukup untuk menghidupi seluruh manusia, tetapi tak akan cukup untuk satu orang yang serakah.
NB: Tulisan serupa, bisa dijumpai di Sini
Nadyne_Iva, travel enthusiast, Commuter Depok-Jakarta-Depok, Jack of All Trades, alias banyak maunya.
Discussion about this post