
Amati sepintas jalan-jalan yang kau lalui, mereka seolah halaman-halaman penuh tulisan: kota itu mengatakan segala yang seharusnya kau pikirkan, membuatmu mengulang wacana yang ia cetuskan, dan di saat kau percaya bahwa kau mengunjungi Tamara, kau hanya merekam nama-nama yang ia gunakan untuk mendefinisikan dirinya dan semua bagian-bagiannya. (Kota-Kota Imajiner, karya Italo Calvino, hal 14)
- Artikel Dony P. Herwanto
Beberapa waktu yang lalu, saya berkesempatan mengayuh sepeda dari Rumah Dinas Walikota Bogor di Jalan Padjajaran sampai Balaikota Bogor di Jalan Juanda bersama orang nomor satu di Kota Bogor, Bima Arya Sugiarto. Jarak tak jadi soal. Tak sampai 15 menit, kami sampai di Balaikota Bogor.
Meski sepeda kami tak sebanding, kami tetap menikmati sejuknya pagi di Kota Bogor. Kendati sama-sama menggunakan sepeda merk Italia, sepeda kami lahir dari tangan dan jenis yang berbeda. Sepeda saya merk Aleoca Tempo Libero, lahir dari jenis sepeda lipat. Sementara itu, walikota pilihan rakyat ini mengayuh sepeda merk Italjet tipe Ascot. Sepeda listrik yang sudah mendapat nama sejak tahun 1959, memiliki kecepatan sampai 25 kilometer per jam.
Jelas tak sebanding dengan sepeda lipat mungil saya yang hanya menggunakan tenaga kaki-kaki manusia. Meski lajunya tak sebanding, Bima Arya masih mau menurunkan kecepatannya hanya untuk mengimbangi kayuhan sepeda saya. Ibarat kata, Bima sekali kayuh menggunakan Italjet, saya harus lima kali kayuh dengan sepeda lipat Aleoca saya. Memang, pemimpin tak boleh meninggalkan warganya. He..he..he.
Kami benar-benar menikmati setiap kayuhan sambil melihat sudut-sudut kota dan menghirup udara yang masih segar. “Kota Bogor sudah berubah,” kata saya. “Bogor harus nyaman,” balas Bima, sambil sesekali menunjuk beberapa titik yang kelak akan mendapat sentuhan ajaibnya. Saya lima kali kayuh. Bima hanya sekali kayuh.
“Ini tidak bisa kita temukan saat kita berada di dalam mobil, Don,” jelas Bima usai saling balas menyapa dengan warga yang melihatnya. Saya saksi mata, saksi hidup bahkan, warga Kota Bogor benar-benar ramah kepada pemimpinnya. Saya lima kali kayuh lagi. Bima sama sekali tak mengayuh.
“Saya bayangkan (dan pasti akan diwujudkan) Kota Bogor ini nyaman untuk bersepeda dan berjalan kaki. Topografi Kota Bogor sudah mendukung,” jelas Bima seraya menunjuk kawasan Sempur yang memang menjadi gerbang ketiga menuju Balaikota Bogor. Yang pertama, Terminal Baranangsiang, kedua Tugu Kujang.
Galibnya membangun kota tidak serta-merta sekejap mata selesai. Tidak seperti membalikkan telapak tangan. Dan tidak bisa juga dalam satu malam. “Perlu perencanaan yang matang, Don,” katanya, sambil mengayuh. Karena posisi jalanan dari Jalan Jalak Harupat menuju Jalan Juanda sedikit menanjak. Saya? Saya mengayuh lebih banyak tentunya. Lebih dari lima kali kayuh. Tapi tak apa. Sekali waktu, perlulah kita mengejar kayuhan Walikota Bogor ini.
Bima, dalam sesi obrolan ringan di atas sepeda, mengaku, membangun Kota Bogor harus cermat. Tidak tunggang-langgang. Atau menjadi alat pertumbuhan saja, yang pada akhirnya masyarakat lupa cara menikmati kota yang tujuan utamanya adalah permukiman manusia. “Warga Bogor harus ikut membangun kotanya,” ucap Bima sembari melambaikan tangan dengan sejumlah petugas Polisi di Pos Pertigaan depan Istana Bogor.
Jauh setelah kami mengayuh, mulai 1 April mendatang, Kota Bogor akan menerapkan Sistem Satu Arah (SSA) di seputaran Kebun Raya Bogor. Jelas, ini tak bisa lepas dari pro kontra. Warga yang tinggal dan berpinak di Sempur – salahsatu contohnya – pasti akan merasakan dampak langsung kebijakan Walikota Bogor, Bima Arya ini.
Yang tadinya hanya sekali naik angkutan kota untuk bepergian, dengan kebijakan SSA ini, nantinya bisa dua, tiga kali berganti naik angkutan kota. Namanya juga ujicoba. Jika nantinya akan banyak mudharatnya, tentu sebagai pemimpin yang bijak – saya yakin itu – Bima akan mempertimbangkan menjalankan kebijakan ini. Pembisik yang baik adalah pembisik yang mengarahkan ke jalan yang benar. Bukan malah menjerumuskan. Bukankah begitu?
Kami mengayuh lagi. Melintasi Hotel Salak yang menjadi ikon peninggalan sejarah. Semakin kami mengayuh, semakin sadar bahwa kota ini harus dibangun bersama-sama. Baiklah, berhubung saya dan Bima Arya sudah sampai di Balaikota, saya kutipkan dialog antara Sinicius dan warga Kota Roma dari naskah Shakespeare, Coriolanus Scene 1:
“Apakah kota kalau bukan the people,” ujar Sinicius kepada warga Kota Roma
“Benar, the people adalah kota,” jawab warga.
Dony P. Herwanto, documentary maker, peminum kopi setia dan pembaca buku. Menulis untuk menjaga kewarasan dan ingatan.
Discussion about this post