
Saya yakin belum pernah ada yang menuliskan sejarah ini. Sejarah kehebatan para perempuan di Bukittinggi pada masa Kolonial Belanda.
Karena hari ini adalah Hari Kartini, 21 April yang juga merupakan Hari Emansipasi Wanita, maka saya luangkan waktu untuk mengisahkan ini kepada Tuan dan Puan sekalian.
Sekitar 19 tahun lalu ketika saya mengelola koran di Kota Bukittinggi, seseorang yang gemar mengumpulkan koleksi buku sejarah memberikan fotokopian buku yang sangat kecil dan tipis ini kepada saya.
Halamannya hanya 10 dan ukurannya hanya besar sedikit dari gawai yang Tuan dan Puan pegang. Jadi dari rupanya lecek sekali.
Tapi begitu diamati baik-baik, isinya sungguh amat bernilai. Buku ini bukti kehebatan para perempuan Minangkabau di Fort de Kock, nama dahulu untuk Kota Bukittinggi sekarang.
Sungguh tidak bisa dibandingkan dengan apa yang telah dilakukan perempuan Minangkabau sekarang.
Buku kecil-tipis ini adalah undangan sebuah pertunjukan seni yang digelar di Rumah Bola Belvedere, Kota Fort de Kock pada Sabtu, 28 Agustus tanpa tahun. Tapi saya yakin acara ini terjadi pada 1926.
Acara itu disebut “Pertunjukan Kaum Perempuan” yang dimulai pukul 9 malam. Pengurusnya adalah tujuh perempuan: Rangkayo Lenggogeni, Rangkayo Zawahir, Rangkayo Syarifah, Rangkayo Ramala, Rangkayo Rohana, Rangkayo Pario, dan Rangkayo Kasinah.
Pertunjukan seni ini menjadi luar biasa karena diadakan para perempuan tersebut sebagai “malam amal” mengumpulkan dana untuk korban gempa di Minangkabau.
Tak ada keterangan tertulis, tetapi saya yakin ini terkait dengan gempa dahsyat 7,6 SR yang mengguncang Kota Padangpanjang dan sekitarnya pada 28 Juni 1926. Gempa ini meluluhlantakan negeri dan menewaskan sedikitnya 354 orang.
“Tolonglah orang-orang yang kena bahaya gempa di Minangkabau”, demikian judul undangan 10 halaman tersebut.
Apa saja pertunjukan seni yang dikelola dan dilakoni para “rangkayo” (semacam gelar untuk perempuan dari keluarga terpandang) ini?.
Dalam buku undangan kecil-tipis dua bahasa, Indonesia dan Belanda ini terdapat daftar acara, yaitu Pujian, Tari, Toneel (drama) dua bagian.
Kemudian istrirahat dan dilanjutkan dengan Toneel (penutup), tari, dan terakhir seruan kepada Tuhan alias doa.
Di buku ini tertera lima bait dalam dua bahasa, seruan kepada Tuhan lima bait, dan ringkasan kisah drama dalam bahasa Belanda.
Drama ini mengisahkan tentang upaya seorang gadis Minangkabau bernama Rohana (Anna) membatalkan perjodohannya oleh orang tuanya dengan seorang tua kaya bernama Bagindo Kayo.
Nah, siapa Rohana yang ikut namanya tercantum sebagai pengurus acara ini. Apakah ia Rohana Kudus, perempuan Koto Gadang si wartawan perempuan pertama di Ranah Minang?.
Tidak ada referensi tentang ini, namun melihat kaitan sejarahnya, sepertinya dia memang Rohana Kudus.
Berapakah dana yang terkumpul dari acara seni yang digelar para perempuan tersebut untuk membantu korban gempa? Belum ada referensi tentang ini.
Yang jelas kegiatan para perempuan ini sungguh luar biasa dan belum pernah terdengar hal serupa dilakukan para perempuan Minang kemudian untuk membantu korban bencana, termasuk gempa 30 September 2009.
Dan bisa jadi sudah ada yang menuliskan kisah tentang ini. Kalau sudah, maka pengetahuan saya akan bertambah.
Jika ada dari Tuan dan Puan yang memiliki referensi tambahan tentang ini, maka pengetahuan sejarah kita tentang perempuan Minangkabau dan Indonesia akan semakin kaya.
Semoga para perempuan Indonesia tidak semakin mundur dari generasi pendahulunya.
[Tulisan ini berasal dari sini]
[Penulis adalah mantan wartawan The Jakarta Post. Ketua Majelis Etik Nasional Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan anggota AJI Padang yang juga mengelola website jurnalistravel.com]
Discussion about this post