Seluang.id
  • KotaHujan
  • Editor’s Pick
  • Populer
  • About Seluang
  • Login
No Result
View All Result
  • Landscape
  • Our Story
  • Art
  • Amatan & Opini
SeluangID
  • KotaHujan
  • Editor’s Pick
  • Populer
  • About Seluang
No Result
View All Result
SeluangID
No Result
View All Result

Museum Patah Hati

SeluangID by SeluangID
11 Mei 2019
in Our Story
Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsApp
Benny Arnas di Museum of Broken Relationship. Foto: Dokumentasi pribadi
  • Artikel Benny Arnas
  • Setiba di Zagreb dari Slovenia, baru beberapa menit usai menaruh koper di apartemen, Ethile bersemangat sekali (untuk tidak menyebutnya “memaksa”) mengajak saya ke Museum Patah Hati.

    “Kenapa? Kamu pernah patah hati?” tanya saya cengengesan.

    “Berkali-kali,” katanya serius tapi tak ketus.

    “Oke, Et. What to do?” saya mulai penasaran.

    “Be there first then you’ll know,” jawabnya tanpa ekspresi.

    Di Museum of Broken Relationships, Ethile menyerahkan sebuah sapu tangan lusuh berwarna cokelat kepada resepsionis.

    Wajahnya umpama daun layu ketika itu sebelum kemudian menjelma bunga tulip yang menguncup indah beberapa saat setelah meninggalkan museum.

    Baca juga : Daun Kelor di Slovenia

    Museum Patah Hati didirikan seorang Kroasia yang tak bisa melupakan kisah-kisah indah dengan seseorang yang tak mampu lagi ia rengkuh.

    Ia baru merasa tenang ketika meninggalkan rumah dengan meletakkan semua barang-barang penuh kenangan sekaligus menyebabkannya patah hati di sana.

    Ingin mengajak lebih banyak orang untuk bergabung dalam gerakan “melupakan tanpa membuang”, ia menjadikan rumahnya sebagai museum.

    Siapa pun, dari negara mana pun, bisa meninggalkan barang yang menyebabkan kesedihan berlarut-larut di museum itu untuk kemudian melupakannya jauh-jauh, dalam-dalam.

    Ethile meninggalkan sapu tangan yang telah menyebabkan hatinya tak henti berair sejak Natal tahun lalu.

    Tahun 2018 adalah natal pertamanya setelah orangtuanya bercerai setahun sebelumnya.

    Tradisi keluarga mereka adalah, sebagai anak tunggal yang tinggal di Salzburg untuk bersekolah, Ethile akan dikunjungi saban 25 Desember dan dihadiahi kado atau benda apa pun dari orangtuanya yang tinggal di Vienna.

    Namun tahun lalu, tak seorang pun dari keduanya yang menyambanginya. Ia juga baru tahu kalau, seperti janjian tak mau kalah, ayah-ibunya sudah memiliki istri dan suami yang baru plus anak-anak yang baru pula—masing-masing dengan keluarga baru.

    Tanpa Ethile sadari, sapu tangan merahnya telah menjadi teman seperjuangan dalam mengatasi kesenduan yang mencabik-cabik di hari raya yang seharusnya penuh kegembiraan itu.

    Baca juga : Tidak ada “Kejutan” di Silence Apartment

    “Mau bertanya apa lagi?” tanyanya pongah ketika kami ngopi di kafe di pusat Kota Zagreb sekembali dari museum itu.

    Ah, ia gagal menyimpan kerapuhannya. Ia tak terlalu pandai bermain seni peran. Ia mencoba kuat tapi malah terlihat ringkih.

    “Kini saya merasa lebih lega, Benn, setelah meninggalkan sapu tangan jahanam itu di sana.”

    Saya mengangguk, mencoba bersimpati. Saya susah bermain seni peran dalam keadaan seperti ini.

    “ … dan menjadi orang pertama dari negara dunia ketiga yang melubangi peta di foye museum itu.”

    Ya, di foye tempat itu terdapat peta bahan plastik khusus yang dengan lampu neon di bagian dalamnya sehingga tampilan petanya tampak sangat artistik.

    Siapa yang meninggalkan barang-patah-hati di sana, diperkenankan melubangi negara/daerah tempatnya berasal, dan Ethile melubangi gambar yang membuat saya terenyak: Indonesia.

    “Hei kenapa negara saya?” cepat saya protes saat itu.

    “Jujurlah, Benn,” katanya santai. “Tinggalkan sesuatu di museum ini agar semua masa lalu yang mengandung cerita merah muda bisa kautempatkan di tempat yang layak mulai saat ini, tempat ia bertemu dengan barang-barang senasib-sepenanggungannya.”

    Saya memikirkan sesuatu ketika saya merogoh notes-kecil berisi puisi-puisi yang pernah saya tulis di Selandia Baru tiga tahun lalu untuk kemudian menyerahkannya pada resepsionis.

    “Ceritakan padaku tentang notes itu, Benn ….” Ethile mulai penasaran seraya memotong wafel yang baru saja ia olesi dengan nutela.

    Baca juga : Traunkirchen, Lalu Kangen

    Saya menggeleng, kemudian menjawab, “Oke, Et, but not this time.”

    “When?”

    “The stories will find themselves with their own ways, Et.”

    Kopi kami masih panas. Tapi saya menenggaknya sampai habis.

    “Kamu mau menulis di pantai, Benn?” Ethile mengalihkan topik percakapan. Ia tak suka dipermainkan kata-kata.

    Saya menggeleng. Saya tak suka pantai. Itu alasannya, walaupun banyak yang bilang kalau pantai-pantai di Kroasia itu sangat indah.

    “Saya mau mengetik di taman bunga depan Mozart House seperti waktu itu.” Saya pura-pura memasang wajah serius.

    “Kamu gila!” teriak Ethile seraya menyeringai. “Kita sudah di Kroasia, kenapa kembali ke Austria!”

    Baca juga : Salah Kereta, Nyaris Membeku di Slezthal

    Saya tertawa. “Saya mau ngetik di apartemen saja. Besok bawalah saya ke Plivitce.”

    Ethile menjetikkan jemarinya ke arah saya. “Siap, capek ya?”

    Itu adalah alasan mengapa kamu ada, Ethile—batin saya bersuka cita.

    [Tulisan bersumber dari sini]

    [Penulis adalah Founder BennyInstitute. Tinggal di Lubuklinggau, Sumatera Selatan]

    SeluangID

    SeluangID

    Related Posts

    Catatan dari Lokasi Banjir di Pamanukan

    by SeluangID
    11 Februari 2021
    0

    Banjir di Pamanukan. Foto: Bayu Gawtama / Sekolah Relawan Penulis : Bayu Gawtama Ini memang harus dituliskan agar masyarakat...

    Chanee Kalaweit dan Kisah Pelestarian Satwa Liar

    by SeluangID
    22 Januari 2021
    0

    Chanee Kalaweit mendedikasikan hidupnya untuk kelestarian Owa. Sumber Foto : greeners.co Penulis : Linda Christanty Andaikata saya kembali ke...

    Kado 2021 Jokowi untuk Masyarakat Adat

    by SeluangID
    9 Januari 2021
    0

    Acara penyerahan SK Pengelolaan Hutan Adat, Perhutanan Sosial dan TORA di Istana Negara, Kamis, 7 Januari 2021. Foto: BPMI...

    Next Post
    A Curious Voynich, post-hardcore Bogor yang muncul dengan warna berbeda. Foto : agungllyn

    Orbis Alius: Season One, Kesetiaan ACV Pada Manuskrip Berisik

    Foto: Shinta Maharani

    Anna Karenina dan Tolstoy yang Anarkis

    Sumber foto: www.narakata.com

    Kopi Tubruk dan Wartawan Amerika yang Kecewa

    Discussion about this post

    Story Populer

    • Pembacaan Proklamasi kemerdekaan RI oleh Sukarno di Pegangsaan. Sumber foto: Wikipedia

      Proklamasi, Kenapa Pindah dari Ikada ke Pegangsaan?

      0 shares
      Share 0 Tweet 0
    • Coretan-coretan Sukarno pada Teks Proklamasi itu

      0 shares
      Share 0 Tweet 0
    • Telepon Nasution dan Sarwo Edhie Setelah Pranoto Dibebaskan

      0 shares
      Share 0 Tweet 0
    • “Kami tak Ingin Lingkungan Ini Rusak,” kata Yanto

      0 shares
      Share 0 Tweet 0
    • Cara Orang Jawa Menikmati Hidup

      0 shares
      Share 0 Tweet 0
    • Banjir di Jantung Kalimantan

      0 shares
      Share 0 Tweet 0
    • Kami Mengukur Curah Hujan untuk Menanam

      0 shares
      Share 0 Tweet 0
    # # #
    SeluangID

    Kami ingin menyajikan berita melalui cerita. Mimpi sederhana kami: mengisahkan kebenaran - walau itu kecil - ke banyak orang. Karena Dunia Butuh Cerita.

    • Amatan & Opini
    • Art
    • Catatan Redaksi
    • Kota Hujan
    • Landscape
    • Obituari
    • Our Story
    • Review

    Follow Us

    We’d like to hear from you!

    Hubungi Kami di : [email protected]

    Ikramina Residence Blok E No 1 RT 004/007 Desa Bojong, Kecamatan Kemang Kabupaten Bogor Jawa Barat, 16310

    • About Seluang
    • Beranda
    • Pedoman Media Siber

    © 2021 Design by Seluang Institute

    • Landscape
    • Our Story
    • Art
    • Amatan & Opini
    No Result
    View All Result

    Welcome Back!

    Login to your account below

    Forgotten Password?

    Create New Account!

    Fill the forms below to register

    All fields are required. Log In

    Retrieve your password

    Please enter your username or email address to reset your password.

    Log In