Seluang.id
  • KotaHujan
  • Editor’s Pick
  • Populer
  • About Seluang
  • Login
No Result
View All Result
  • Landscape
  • Our Story
  • Art
  • Amatan & Opini
SeluangID
  • KotaHujan
  • Editor’s Pick
  • Populer
  • About Seluang
No Result
View All Result
SeluangID
No Result
View All Result

Nakano Gakko, Maruzaki Yoshio, Yanagawa Motoshige

Kotahujan News & Story by Kotahujan News & Story
22 April 2019
in Kota Hujan
Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsApp
Sumber foto : narakata.com
  • Artikel Hasan Aspahani
  • Semua digerakkan oleh perang. Pada 1938, sebuah badan pendidikan bagi personel untuk tugas informasi – alias intel – dibentuk di Jepang.

    Dua tahun kemudian, lembaga pendidikan itu berganti sebutan yang kemudian sangat terkenal namanya dalam sejarah militer dan perang Jepang, Nakano Gakko. Mereka yang dididik di sana banyak ambil peran.

    Nama Nakano diambil dari nama kawasan kecil, setingkat kecamatan, di Tokyo, di mana lembaga itu bertempat.

    Pergantian nama itu juga menandai pergantian pihak yang mengelola, jika sebelumnya dibina oleh Biro Urusan Militer, Kementerian Angkatan Darat, maka selanjutnya diambil alih oleh Seksi Delapan Staf Umum Angkatan Darat.

    Baca juga : Coretan-coretan Sukarno pada Teks Proklamasi itu

    Salah seorang lulusan dari pendidikan itu yang kelak mewarnai sejarah Indonesia adalah Maruzaki Yoshio.

    Ketika Jepang mempersiapkan serbuan ke Asia Tenggara, para alumni Nakano Gakko diberdayakan sepenuhnya. Mereka diikutkan dalam delegasi resmi, lalu menyebar, menyamar, bekerja sebagai intel.

    Itu terjadi pada 1940. Menyusul sebuah nota dagang, Jepang lalu mengirim delegasi perundingan ke Batavia.

    Perundingan ini punya misi keras yaitu menekan Hindia Belanda untuk menyetujui tambahan besar sekali atas kuota dagang sejumlah komoditas yang penting bagi Jepang untuk menggerakkan mesin perangnya.

    Selain tentu saja itu adalah bagian dari rencana penyerbuan. Perundingan delegasi yang dipimpin oleh Menteri Perdagangan dan Industri Kobayashi Ichiro itu berakhir buntu. Hindia Belanda menolak.

    Pada tahun itulah, untuk pertama kalinya, Maruzaki Yoshio, dengan pangkat Kapten, bersama seorang rekannya sesama lulusan Nakano Gakko, dipimpin oleh Mayor Kuriyo Tsugenori, menginjakkan kaki di Hindia Belanda. Ia ditanam di konsulat Jepang di Surabaya.

    Maruzaki bekerja dengan sangat baik. Dengan imbalan gaji dan tambahan pendapatan besar dari perusahaan dagang Jepang – yang memang berkomitmen mendukung kerja-kerja intelijen – ia bisa hidup mewah.

    Hingga tahun 1940 itu di Surabaya, Bandung, dan Jakarta, sudah banyak berdiri toko-toko dan perusahaan dagang Jepang. Juga Shinju, rumah yang menyediakan geisha.

    Maruzaki ambil kursus bahasa Indonesia dan Belanda. Ia termasuk angkatan pertama Nakano Gakko, sebelum lembaga sekolah intel itu memakai nama tersebut, dan sempat menjadi instruktur di sana, sebelum dikirim ke Surabaya.

    Baca juga : Satu Kemarahan, Seribu Keberanian

    Bahan-bahan laporan awal Maruzaki membalikkan informasi yang ia kumpulkan sebelumnya dari catatan Belanda.

    Orang Indonesia yang ia kenal tak seterbelakang apa yang dikesankan oleh orang-orang Belanda. Ia juga mencatat kebencian orang Indonesia pada Belanda.

    Dari situ Maruzaki menyusun sebuah tesis yang kelak dipakai oleh penguasa kolonial Jepang: bahwa jika Jepang ingin memperoleh dukungan orang Indonesia dalam perang melawan Barat maka orang Indonesia harus lebih dahulu dibangkitkan semangat Asia.

    Bahwa Asia sama sekali tak lebih rendah daripada orang Barat. Maruzaki juga menyimpulkan, jauh lebih mudah membangkitkan semangat juang orang-orang muda ketimbang orang-orang yang lebih tua.

    Lalu perang terhadap Amerika dan kampanye militer di Asia-Pasifik Raya, dipernyatakan oleh Jepang setelah serbuan di Minggu pagi, 7 Desember 1941, terhadap Pearl Harbour, pangkalan militer Amerika Serikat di Hawaii.

    Belanda yang memihak pada blok Barat bereaksi dengan menangkapi orang-orang Jepang di Hindia Belanda termasuk Kapten Maruzaki Yoshio.

    Ia ditahan bersama pejabat-pejabat konsulat Jepang di kamp tahanan Sukabumi.

    Di Tokyo sebagai kelanjutan dari persiapan menduduki Hindia Belanda dibentuk satu tim intelijen ahli Indonesia.

    Kepalanya Letnan Kolonel Murakami. Ia perintahkan anggota stafnya Mayor Kuriya untuk pekerjaan itu.

    Lagi-lagi beberapa alumni Nagano Gakko berperan penting di sini. Beberapa nama masuk tim, salah satunya Letnan Yanagawa Motoshige, seorang yang sangat bersemangat.

    Ketika Hindia Belanda jatuh ke tangan Jepang, Maruzaki melaporkan diri kepada penguasa militer Jenderal Imamura yang membuka markas sementara di Bandung, sebelum pindah ke Jakarta.

    Di situ, ia bertemu dengan atasannya yang lama Mayor Kuriya yang baru saja diangkat menjadi Kepala Intelijen Tentara Keenam Belas.

    Kuriya tentu dengan senang menerima kembali Maruzaki, bahkan menugaskannya menjadi pemimpih kesatuan khusus intel, Takubetsu Han, yang terkenal dengan sebutan Beppan.

    Orang Indonesia menyebut anggota kesatuan khusus ini sebagai Bepang, dengan sebutan kagum, segan, dan takut.

    Letnan Yanagawa datang ke Jakarta membawa pemikiran yang sudah disimpulkan oleh Maruzaki sejak di Surabaya, bahwa pemuda Indonesia punya kemampuan untuk dipergunakan di bidang intel militer.

    Ia datang pada saat yang tepat, yaitu ketika Beppan mewujudkan konsep itu dengan membuka pusat latihan pemuda, yang terkenal dengan nama Seinen Dojo. Di Tangerang tempatnya.

    Baca juga : Operasi Dengan Kata Sandi ‘Beres’ yang Nyaris Saja Tidak Beres

    Inilah yang kemudian berkembang menjadi Sukarelawan Pembela Tanah Air, alias PETA. Letnan Yanagawa dipercaya untuk menjadi komandan Seinen Dojo.

    Pelatihan dimulai Januari 1943. Pesertanya 40 orang, berasal dari seluruh Jawa. Kemal Idris adalah salah seorang dari peserta pertama itu.

    Kemal Idris lahir di Bali, tepatnya Singaraja. Ayah dan ibunya orang Minang.

    Gagal menjadi dokter karena dikeluarkan dari STOVIA, ayahnya berhasil menjadi dokter hewan, lulus Sekolah Dokter Hewan di Bogor, dan sempat menambah ilmu di Utrecht, Belanda.

    Sebagai dokter hewan, Mohammad Idris, berpindah-pindah tugas, termasuk empat tahun di Singaraja, di mana Kemal lahir sebagai anak kedua.

    Setelah enam bulan mengikuti pelatihan di Seinen Dojo, Kemal dan 40 peserta pertama itu dinyatakan lulus pada bulan Juni.

    Letnan Yanagawa turun tangan langsung dalam pelatihan-pelatihan itu. Hasilnya melampaui standar yang diharapkan. Letnan Yanagawa dipuji.

    Maka, pada bulan Juni itu pula diterima angkatan kedua. Kali ini jumlahnya lebih banyak, 60 orang.

    Salah seorang di antaranya adalah Daan Mogot. Seorang pemuda dari Minahasa yang kelak menjadi sahabat Kemal Idris.

    Pada tahun yang sama dengan dimulainya Seinen Dojo, hanya berselang empat bulan kemudian, pada bulan April 1943, penguasa Jepang juga mulai menerima tenaga untuk Heiho.

    Sebenarnya persetujuan Tokyo untuk itu sudah keluar sejak akhir 1942. Heiho adalah pembantu prajurit, orang-orang yang dilatih untuk melakukan pekerjaan kasar membantu pasukan Jepang. Mereka juga dipersenjatai pun mendapat pelatihan militer.

    Apa yang diajarkan di Seinen Dojo? Pertama, sejarah dunia, sejarah Hindia Belanda, situasi aktual dunia, sejarah perang, taktik, komunikasi, yang digolongkan sebagai kuliah umum.

    Kedua, mata pelajaran khusus seperti spionase, muslihat, kontra-spinonase, propaganda, dan lain-lain. Ketiga, latihan praktis seperti gerak badan, senam, gulat, sumo, berenang, anggar, dan lain-lain.

    Keempat, pelajaran teknik seperti menembak, pengintaian, perhubungan, penyamaran, kamuflase, dan lain-lain. Kelima, – nah ini dia, juga ada – berwisata, mengunjungi pabrik, perkebunan, dan lain-lain, dan akhirnya juga diajarkan lagu-lagu dan menyanyi lagu perang.

    Kegiatan yang keenam ini tergolong ekstrakurikuler yang lumayan mengasyikkan.

    Di luar semua materi pelatihan itu, yang pertama-tama diajarkan adalah pelajaran Bahasa Jepang.

    Semua pelajaran kelak disampaikan dalam Bahasa Jepang. “Kalau diprosentasi, pendidikan militer dan latihannya sekitar 70 persen, sementara pengetahuan lainnya sebanyak 30 persen,” ujar Kemal Idris.

    Baca juga : Zijn Julie Helemaal Gek Geworden!!!

    Di Seinen Dojo, para pemuda Indonesia diajarkan tabiat dan etos militer Jepang. Latihan berjalan sangat keras, menuntut disiplin tinggi, dan ketahanan mental serta fisik.

    Seinen Dojo angkatan kedua menyelesaikan latihannya pada bulan Oktober 1943. Dari dua angkatan ini dihasilkan 100 orang terlatih.

    Dari sinilah cikal-bakal sejarah PETA dimulai. 100 orang inilah yang menjadi sebagian instruktur dan selebihnya menjadi korps perwira PETA yang pertama.

    [Penulis adalah mantan wartawan. Kini bermukim di Jakarta. Giat menulis puisi dan sedang mendalami penulisan naskah film. Tukang gambar yang rajin berkeliling Jakarta]

    Artikel “Nakano Gakko, Maruzaki Yoshio, Yanagawa Motoshige” merupakan konten kolaborasi dengan narakata.com, konten serupa bisa dilihat di sini

    Kotahujan News & Story

    Kotahujan News & Story

    Related Posts

    63 Persen Kekerasan Berbasis Gender Terjadi di Tengah Pandemi

    by Kotahujan News & Story
    10 Februari 2021
    0

    Gambar oleh Free-Photos dari Pixabay Penulis : Dony P. Herwanto Konsultan Isu Gender, Tunggal Pawestri mengatakan,...

    Ini Cara Kita Memuliakan Penyintas Bencana

    by Kotahujan News & Story
    23 Januari 2021
    0

    Sejumlah perempuan tengah memilah pakaian untuk penyintas bencana. Sumber Foto : Facebook Bayu Gawtama | Sekolah Relawan Penulis :...

    Saling Bantu untuk Gempa Majene

    by Kotahujan News & Story
    16 Januari 2021
    0

    Suasana di salah satu tenda pengungsiang di Majene. Foto : Bayu Gawtama / Sekolah Relawan Penulis : Dony P....

    Next Post
    Syamsuar yang telah 26 tahun berkiprah dalam konservasi hutan Leuser. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

    Kesungguhan Syamsuar Menjaga Leuser

    Benny Arnas. Dokumentasi Pribadi.

    Salah Kereta, Nyaris Membeku di Slezthal

    Suasana pelatihan singkat dengan studi khusus bertema 'Dinamika struktur penguasaan sumber-sumber agraria'. Diisi oleh Adi D. Bahri. Sumber foto: Sajogyo Institute

    Membedah Ketimpangan Agraria di Indonesia

    Discussion about this post

    Story Populer

    • Pembacaan Proklamasi kemerdekaan RI oleh Sukarno di Pegangsaan. Sumber foto: Wikipedia

      Proklamasi, Kenapa Pindah dari Ikada ke Pegangsaan?

      0 shares
      Share 0 Tweet 0
    • Coretan-coretan Sukarno pada Teks Proklamasi itu

      0 shares
      Share 0 Tweet 0
    • Telepon Nasution dan Sarwo Edhie Setelah Pranoto Dibebaskan

      0 shares
      Share 0 Tweet 0
    • “Kami tak Ingin Lingkungan Ini Rusak,” kata Yanto

      0 shares
      Share 0 Tweet 0
    • Cara Orang Jawa Menikmati Hidup

      0 shares
      Share 0 Tweet 0
    • Banjir di Jantung Kalimantan

      0 shares
      Share 0 Tweet 0
    • Seni dan Virtual, Antara Eksperimen dan Eksplorasi

      0 shares
      Share 0 Tweet 0
    # # #
    SeluangID

    Kami ingin menyajikan berita melalui cerita. Mimpi sederhana kami: mengisahkan kebenaran - walau itu kecil - ke banyak orang. Karena Dunia Butuh Cerita.

    • Amatan & Opini
    • Art
    • Catatan Redaksi
    • Kota Hujan
    • Landscape
    • Obituari
    • Our Story
    • Review

    Follow Us

    We’d like to hear from you!

    Hubungi Kami di : [email protected]

    Ikramina Residence Blok E No 1 RT 004/007 Desa Bojong, Kecamatan Kemang Kabupaten Bogor Jawa Barat, 16310

    • About Seluang
    • Beranda
    • Pedoman Media Siber

    © 2021 Design by Seluang Institute

    • Landscape
    • Our Story
    • Art
    • Amatan & Opini
    No Result
    View All Result

    Welcome Back!

    Login to your account below

    Forgotten Password?

    Create New Account!

    Fill the forms below to register

    All fields are required. Log In

    Retrieve your password

    Please enter your username or email address to reset your password.

    Log In