
Dr. R. Soeharto menjadi saksi banyak peristiwa penting di negeri ini. Ia berkenalan dengan Sukarno di rumah sakit, pada tahun 1942, ketika ia menangani kelahiran anak Ratna Djuami dan Asmara Hadi.
Ratna adalah anak angkat Sukarno dan Inggit. Asmara Hadi adalah penyair, pejuang, anak didik politik Sukarno.
Sejak perkenalan itu, Dr. Soeharto menjadi dokter pribadi dan dokter keluarga Sukarno.
Kecuali Kartika yang dilahirkan oleh Ratnasari Dewi di Tokyo, semua anak-anak Sukarno dari Fatmawati dan Hartini, dibantu kelahirannya oleh Dr. Soeharto.
Bisa dibilang, Sukarno sangat tergantung – karena kepercayaan yang besar – pada Dr. Soeharto dalam hal mengontrol kesehatannya.
Maka, Dr. Soeharto juga diajak oleh Sukarno, ketika terbang ke Dalat bersama, menemui Jenderal Terauchi, menjelang akhir kekuasaan Jepang di Indonesia.
Di zaman merdeka, Dr. Soeharto dipercaya Sukarno menjadi menteri dan memimpin Sarinah, mal pertama di Jakarta, dan sejumalah jabatan penting lainnya.
Kisah-kisah kecilnya selama mendampingi Sukarno ia tulis dalam sebuah buku berjudul “Saksi Sejarah” (P.T. Gunung Agung, 1984).
Salah satu yang ia kisahkan adalah tentang bagaimana ia ikut menyelamatkan bendera pusaka dari rampasan Belanda yang ingin kembali menguasai Indonesia.
Baca juga : Kemayoran, New York, dengan Bayi dalam Keranjang Rotan
Fatmawati sudah menyiapkan bendera itu kira-kira sepuluh bulan sebelum dikibarkan pada hari Proklamasi dibacakan.
Ia memotong kain, menjahit kelim tepiannya, dan menyatukan potongan merah dan putih itu ketika sudah lewat sembilan bulan usia kandungan Guntur, anak pertamanya.
Ada seorang perwira Jepang mengantarkan kain dua gulung, merah dan putih. Fatmawati menduga itu pasti dari kantor Jawa Hokookai, kantor Sukarno.
Ia meyakini saja bahwa suaminyalah yang memerintahkan untuk mengantar kain itu.
Kehamilan pertama amat berat bagi Fatmawati. Ia tak boleh banyak mengaktifkan kaki termasuk untuk menjahit, keterampilan yang sangat ia kuasai.
Ia tetap menjahit bendera pusaka itu dengan mesin jahit tangan, ya, mesin jahit yang digerakkan dengan tangan. Bukan dengan jahitan tangan.
Ketika prosesi proklamasi dipersiapkan pada pagi hari itu, 17 Agustus 1945, dan ia mendengar seseorang berteriak belum ada bendera untuk dikibarkan, Fatmawati mengambil bendera yang ia jahit dari lemari di kamarnya.
Dengan serta-merta ia berikan bendera itu kepada seseorang yang yang ada di depan pintu kamar tidurnya.
Fatmawati dalam buku “Catatan Kecil Bersama Bung Karno” (P.T. Dela Rohita, 1978) tak lagi ingat siapa yang menerima bendera itu.
Baca juga : Pertemuan Kecil Sukarno, Hatta dan Sjahrir
Bendera itulah yang dititipkan pada suatu hari kepada Dr. Soeharto untuk disimpan, di tahun-tahun revolusi mempertahankan kemerdekaan.
Sukarno dan Hatta, memerintah dari Yogyakarta, meninggalkan Jakarta. Tentu saja penting sekali untuk memastikan bahwa bendera merah putih, bendera pusaka itu tidak jatuh ke tangan NICA.
Adalah Muthahar – yang kelak menjadi duta besar – yang mengantarkannya diam-diam ke rumah Dr. Soeharto.
Yang mengejutkan dia, dengan alasan keselamatan, bendera pusaka itu untuk sementara lembaran kain merah dan putih dipisahkan! Jahitannya dirobek.
Oleh Dr. Soeharto, dua bagian bendera itu disimpan terpisah di dua tempat yang berbeda di rumahnya.
Beberapa hari kemudian, Muthahar datang lagi mengambil bendera itu, untuk ia sembunyikan entah di mana dan berapa kali berpindah tempat.
Itulah bendera yang tiap tahun mendampingi bendera yang dikibarkan dalam upacara di Istana Negara.
[Penulis adalah mantan wartawan. Kini bermukim di Jakarta. Giat menulis puisi dan sedang mendalami penulisan naskah film. Tukang gambar yang rajin berkeliling Jakarta]
Artikel “Merah dan Putih pada Bendera Pusaka itu Pernah Dipisahkan” merupakan konten kolaborasi dengan narakata.com, konten serupa bisa dilihat di sini
Discussion about this post