
- Artikel Donny Iqbal
Siang itu, Abdul Latief [49], menunggu anggota Kelompok Jaka Kencana berkumpul. Seperti biasa, mereka menggelar rapat mingguan.
Kelompok ini beranggotakan 30 orang, terdiri dari nelayan, petani, dan pemuda di Desa Pabean Udik, Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.
Latief belum tenang, meski ia dan kawan-kawan telah menanam mangrove seluas 20 hektar di kawasan tersebut.
Mangrove yang bukan saja sebagai benteng alami dan pelindung permukiman dari gelombang laut, tapi juga memulihkan lingkungan.
Dia masih perlu usaha keras. Cita-cita menghutankan kembali mangrove di tempat tinggalnya harus diwujudkan.
Di Rumah Berdikari, Latief terbiasa merenung. Hunian 7 x 13 meter persegi itu memang dikelola sebagai tempat menuangkan ide dan kreasi.
Pelatarannya dipenuhi perkakas dan bibit mangrove. Di dalamnya, tersaji beragam produk olahan dan sederet penghargaan yang diraih.
“Rumah ini dibangun empat tahun lalu. Siapa saja yang ingin belajar mangrove boleh datang kemari,” ucapnya.
Baca juga : Perjuangan Warga Dapatkan Lahan di Hutan Lindung Egon Ilimedo
Upaya Latief dimulai jauh sebelum rumah itu berdiri. Sikap “berdikari” telah dirintis sejak 2002.
Ketika itu dia hidup sebagai petani, kerap juga sebagai nelayan.
Kehidupannya berkecukupan, sampai dia pernah merasakan manisnya keuntungan tambak udang windu dan ikan bandeng.
Akan tetapi, nikmatnya hasil tambak hanya dicicipi tak lebih 365 hari.
Setelah itu, dia harus jungkir balik ketika perlahan air laut menggerus daratan. Usahanya buntung.
“Tambak warga lain juga hancur. Udang pada mati, stres orang sini bilang,” kenang Latief.
Sekali waktu, dia pergi ke pesisir yang jaraknya kurang lima kilometer dari tempat tinggalnya.
Di sana, Latief kaget. Abrasi terlihat jelas, tak ada pohon pelindung.
Dia menduga, maraknya penebangan hutan mangrove di kawasan itu sebagai biang keladi.
“Saat itu, benar-benar miris. Lingkungan hancur dan ekonomi lebur,” ujar dia.
Kala itu, Latief mengaku tak paham konservasi. Tak mengerti juga cara memperbaiki pesisir.
Hanya keinginan kuat menanam mangrove yang membara di dadanya.
“Hanya menanam. Barangkali, dosa saya dulu yang sering menebang pohon,” ucapnya.
Di tengah perbincangan asik itu, Sugiman datang dengan motor skuter matic, membawa bibit mangrove.
Sugiman adalah anggota Kelompok Jaka Kencana sekaligus sobat karib Latief sejak awal perjuangan.
“Bibitnya sudah siap, mau dipindah sekarang?” tanya Sugiman.
“Tunggu sore, nanti sekalian diperiksa yang ada di pembibitan,” jelas Latief.
Sugiman punya andil besar pada upaya yang dirintis Latief. Dia orang yang sukarela menghibahkan lahannya untuk ditanami mangrove.
Padahal, jika Sugiman mau, lahan peninggalan orang tua itu sangat memungkinkan dijadikan tambak.
Baca juga : Mansur Yasong, Penjaga Habitat Maleo di Tanjung Matop
Inovasi
Tahun 2004, upaya Latief dan kawan-kawan mendapat jalan terang. Dinas Kehutanan Jawa Barat memfasilitasi terbentuknya Kelompok Jaka Kencana.
Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan jadi program pertama sekaligus ajang pembuktian.
Pemahaman dan pengetahuan mangrove mereka pun bertambah. Komunitas Jaga Kencana, perlahan pasti membuktikan eksistensinya, meski butuh 10 tahun untuk bisa unjuk gigi.
Pabean Udik seperti desa-desa di pesisir Indramayu lainnya yang dulu hampir tak pernah jadi perbincangan, kini berbeda.
Kawasan ini kini begitu representatif sebagai agrowisata.
“Modalnya nekat saja. Bahkan, hingga kini, saya masih belajar tentang mangrove dan terus menanamnya,”. ungkapnya.
“Saya beruntung, dikelilingi orang-orang yang satu pemikiran,” imbuh Latief.
Latief adalah otak di balik kreativitas terencana Kelompok Jaka Kencana.
Di Rumah Berdikari, dia telah menciptakan 50 produk olahan mangrove.
Semuanya dibuat otodidak. Rasanya, sulit melepaskan kreativitas anggota Jaka Kencana dari sosoknya.
Jelang sore, anggota lainnya Yusri Dwi [29] dan Sarinah (42) datang bersamaan. Rapat kali ini membahas inovasi.
Terkini, Yusri tengah mengolah cokelat mangrove. Resep anyar kombinasi selai mangrove dengan cokelat.
“Produknya sudah jadi tapi perlu dikembangkan, terutama selai mangrove. Masih terlalu dominan cokelat,” paparnya.
Yusri mengatakan, produknya terinpirasi perpaduan makanan lokal dengan seleara kekinian.
Sarinah, beda lagi. Ibu rumah tangga ini telah menguasai delapan resep olahan mangrove.
Bahkan, Sarinah pernah kewalahan menerima pesanan dari luar daerah.
Baca juga : Kami tak Boleh Pasrah, Apalagi Menyerah
Makin dikenal
Kini, Kelompok Jaka Kencana makin giat. Dalam sebulan, produk yang mereka buat dipesan dengan kisaran Rp3 hingga 15 juta Rupiah.
Sebagian besar konsumen berasal dari daerah sekitar. Tetapi, ada juga dari Hong Kong, Taiwan, Jepang, dan Perancis.
“Saat memulai, modal kami hanya Rp100.000. Ini semua berangkat dari kebiasaan orangtua dulu yang mengkonsumsi buah mangrove, salah satunya jenis pidada. Kami hanya sedikit mengengembangkan,” tutur Latief.
Untuk meningkatkan kemampuan anggota Jaka Kencana, PT Pertamina RU VI memberi kesempatan belajar tentang teknik pemasaran beberapa bulan.
Ada juga beberapa lembaga di luar pemerintah yang memberikan pengarahan konservasi.
Latief mengatakan, sejumlah kelompok masyarakat yang ingin bermitra diterima dengan tangan terbuka.
Bukan hanya itu, labolatorium mini yang memuat aspek edukasi, ekonomi, sosial-budya dan edukasi pun dibangun.
Tujuannya, ingin menyampaikan pesan, tidak memanfaatkan alam untuk kebaikan adalah sebuah kebodohan.
“Menanam mangrove bisa menyelamatkan lingkungan, tetapi menanamkan kepedulian bisa menyelamatkan semuanya,” ucapnya.
Saat ini, 34 jenis mangrove telah dikembangkan Jaka Kencana. Latief pun kini dijuluki cocot maricot alias si tukang cerita mangrove.
Baca juga : Nyobeng, Ritual Restu Langit Sebelum Tanam Padi
Hari makin sore saat anak ke dua Latief, Liana Dewi [22], datang ke Rumah Berdikari.
Liana bangga dengan prestasi ayahnya. Dia mantap mendukung usaha rintisan ayahnya itu.
“Saya ingin seperti Bapak, membantu banyak orang,” katanya.
Liana sadar, sebatang mangrove bisa membantu orangtuanya beserta nelayan yang menggantungkan hidup pada laut.
Akarnya, menjelma sebagai rumah ikan dan buahnya bisa diolah. Berkah mangrove untuk kehidupan masyarakat pesisir.
[Penulis adalah Kontributor Mongabay Indonesia. Tinggal di Bandung]
Artikel “Mangrove yang Tidak Pernah Mengkhianati” merupakan konten kolaborasi dengan Mongabay Indonesia. Konten serupa bisa dilihat di sini
Discussion about this post