
Pagi ini, saya baru mengetahui Pater Heuken (Adolf Heuken, SJ) wafat kemarin, Kamis, 25 Juli 2019.
Almarhum seorang imam dari Serikat Jesuit dan juga seorang sejarawan Jakarta.
Ia pergi ke Indonesia untuk mengemban tugas keagamaan pada tahun 1963. Selain menulis buku-buku agama, ia juga tertarik mempelajari sejarah tempat ia berada.
Sejak itu, Pater Heuken menyaksikan pertumbuhan, perubahan dan bahkan, penghancuran peninggalan bersejarah di Jakarta.
Ketika saya mewawancarainya beberapa tahun lalu, ia berkata dengan risau:
“Anak-anak di sekolah-sekolah Jakarta tidak mempelajari sejarah Jakarta.”
“Tidak heran kalau nanti dewasa dan melihat gedung-gedung tua bersejarah, mereka mungkin justru ingin membongkarnya dan menggantinya dengan yang baru,”.
“Kita akan menghargai apa yang kita tahu itu bernilai. Menjaga peninggalan sejarah kota adalah untuk mengetahui bagaimana kota terbangun tahap demi tahap sampai menjadi seperti sekarang ini.”
Kertas-kertas berisi catatan tersusun di meja kerjanya. Sebuah kaca pembesar juga berada di situ.
Sesekali ia meminta saya melihat gambar-gambar pada sejumlah kertas kerjanya.
Ia juga pernah memprotes rencana perobohan sebuah rumah di Jalan Cilacap, Menteng, yang di atasnya akan dibangun gedung baru.
“Itu gedung berkategori A, yang artinya tidak boleh diubah.”
Menurut Pater Heuken, ada beberapa tempat bersejarah yang masih tersisa dan harus dijaga di Jakarta, antara lain rumah seorang gubernur jenderal dari masa VOC, galangan kapal, Museum Bahari, Gudang Timur yang masih tersisa, Museum Sejarah Jakarta, dan sisa tembok Batavia terakhir di muka Museum Bahari.
Nasib Gudang Timur membuatnya kecewa, “Dulu ada empat bangunan. Sekarang tinggal satu. Tiga bangunan lain tinggal temboknya, yang terus dipreteli orang kampung untuk menjual batu masa VOC.”
Gudang itu sekarang milik Dinas Perbekalan TNI Angkatan Darat. Suatu hari ia pergi ke sana untuk memotret. Sebelum itu ia dilarang keras memotret,
“Tapi akhirnya mendapat izin dari seorang jenderal. Ketika gudang dibuka ternyata berisi barang kelontong, sepeda motor, kulkas… sama sekali tidak ada senjata yang disimpan di situ,” lanjutnya.
Di masa VOC, rempah-rempah dari Maluku disimpan di gudang tadi. “Barang paling mahal waktu itu, seperti minyak bumi sekarang,”.
“Orang Portugis dan orang Belanda datang ke sini untuk mencari rempah-rempah,”.
“Rempah-rempah membuat Batavia besar dan kaya. Batavia yang sekarang Jakarta adalah kota induk VOC.”
Ia mendukung revitalisasi kota Jakarta, yang disebutnya “menghidupkan kembali” dengan cara kekinian tapi memperhatikan kelestarian.
“Gedung-gedung yang masih layak dapat digunakan sesuai perkembangan zaman, tidak usah dibongkar,”.
“Di seberang Stasiun Beos, ada gedung yang sangat baik kondisinya. Gedung ini kosong,”.
“Mengapa tidak digunakan untuk kampus akademi perbankan misalnya atau sekolah?,”.
“Transportasi juga mudah dari situ, ada Trans Jakarta dan stasiun kereta,”.
“Di Eropa, banyak gedung kuno yang dipakai oleh universitas, seperti di Munster, Jerman,”.
Pada pertemuan terakhir kami, Pater Heuken menunjukkan salah satu bangku kuno dalam sebuah bukunya kepada saya.
“Bangku ini dibuat orang Ambon di Batavia,” katanya.
Selain menjadi anggota pasukan VOC dan berperang, rupanya orang Ambon pintar membuat bangku.
Saya merasa bersyukur pernah mengenal dan bertemu Pater Heuken, menimba ilmu dari sejarawan hebat dan membaca buku-bukunya yang luar biasa.
Selamat jalan, Pater. Selamat kembali ke sisi Tuhan.
[Tulisan ini bersumber dari Facebook Linda Christanty]
[Penulis ada sastrawati, wartawati dan aktivis pembela Hak Azasi Manusia]
Discussion about this post