Seluang.id
  • KotaHujan
  • Editor’s Pick
  • Populer
  • About Seluang
  • Login
No Result
View All Result
  • Landscape
  • Our Story
  • Art
  • Amatan & Opini
SeluangID
  • KotaHujan
  • Editor’s Pick
  • Populer
  • About Seluang
No Result
View All Result
SeluangID
No Result
View All Result

Membayangkan Ekosistem Seni Saat dan Setelah Pandemi

SeluangID by SeluangID
23 Oktober 2020
in Our Story
Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsApp
Sumber foto : Witjak Widhi Cahaya / Komunitas Salihara

Penulis : Dian Putri R.

Suara batuk bersahutan di Kamp Funston, Kansas, Amerika Serikat. Ratusan orang terkapar menahan sesak, di tengah teknologi medis yang minim, dan luka Perang Dunia I yang masih menganga, pandemi Flu Spanyol menewaskan sepertiga penduduk dunia dalam 2 tahun. 

Memori itu begitu lekat di pikiran Edvard Munch, pelukis muda asal Italia. Ia satu di antara jutaan penyintas yang berjuang melawan Flu Spanyol.

Bermodal kanvas, cat air, dan kuas sederhana, ia melukiskan rasa takut, depresi, dan traumanya menghadapi pandemi hingga kini dunia seni rupa mengenal karyanya yang termahsyur, Self-Potrait after the Spanish Flu, 1919.

Flu Spanyol pun memantik sastrawan Anthony Burgess untuk menulis fiksi. Ia menghidupkan ibu dan kakaknya dalam novel Little Wilson and Big God, 1986.

Bagi Burgess, menulis adalah cara ampuh untuk melupakan rasa sakit kehilangan ibu dan kakaknya yang menjadi korban pandemi, puluhan tahun silam. 

Sebelum dan setelah Flu Spanyol, sejarah menunjukan kehadiran seni dalam tiap pergulatan manusia menghadapi realita. Riset Roy Rappaort (2009) menunjukan, terapi seni mampu meningkatkan kesejahteraan emosional, kognitif, fisik, dan spiritual.

Kelentingan seni mampu menjaga kesehatan mental, bertahan di tengah kecemasan dan kehilangan. 

Melalui sambungan telepon, Hafez Gumay, Koordinator Advokasi Kebijakan Koalisi Seni mengatakan, seperti Flu Spanyol, pandemi Covid-19 tetap tak menghentikan manusia untuk terus berkesenian meski harus beradaptasi dengan teknologi dan mencari bentuk estetika yang berbeda. 

“Cara orang mengonsumsi kesenian berubah, cara penonton menikmati karya seni juga dengan cara seniman itu sendiri bagaimana pesan bisa sampai walau tidak hadir. Menurutku seni akan baik-baik saja pada akhirnya, hanyaberapa banyak seniman yang mampu beradaptasi atau tidak. Perubahan yang cepat akan menemui korban dan pemenangnya sendiri,” paparnya. 

Pengumuman kasus pertama Covid-19 di Indonesia pada 2 Maret telah mengubah ekosistem berbagai sektor termasuk kesenian.

Menurut catatan Koalisi Seni, pandemi ini memunculkan persoalan ekosistem seni secara gamblang, mulai dari aspek ekonomi,  ketimpangan ruang akses etalase, ketiadaan data pelaku seni, distribusi, dan anggapan laten bahwa seni belum berdampak pada sosial, ekonomi, dan lingkungan. Sehingga pemulihan pascapandemi untuk seni menjadi yang terakhir diprioritaskan. 

“Kita ambil contoh Korea Selatan, bagaimana mereka membangun industri dan sekolah untuk seniman  dengan jor-joran sehingga hari ini mereka bisa merasakan hasilnya. Industri keseniannya bisa dikapitalisasi dan seni membantu pertumbuhan ekonomi negara mereka. Pemerintahnya sadar bahwa seni potensi yang bisa digali, nah itulah yang membedakan Indonesia dengan Korea Selatan,” sambung Hafez. 

Asosiasi Profesi Seni Budaya, Perlukah?

Pada Juli 2020, Direktorat Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan (PTLK) Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menginisasi program Konsolidasi Umum Masyarakat dan Himpunan Budaya (KuMaHa), untuk mendorong terbentuknya asosiasi profesi budaya.

Asosiasi profesi seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) sudah mapan terbentuk dan menjadi rumah bagi pelaku profesi untuk memperjuangkan pekerjaan mereka di hadapan pemerintah.

Sementara di sektor seni budaya, menurut Hafez Gumay, Koordinator Advokasi Kebijakan Koalisi Seni, membentuk asosiasi seperti ini belum banyak disadari pelaku seni budaya di Indonesia. Hal ini membuat keluhan menyoal program bantuan terlihat wajar.

“Kebutuhan akan asosiasi ini teramplifikasi saat terjadi krisis seperti ini. Di mana dari awal saja pemerintah ingin melakukan pendataan, berapa sih jumlah seniman yang harus dibantu? itu tidak ada satu pun organisasi yang memiliki data itu, sehingga pemerintah harus membuka semacam layanan pendaftaran dan memberikan bukti kalau mereka seniman,” paparnya melalui sambungan telepon, Kamis, 1 Oktober.

Kalau pun asosiasi seni ada, sambung Hafez, sangat khusus seperti Persatuan Artis, Penyanyi, Pencipta Lagu, dan Pemusik Republik Indonesia (PAPPRI) dan Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI).

Adanya asosiasi menjadi wadah menyuarakan keperluan apa yang dibutuhkan seniman untuk menunjang masing-masing keunikan profesinya, tak hanya berfungsi saat kondisi krisis seperti ini.

Misal, seniman tari dan teater perlu panggung, sementara perupa butuh ruang pamer. “Satu-satunya cara pemerintah membuat kebijakan generik (Pendataan seniman, red), semua seniman dianggap sama, dikasih uang sekian. Ini salah satunya adalah penyebab seniman itu sendiri yang tidak pernah mengkonsolidasi diri dan mereka menyatakan apa kebutuhan yang unik itu,” sambungnya.

Adanya kesadaran seniman berkonsolidasi seperti Maisons de la Culture, Maisons des Jeunes et de la Culture di Prancis misalnya, sejak 1960-an menjadi asosiasi pelaku seni budaya yang tak hanya fokus pada pengembangan kapasitas seniman, juga menjadi wadah untuk berdialog dengan pemerintah tentang kepentingan profesi mereka.

Tak hanya itu, asosiasi ini juga menghimpun data seniman, proyek, dan sponsor untuk memudahkan seniman berkarya.

Asosiasi itu menjadi hasil dari perjuangan panjang para seniman Prancis yang menyadari pentingnya manfaat berkonsolidasi.

Pandemi ini menurut Hafez, dapat menjadi momentum bagi pemerintah untuk memperbaiki sistem pendataan dan menyadari peran seni di tengah masyarakat.

Pun membangkitkan kesadaran seniman Indonesia untuk mulai mengonsolidasi dan berpartisipasi lewat asosiasi agar terciptanya ekosistem seni lebih baik.

Solideritas Seniman

Di tengah simpang siur kebijakan pemerintah dan dinamika seni semasa pandemi, para seniman yang tergabung dalam kolektif dan asosiasi seni terus bergerak menginisiasi bala bantuan bagi seniman terdampak.

Pada 24 Juli, Yayasan Kelola menyalurkan sembako untuk ratusan pelaku seni pertunjukan di Jakarta. Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI) 56 urun dana membantu 250 pekerja seni dan film terdampak, tak sekadar memberi uang, lewat programnya, penerima bantuan dirangkul untuk membangun semangat berwirausaha selama pandemi. 

Edian Munaedi, pekerja seni asal Jakarta misalnya, mengaku bantuan PARFI 56 mempercepatnya mendirikan warung kopi di halaman rumahnya. 

“Prosesnya hampir 2 bulan semenjak saya mengisi form dan membuat proposal rencana usaha. ini sangat membantu terutama untuk renovasi ruang dan belanja barang peralatan,” ujarnya melalui pesan singkat, 10 Oktober. 

Sebelum pandemi, Edian dan kelompok teaternya tengah aktif berpentas di Cirebon, Jawa Barat. Setelah pandemi, proyek pentas berjalan secara virtual namun terhalang kendala ekonomi masing-masing anggotanya.

“Tentu ini sangat mengganggu, akhirnya kami lebih fokus mengatasi ekonomi keluarga masing-masing,” sambung Edian. 

Bantuan itu menurut Fermana Manaloe Sekretariat PARFI 56, diharapkan dapat membantu pekerja film dan seni untuk membangun kepercayaan diri setelah kehilangan pekerjaan.

“Masing-masing seniman dengan proposal terpilih mendapatkan bantuan senilai 5 juta. Uang itu untuk mendirikan usaha, nah usaha itu kan tidak bekerja untuk sendiri, di situ lah kami berharap satu seniman dapat berkolaborasi membangun usaha bersama, saling bantu antarseniman, dan membangun optimisme mereka juga,” paparnya saat ditemui di Bulungan, Jakarta Selatan, 3 Oktober. 

Tak sekadar membantu antarseniman, kolektif seni rupa Gudskul misalnya, sejak 7 April menggalang dana untuk merespon kelangkaan face shields dan Alat Pelindung Diri (APD) di kalangan pekerja medis.

Karya seni rupa yang masih tersimpan di gudang, mereka lelang via live instagram @Gudskul untuk mengumpulkan dana. Usaha mereka pun berbuah manis, uang senilai Rp. 69.560.000,- berhasil terkumpul untuk biaya produksi pembuatan pelindung diri dan telah disalurkan ke belasan rumah sakit di Jakarta dan sekitarnya.

Bagi para seniman yang bergerak membantu, solidaritas menjadi kunci untuk pemulihan krisis di kalangan seni maupun publik. Inisiatif ini menunjukan seni tak melulu tentang estetika, seni hadir berdampak dan berdaya di lingkup sosial. 

Jika pandemi belum akan berakhir dalam waktu dekat dan kebijakan pemerintah masih terus gagap, Koalisi Seni memprediksi 4 skenario sederhana yang mungkin dilakukan para seniman, yakni, menjadi seniman konten Prekariat, gerakan seni virtual, seni sebagai keseharian, dan hiburan warga.

Empat skenario ini membayangkan peran negara hilang, digantikan inisiatif swasta, dan individu. Setelah melakukan wawancara dan pengamatan, gerakan seni virtual menjadi skenario yang paling mendominasi cara seniman berkarya dan menyiasati kebutuhan ekonomi di tengah pandemi.

Seperti yang dilakukan Potluck Teater (Yogyakarta) dan KaryaKarsa (Jakarta).

Tak Sekadar Alih Wahana 

Kedua mata Udiarti fokus menatap layar ponsel pintarnya, tak lupa ia menyumbat telinga dengan pengeras suara agar lebih hikmat.

Kali ini bukan konten Youtube atau drama Korea yang ia tonton, tapi sebuah pentas teater daring berjudul Jalan Keluar. Sebagai penari dan penonton teater, ia tak mau terus terjebak pada romantisme lebih seru nonton langsung daripada rekaman.

Baginya itu sudah tak perlu diperdebatkan lagi, karya seni niscaya online pada waktu mendesak. 

“Sekarang menurutku lebih memikirkan tantangannya, bagaimana membuat karya entah teater, musik, atau tari jadi lebih menarik ditonton melalui layar ponsel atau komputer. Itu lebih masuk akal,” kata Udiarti, melalui pesan singkat, 1 Oktober.

Perempuan asal Solo, Jawa Tengah ini menyarankan pada teaterawan yang ingin membuat pentas daring untuk memikirkan aspek sinematografi yang epik, selain kematangan gagasan.

Hal ini untuk mempertimbangkan kenyamanan penonton yang hanya punya layar terbatas untuk menikmati karya. 

“Sama kayak kita lihat teater di panggung. Ada karya yang gagasannya menarik, tapi eksekusinya tidak nyampe, gak kuat, gagasan itu hanya berdengung sebatas tulisan saja,” sambungnya. 

Jika teaterawan tidak memiliki kemampuan sinematografi, maka dapat menyederhanakannya dengan menggunakan teknik hand held camera, aktor dibiarkan bermonolog tanpa proses cut to cut atau editing.

Kesan natural lebih terasa, saat aktor menjadikan teras rumah sebagai panggungnya, aksen Jawa berpadu kicauan burung, terompet tukang roti, dan geberan motor yang lewat. Seperti dalam lakon Aku Ditakoni Bojoku karya Kodok Ibnu Sukodok. 

Dengan modal uang dua puluh ribu rupiah, kuota, dan ponsel pintar, Udiarti dapat menonton teater daring di www.potluckteater.com, setelah membayar, ia akan diberi kode yang berlaku sejak awal membeli tiket hingga 1 minggu ke depan. Menonton teater daring menjadi oase bagi Udiarti dan penikmat seni lainnya di tengah pandemi. 

Potluck Teater adalah jawaban atas minimnya ruang pentas bagi seniman pertunjukan. Agnes Christina dan kawan-kawannya di Yogyakarta menginisiasi Potluck Teater untuk memberi panggung digital bagi teaterawan terdampak.

“Kalau mau tetap berkarya, seniman teater mau tidak mau harus adaptasi dan alih wahana. Potluck Teater dibentuk untuk mempermudah seniman pertunjukan yang mau menampilkan karya dalam bentuk video. Kami menjual tiket seharga 20 ribu rupiah per video, supaya senimannya bisa mendapat tambahan penghasilan,” terang Agnes melalui surel, 1 Oktober.

Agnes sadar betul dampak pandemi bagi keuangan seniman, karenanya ia menerapkan pembagian hasil dari penjualan tiket. Potluck Teater mengambil 25-28% dari harga tiket, 72-75% untuk kelompok teater yang mengirim karya.

Untuk memudahkan seniman, karya diterima tanpa proses kurasi, dalam waktu 3 bulan, Agnes telah mengunggah 26 video dari 25 kelompok teater atau individu.

Beberapa di antaranya, Laron, Jangan Pergi ke Sana #3, Aku dan Pantomime, Paling Pulang, My Friend Has Come, Octagon Syndrome, dan Si Ekor Merah. 

“Potluck Teater masih sebatas menayangkan video saja. Kembali lagi ke budget penciptaan karya dan budget penonton, tidak semua penonton punya VR headset, dan tidak semua pencipta karya mempunyai budget untuk menyewa teknologi super canggih,” sambungnya. 

Meski awalnya dibuat sebagai respon atas pandemi, Agnes membayangkan Potluck Teater setelah pandemi pun dapat menjadi medium untuk menonton pertunjukan teater dari kota lain, wadah eksperimen untuk pola bercerita yang baru.

Jika Potluck Teater khusus untuk karya seni pertunjukan, maka platform seni lainnya, KaryaKarsa memberi ruang bagi kreator seni kontemporer seperti komikus, desainer grafis, videografer, ilustrator, hingga penulis karya sastra, profesional atau amatir agar memiliki pasar digital yang lebih luas.

Cukup mengunduh aplikasi KaryaKarsa di market perangkat ponsel, kreator dapat mengunggah karya, dan penggemar yang tertarik akan membelinya. 

KaryaKarsa lahir dari kegelisahan Ario Tamat yang memproklamirkan diri sebagai musisi gagal. Baginya, menjadi musisi harus terkenal dan bisa hidup dari karya, bukan malah keluar uang sepertinya.

Ia pernah bekerja di label musik dengan logika kapitalistik, di sana ia tak menemukan ruang bagi seniman atau kreator kecil untuk meniti karir.

Keresahan itu Ario lihat sebagai peluang untuk mendirikan platform yang terbuka bagi seniman tanpa embel-embel popular sekalipun untuk memonetisasi karyanya. 

“Mempermudah penikmat karya untuk memberikan dukungan ke seniman apa pun secara langsung, tanpa kurasi dari sebuah lembaga,” papar Ario melalui surel, 1 Oktober.

Meski dibentuk setahun sebelum pandemi merebak, KaryaKarsa kini menjadi platform yang ramai dimanfaatkan seniman atau kreator terdampak untuk memperoleh penghasilan.

Ario mencatat kenaikan jumlah kreator yang signifikan sejak Maret atau awal pandemi dimulai. 

“KaryaKarsa sepertinya akan menarik untuk kreator yang sudah mulai memikirkan sisi bisnis dari kegiatan berkaryanya dan mendapatkan uang dari yang memang suka karya tersebut. Saat ini kreator kami mencapai 8 juta,” sambung Ario. 

Karya yang ditawarkan pun beragam, mulai dari puisi, cerpen, novel, kord gitar, wallpaper, tutorial foto dan video kreatif, dan komik popular.

Harganya pun bervariasi, mulai dari Rp. 10.000, 50.000, hingga 200.000. di masa pandemi bahkan banyak kreator yang membanting harga agar meraih banyak pembeli. 

“Yang paling ramai peminat tentu kategori murah, bahkan ada yang jual di harga Rp. 1.500 segala,” kata Ario. 

Kreasi platform Agnes dan Ario menjadi inisiatif kecil yang berdampak pada optimisme baik seniman sebagai kreator maupun masyarakat sebagai penonton.

Teknologi dimanfaatkan tak sekadar sebagai alih wahana, melainkan mencari etalase seni masa depan sebagai bentuk estetika baru dalam karya, melepaskan ketergantungan seniman pada garapan karya offline, dan leletnya bantuan pemerintah.

“Kami coba teliti apalagi yang dapat kami lakukan untuk para kreator, melalui kontak terus dengan para kreator ini,” pungkas Ario.

*Penulis adalah pekerja seni dan jurnalis. Tinggal di Jakarta, Indonesia

Baca juga tulisan Dian Putri. R terkait adaptasi seni tradisi

Tulisan pertama : Seni Tradisi dan Adaptasi Semasa Pandemi

Tulisan kedua : Teknologi dan Wajah Baru Seni Tradisi

SeluangID

SeluangID

Related Posts

Catatan dari Lokasi Banjir di Pamanukan

by SeluangID
11 Februari 2021
0

Banjir di Pamanukan. Foto: Bayu Gawtama / Sekolah Relawan Penulis : Bayu Gawtama Ini memang harus dituliskan agar masyarakat...

Chanee Kalaweit dan Kisah Pelestarian Satwa Liar

by SeluangID
22 Januari 2021
0

Chanee Kalaweit mendedikasikan hidupnya untuk kelestarian Owa. Sumber Foto : greeners.co Penulis : Linda Christanty Andaikata saya kembali ke...

Kado 2021 Jokowi untuk Masyarakat Adat

by SeluangID
9 Januari 2021
0

Acara penyerahan SK Pengelolaan Hutan Adat, Perhutanan Sosial dan TORA di Istana Negara, Kamis, 7 Januari 2021. Foto: BPMI...

Next Post

Seni dan Virtual, Antara Eksperimen dan Eksplorasi

Pasar Sempulur dan Kisah-kisah Kecil Lainnya

Getar Piano itu Melebur

Discussion about this post

Story Populer

  • Pembacaan Proklamasi kemerdekaan RI oleh Sukarno di Pegangsaan. Sumber foto: Wikipedia

    Proklamasi, Kenapa Pindah dari Ikada ke Pegangsaan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Coretan-coretan Sukarno pada Teks Proklamasi itu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Seni dan Virtual, Antara Eksperimen dan Eksplorasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Banjir di Jantung Kalimantan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Telepon Nasution dan Sarwo Edhie Setelah Pranoto Dibebaskan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • “Kami tak Ingin Lingkungan Ini Rusak,” kata Yanto

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menanam Kebaikan, Tumbuh Kebaikan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
# # #
SeluangID

Kami ingin menyajikan berita melalui cerita. Mimpi sederhana kami: mengisahkan kebenaran - walau itu kecil - ke banyak orang. Karena Dunia Butuh Cerita.

  • Amatan & Opini
  • Art
  • Catatan Redaksi
  • Kota Hujan
  • Landscape
  • Obituari
  • Our Story
  • Review

Follow Us

We’d like to hear from you!

Hubungi Kami di : [email protected]

Ikramina Residence Blok E No 1 RT 004/007 Desa Bojong, Kecamatan Kemang Kabupaten Bogor Jawa Barat, 16310

  • About Seluang
  • Beranda
  • Pedoman Media Siber

© 2021 Design by Seluang Institute

  • Landscape
  • Our Story
  • Art
  • Amatan & Opini
No Result
View All Result

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In