
“Tanah dan kekayaan alam bukanlah komuditi dan tidak sepenuhnya bisa diperlakukan sebagai komuditi. Memperlakukan tanah (dan alam) sebagai barang dagangan dengan memisahkannya dari ikatan hubungan-hubungan sosial yang melekat padanya, niscaya akan menghasilkan goncangan-goncangan yang akan menghancurkan sendi-sendi keberlajutan hidup masyarakat itu, dan kemudian akan ada gerakan tandingan untuk melindungi masyarakat dari kerusakan yang lebih parah. Memasukkan tanah (dan juga tenaga kerja) dalam mekanisme pasar adalah sikap merendahkan hakekat masyarakat dan dengan demikian menyerahkan begitu saja pengaturan kehidupan masyarakat pada mekanisme pasar. Dengan sendirinya akan melahirkan gejolak perlawanan”. (The Great Transformation, 1944).
Hubungan Masyarakat Adat dan Ruang Hidupnya
Menyebut “Masyarakat Adat” sebagai entitas sosial, akan disodorkan beragam definisi dan batasan ruang lingkupnya yang luas. Namun setidaknya ada 5 benang merah yang sama sebagai ciri utamanya, yakni memiliki: Pertama, Kesamaan Identitas Budaya: bahasa, spritualitas, nilai-nilai, sikap dan perilaku yang membedakan kelompok sosial yang satu dengan yang lain.
Kedua, kesamaan Sistem Nilai dan Pengetahuan: (kearifan) tradisional bukan semata-mata untuk dilestarikan, tetapi juga untuk diperkaya/dikembangkan sesuai kebutuhan hidup berkelanjutan. Tiga, Kesamaan Wilayah Hidup (wilayah adat, wilayah hak ulayat, ancestral domain) : tanah, hutan, laut dan SDA lainnya bukan semata-mata barang produksi (ekonomi), tetapi juga menyangkut sistem religi dan sosial-budaya.
Keempat, kesamaan Aturan-aturan dan Tata Kepengurusan Hidup Bersama Sosial (Hukum Adat dan Lembaga Adat) : untuk mengatur dan mengurus diri sendiri sebagai suatu kelompok sosial, budaya, ekonomi dan politik.
Dalam batasan semacam ini jelas bahwa masyarakat adat merupakan bagaian dari warga negara yang memiliki ciri-ciri khusus yang bisa diverifikasi dan validasi keberadaannya, tanpa harus mengabaikan keragamannya.
Jebakan yang harus dihindari dalam mendefinisikan dan memahami masyarakat adat setidaknya ada tiga hal; Sikap Romantik. Satu sikap yang mengadaikan yang “serba masa lalu” dari masyarakat adat pasti lebih baik dan pasti cocok dalam segala zaman. Artinya, melihat satu fenomena sosial tertentu sebagai “given”.
Kerap abai kenyataan dinamika dan perubahan yang mengiringi setiap realitas zaman, tak terkecuali masyarakat adat sebagai entitas sosial yang hidup dalam batas ruang dan waktu tertentu. Kedua, sikap Glorifikasi. Satu sikap bahwa apa yang serba masyarakat adat adalah “suci” dan bebas dari salah.
Kekhususan dan keunikan dari masyarakat adat adalah ciri beda dan mungkin kelebihannya dibanding komunitas sosial lain. Namun secara sosiologis maupun antropologis masyarakat adat adalah komunitas manusia yang hidup di dunia “profran dan non-profan” sekaligus, sebagaimana manusia sosial lainnya.
Ketiga, sikap “Monoface”. Satu sikap yang melihat masyarakat adat sebagai entitas “berwajah tunggal”. Realitasnya, masyarakat adat memiliki pelbagai struktur, lapisan dan “kelas” sosial yang beragam. Baik berbasis geneologi, kekerabatan, etnisitas, ekonomi, politik, dan seterusnya.
Ketika menyebut perempuan adat misalnya, akan dihadapkan pada realitas bahwa ada perempuan adat istri ketua adat, perempuan adat tak bertanah, perempuan adat “darah biru”, perempuan adat petani dan penggarap, perempuan adat yang miskin, dan seterusnya.
Dengan pendasaran semacam ini, akan memandu cara melihat masyarakat adat dengan sudut pandang yang lebih kritis tanpa harus kehilangan penghormatan atas ragam kelebihan yang dimiliki masyarakat adat, yang tidak dimiliki komunitas sosial lainnya.
Salah satu kelebihan yang umumnya melekat dan menjadi penciri utama dari masyarakat adat adalah hubungan yang kuat dengan alam dan ruang hidupnya. Umumnya, dibuktikan dengan adanya beragam ritual, budaya, tradisi, adat istiadat hingga relegio-mistik yang tumbuh dari peradaban panjang hubungan manusia dengan alamnya.
Hal ini mudah dipahami sebab hubungan masyarakat adat dengan tanah, hutan, gunung, laut, sungai, rawa, lembah dan ruang sumberdaya alamnya bersifat kompleks dan berlapis. Dari bentuk hubungan bersifat sosial, budaya, ekonomi, ekologi, hingga religi/spiritual.
Sehingga dalam praktik sosial-ekologis maupun ekonomi-politiknya tidak dapat disederhanakan hanya pada satu dimensi saja. Sebab dalam banyak kasus, terbukti bahwa pemisahan kompleksitas dan lapisan-lapisan hubungan tersebut secara terus menerus akan dapat menggoncangkan sendi-sendi sosial, ekonomi, politik dan keberlanjutan ekologis. Yang kadangkala meletup menjadi konflik (kultural dan struktural).
Dengan memahami bahwa hubungan masyarakat adat dengan alam dan ruang hidupnya demikian kuat dan kompleks maka mesti ditegaskan juga bahwa bagi masyarakat adat makna tanah, sumberdaya alam dan agraria lainnya bukan sepenuhnya barang dagangan (komoditas).
Sehingga kebijakan apapun dalam rangka mengelolanya tidak boleh diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar (yang berwatak komuditifikasi atas SDA). Mandat dan prinsip-prinsip tentang tanah dan agraria dalam UUPA No. 5/1960 dapat menjadi rujukan dasar pandangan ini.
Dengan melihat sejarah panjang keberadaan masyarakat adat, yang hadir bahkan jauh sebelum Indonesia lahir, maka jika muncul masalah-masalah konflik agraria yang dialami oleh masyarakat adat mesti dilihat dan telusuri secara historis-kritis.
Sebab, masalah-masalah agraria yang hadir sekarang ini (termasuk pengabaian hak masyarakat adat, sebagian atau keseluruhan) adalah endapan dan akumulasi dari persoalan panjang dasar kebangsaan, akibat belum tuntasnya Reforma Agraria (genuine); perombakan ragam ketimpangan struktur agraria sejak jaman kolonial hingga sekarang.
Karenanya, usaha-usaha untuk menyelesaiakan masalah-masalah agraria termasuk konflik agraria, kekerasan, kriminalisasi, pelanggaran HAM di dalam masyarakat adat yang masih timbul tenggelam sekarang ini, tidak mungkin dituntaskan tanpa merombak akar masalahnya, yakni sejarah pengabaian negara atas masyarakat adat berikut ragam ketimpangan-ketimpangan struktur agraria (kepemilikan, penguasaan, distribusi dan pemanfaatan) sumber-sumber agraria secara konsekuen dan dan menyeluruh.
Menariknya, secara historis penghormatan dan pengakuan atas masyarakat adat sebenarnya telah ditegaskan oleh seorang akademisi agraria Belanda yang terpandang di zamannya, Cornelis van Vollenhoven, dalam bukunya, ditegaskan bahwa;
“Orang-orang pribumi memiliki hukum tersendiri terkait tanahnya, yakni hak ulayat yang tidak terdapat di Burgeliyjk Wetbook (Undang-Undang Perdata masa kolonial). Salah satu sifat dari hak ulayat ialah, “Bahwa hanya masyarakat hukum itu sendiri beserta anggota-anggotanya yang berhak dengan bebas mempergunakan tanah-tanah yang tidak dibudidayakan yang berada dalam wilayah kekuasaannya (beschikkingskring), misalnya membuka tanah, mendirikan perumahan, mengumpulkan / memungut hasil-hasil, berburu, menggembala ternak, dan sebagainya.” (“Orang Indonesia dan Tanahnya”, C. van Vollenhoven, hlm 9; Sajogyo Institute, dll, 2016).
Dengan landasan penegasan historis di atas, jelas bahwa di era kolonial Belanda saja sudah ada penghormatan atas MHA dan ruang hidupnya, jika sekarang mau mangkir atas masyarakat adat dan ruang hidupnya, apakah pemerintah dan negara sekarang akan lebih mundur, atau lebih buruk dari jaman Kolonial?
Catatan: versi lebih ringkasnya pernah dipublikasikan di News Letter, Edisi 11, The Monitor, JPIK, 2018.
[Penulis adalah Peneliti dan Pegiat di Sajogyo Institute. Anggota Badan Pengurus Yayasan Sajogyo Inti Utama (2018-sekarang). Tim Pengajar di Fak. Ekologi Manusia dan Fak. Kehutanan IPB. Tim Peneliti di KPK- GNPSDA (2015-Sekarang)]
Discussion about this post