
Wartawan Amerika itu tak tahu prinsip kopi tubruk. Itulah cara paling jujur dan sederhana untuk menikmati kopi yang dikembangkan oleh orang Indonesia.
Ambil kopi setakaran yang sesuai selera. Tuangkan air panas mendidih. Tambah gula. Aduk tunggu sampai ampasnya mengendap. Ampas yang mengapung? Ciduk saja perlahan sambil menunggu dingin.
Biarkan saja atau sengajakan sedikit kopi meluber dan menyisakan jejak ampas di dinding luar gelas. Nikmati saja itu seperti latte art.
Dan silakan seruput. Atau hirup pakai sendok pengaduk tadi sesendok-sesendok. Atau, tuangkan kopi pada tatakan agar lekas dingin. Minumlah langsung dari tatakan itu.
Baca juga : Sapardi, Setelah Dukamu Abadi
Itulah prosedur dasar menghidangkan dan menikmati kopi tubruk ala Indonesia. Tapi di lidah wartawan bule tadi kopi tubruk adalah kesalahan besar.
Ampas yang mengapung dan yang tertandak mengendap di dasar gelas itu mengganggu pencernaannya.
Di Istana Presiden Malioboro ia berkunjung untuk bertemu dengan Presiden Sukarno.
Sang presiden sedang sibuk dengan satu urusan dan ia menunggu di satu ruangan yang seperti merangkap antara ruang tamu dan kamar tidur.
Ada kursi-kursi jati di satu bagian, di bagian lain tempat tidur berkelambu. Perdana Menteri Sjahrir duduk dengan enak di salah satu tempat tidur bertilam empuk itu.
Sjahrir sedang menikmati kopi paginya, dan ia juga menawarkan kopi kepada si wartawan Amerika.
Pada hirupan pertama – dan itu adalah kopi tubruk pertama yang ia cicipi – si wartawan dengan kurang ajar meludahkan kembali apa yang ia seruput, sambil spontan memisuh.
“Huh, keparat, kopi apa ini. Apa kalian tak pernah terpikir untuk menyaring kopi pakai kain kelambu itu sebelum menghidangkannya!”.
Baca juga : Sukarno: Pakailah Peci Sebagai Lambang Indonesia Merdeka
Ya, kira-kira pisuhan si wartawan bule Amerika itu begitulah maksudnya. Soalnya tulisannya sudah diterjemahkan.
Dan Sjahrir tertawa, terpingkal-pingkal. Begitu saja, tak sampai mengakak dan berguling-guling. Dia kan perdana menteri.
“Ini namanya kopi tubruk, Bung!” Mungkin, begitu penjelasan Sjahrir. Mungkin.
Wartawan itu bernama Arnold C. Brackman. Ia datang ke Jakarta, setelah persetujuan Linggarjati diteken.
Ia terbang dari Jepang dan bekerja oleh United Pers (UP) untuk menjadi koresponden merangkap Kepala Biro.
Di Jepang dia meliput di pengadilan militer Tokyo yang menyidangkan para pemimpin kekaisaran Jepang sebagai penjahat dalam Perang Dunia II.
Yang ia bayangkan tentang revolusi Indonesia yang akan ia liput adalah sosok Soekarno.
Tapi yang pertama dia kenal adalah Perdana Menteri Sjahrir. Mereka berkenalan di rumah proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur 56. Dan dia kecewa.
Baca juga : Banzai! Banzai! dan Raung Sirine di Kota Padang
Mereka bertemu di ruang tamu. Arnold kikuk berhadapan dengan Sjahrir yang mungil. Inikah perdana menteri itu? Sama sekali tak meyakinkan!
Di negerinya susah mencari orang yang lebih pendek daripada dia, sementara Sjahrir lebih pendek lagi daripada dia. Penonton kecewa.
Seluruh angan-angannya tentang sebuah revolusi dan orang-orang revolusioner berantakan. Ditambah lagi penampilan Sjahrir yang waktu itu – seperti yang diingat oleh Arnold – berpakaian santai, kemeja putih lengan pendek, celana drill coklat yang tak licin, dan bersandal.
Pertemuan pertama itu mengesankan Arnold karena pembicaraan dengan Sjahrir tak pernah menjurus menjadi pertemuan formal.
“Saya hampir terus-menerus tersenyum dan tertawa selama pertemuan pertama kami itu dan sama sekali tak pernah serius,” kata Arnold dalam tulisannya mengenang Sjahrir yang dimuat dalam buku “Mengenang Sjahrir” (Gramedia, 1980), yang dieditori oleh H. Rosihan Anwar.
Keramahan, kedekatan yang kemudian terbangun, dan keakrabannya dengan Sjahrir itulah yang mungkin bikin dia spontan meludahkan kopi tubruk dan memisuh soal ampas kopi yang terteguk di Istana Presiden Malioboro, Yogyakarta, yang peristiwanya saya pakai untuk membuka dan menutup tulisan ini.
Demikian. Sudah, begitu saja.
[Penulis adalah mantan wartawan. Kini bermukim di Jakarta. Giat menulis puisi dan sedang mendalami penulisan naskah film. Tukang gambar yang rajin berkeliling Jakarta]
Artikel “Kopi Tubruk dan Wartawan Amerika yang Kecewa” merupakan konten kolaborasi dengan narakata.com, konten serupa bisa dilihat di sini
Discussion about this post