
Mengelola sumberdaya hayati dan jasa ekosistem memang tak mudah. Butuh keseriusan dan sentuhan lokal.
Tanah Papua yang subur dan keindahan alam yang tidak ada di tempat lain, menjadi upaya peningkatan ekonomi masyarakat lokal, terutama orang asli Papua.
Akan tetapi, ini bisa tidak berjalan mulus jika tidak ada dorongan peningkatan kapasitas sumberdaya manusia dalam pembangunan berkelanjutan.
Baca juga : Cerita Kehidupan Warga di Lahan Gambut
Hasil riset Pangan dan Tata Guna Lahan The Food and Land Use (FOLU) yang dilakukan oleh tim Universitas Papua, Center for International Forestry Research (CIFOR), pemerintah daerah Papua Barat dan didukung oleh World Resources Institute (WRI) serta Yayasan EcoNusa merekomendasikan sejumlah potensi dan tantangan untuk menciptakan peluang lapangan kerja bagi orang asli papua dalam pengelolaan ekowisata, budidaya perikanan, dan pangan yang berkelanjutan.
Persoalan di atas keluar dalam sesi khusus Indonesia Development Forum 2019 bertajuk Pangan dan Tata Guna Lahan di Papua Barat untuk Penciptaan Lapangan Kerja bagi Orang Asli Papua, di Jakarta (22/7).
Hadir sebagai pembicara Prof. Dr. Charlie Dany Heatubun, S.hut, M.Si, FLS (Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Papua Barat), Dr. Keliopas Krey (Anggota tim FOLU Provinsi Papua Barat), dan Kristian Sauyai (Perkumpulan Penggerak Usaha dan Penghidupan Masyarakat Asli Raja Ampat / PERJAMPAT).
Paparan diskusi mengarahkan bahwa tanah Papua merupakan penyumbang 50 persen keanekaragaman hayati di Indonesia, sehingga menjaga keberadaan hutan Papua berarti menjaga keanekaragaman hayati dan populasi seluruh orang asli papua yang menggantungkan hidupnya dari sumberdaya alam dan jasa ekosistem hutan.
Prof. Dr. Charlie Dany Heatubun, S.hut, M.Si, FLS selaku Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Papua Barat menyatakan, studi Pangan dan Tata Guna Lahan sejalan dengan visi pembangunan berkelanjutan Provinsi Papua Barat yang mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pelestarian keanekaragaman hayati, pemanfaatan jasa lingkungan, ekonomi kreatif, dan peningkatan partisipasi masyarakat.
Sementara itu, Dr. Keliopas Krey, Anggota tim FOLU Papua Barat mengatakan, Pangan dan Tata Guna Lahan merupakan inisiasi bersama, berkelanjutan dan terintegrasi.
“Hasil studi ini bisa dijadikan sebagai dasar kebijakan guna mempercepat pembangunan di Papua Barat, yang tepat sasaran dan memberikan manfaat besar bagi kesejahteraan masyarakat terutama OAP,” katanya.
Pengelolaan hutan dan sumberdaya hayati yang baik, lanjutnya, dapat menjamin kemandirian pangan, perbaikan gizi serta membangun sumberdaya manusia yang berkualitas dan berdaya saing tinggi.
“Hal ini menjadi penting untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan,” jelasnya.
Saat ini, dari rilis EcoNusa yang diterima redaksi seluang.id, ketersediaan pangan di Papua Barat bersumber dari produksi lokal dan pasokan dari luar Papua Barat.
Jumlah pangan yang dipasok dari luar Papua Barat (Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Utara) berjumlah >80% dibandingkan pangan lokal.
Fakta ini menggambarkan bahwa Papua Barat belum mendiri pangan.
Pemerintah Provinsi Papua Barat pada tahun 2019 akan melanjutkan pengembangan lima komoditas strategis yang menjadi unggulan daerah.
Kelima komoditas tersebut antara lain, kakao, kopi, pala, sagu, dan kelapa dalam.
Baca juga : Bom Waktu dan Anak-anak yang Meregang Nyawa
Selain ketahanan pangan, studi ini juga mengkaji aspek budidaya perikanan dan ekowisata sebagai bagian penting terkait tata guna lahan.
Perencanaan budidaya perikanan diperlukan mengingat kontur pegunungan di Papua Barat yang sulit mendapatkan sumber protein hewani.
Sementara itu, pengembangan ekowisata yang melibatkan peran orang asli papua perlu mendapat perhatian lebih.
Dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah tahun 2017-2022, sektor pariwisata merupakan salah satu prioritas pembangunan provinsi Papua Barat.
Pengembangan ekowisata mendapat perhatian lebih setelah Papua Barat mendeklarasikan diri sebagai Provinsi Konservasi.
Di tempat yang sama, Kristian Sauyai sebagai perwakilan PERJAMPAT menyatakan bahwa masyarakat lokal pengelola homestay di Raja Ampat melihat pentingnya melindungi keanekaragaman hayati dan keragaman budaya dalam mengelola ekowisata.
“Lingkungan merupakan identitas dari kami sebagai masyarakat Raja Ampat dan kami bangga menjadi bagian dari Raja Ampat, karena itu kami akan terus menjaga alam kami sehingga generasi kami berikutnya dapat menikmati alam yang sama dengan yang kami nikmati saat ini,” ujarnya.
Hasil studi Pangan dan Tata Guna Lahan ini diharapkan dapat memberikan masukan terhadap perencanaan kebijakan yang mendorong kerjasama berbagai pihak dalam mendukung provinsi Papua Barat dalam mengembangkan model ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan dengan memanfaatkan kekayaan di hutannya.
[Tulisan ini diolah dari rilis EcoNusa dan hasil diskusi panel di indonesia Development Forum 2019]
Dony P. Herwanto, documentary maker, peminum kopi yang setia dan pembaca buku. Menulis untuk menjaga kewarasan dan ingatan.
Discussion about this post