Seluang.id
  • KotaHujan
  • Editor’s Pick
  • Populer
  • About Seluang
  • Login
No Result
View All Result
  • Landscape
  • Our Story
  • Art
  • Amatan & Opini
SeluangID
  • KotaHujan
  • Editor’s Pick
  • Populer
  • About Seluang
No Result
View All Result
SeluangID
No Result
View All Result

Ngarot, Simbol Petani Menjaga Budaya Agraris

Kotahujan News & Story by Kotahujan News & Story
26 Februari 2019
in Kota Hujan
Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsApp
Seorang pemuda menggunakan penutup kepala berbentuk keranjang menyambut acara perang tomat. Foto: Donny IqbalMongabay Indonesia
  • Artikel Donny Iqbal
  • Jelang musim tanam padi, biasanya di Desa Sidajaya, Kecamatan Cipunegara, Kabupaten Subang, Jawa Barat, digelar perayaan berkah bumi. Namun kini, budaya tersebut tidak terlihat lagi.

    “Acara itu, sudah tidak diminati. Semua berubah sejak pertanian dinilai tidak menguntungkan lagi,” kata Kasman [60] petani setempat.

    Kasman yang sudah 40 tahun bertani, mengaku acara itu memudar sejalan dengan peralihan lahan-lahan pertanian menjadi kawasan industri. Pertanian memang kerap besar pasak daripada tiang. “Apalagi bagi petani berlahan di bawah dua hektar atau petani tanpa lahan,” terangnya.

    Berjarak 60 kilometer dari Kabupaten Subang, tepatnya di Desa Lelea, Kecamatan Lelea, Kabupaten Indramayu, upaya mempertahankan eksistensi seperti budaya berkah bumi masih dipertahankan. Sebagian masyarakat di sini, setia merawat tradisi ngarot yang sudah menjadi warisan leluhur ratusan tahun tersebut. Ritual memasuki musim tanam merupakan simbol perlawanan terhadap industrialisasi yang menggeser budaya agraris.

    Ngarot selalu dilaksanakan para kasinoman [muda-mudi]. Syarat ikut upacara adat ini adalah mereka yang belum menikah yaitu bujang dan gadis. Intinya, mereka akan diajarkan ilmu bercocok tanam.

    Melalui tradisi ini, remaja diajarkan bertani sejak dini. Semisal, aturan panen hanya dilakukan setahun dua kali. “Bagi masyarakat Lelea, ngarot hanya cara menjaga pertanian dipertahankan. Pesan arif dari tradisi ini adalah persawahan tidak beralih fungsi,” tutur Sasmita [64], tokoh masyarakat.

    Secara administratif, Desa Lelea memiliki luas 422 hektar yang sekitar 380 hektar merupakan pesawahan. Sejak 370 tahun berlalu, masyarakat Lelea melestarikan ngarot ketika sejumlah desa tetangga tak lagi rutin menjalankannya.

    Baca juga : Siapkah Masyarakat Hidup di Wilayah Rawan Bencana

    Laju Industri

    Laju industri telah merambah persawahan di lumbung padi Jawa Barat ini. Dikutip dari Kompas edisi 4 Januari 2018, Indramayu miliki lahan sawah 116.000 hektar dengan produk domestik regional bruto sektor pertanian 17,9 persen. Jauh dibandingkan industri dan pengolahan yang mencapai 44,69 persen. Artinya, pertanian bukan lagi kekuatan ekonomi Indramayu.

    Di Batu Jaya, Kabupaten Karawang tak ada pula perayaan serupa. Sekalipun Karawang dikenal sebagai lumbung padi nasional sekaligus produsen padi terbesar ke dua setelah Indramayu. Saat ini lahan sawahnya terancam seiring berkembang industri.

    Akibatnya, kearifan lokal yang mulai hilang adalah Goyang Karawang. Tradisi ini kerap digelar menjelang panen raya yang disambut sukacita petani. Gerak tarian yang dimainkan oleh perempuan, sejatinya diadopsi dari proses produksi padi hingga menjadi beras.

    Sementara irama yang tercipta, dihasilkan dari tumbukan lesung dengan alu sembari diiringi lantunan kawih-kawih Sunda [lagu khas Sunda].

    Sementara itu, di Lembang, Kabupaten Bandung Barat, ketidakjelasan stabilisasi harga membuat petani sayur sering menanggung rugi. Buntut kekecewaan, mereka mengumpulkan 2-3 ton tomat busuk karena tidak dipanen.

    Bukan karena tidak laku dijual, tetapi karena harganya yang jatuh. Tomat-tomat itu dikumpulkan untuk dilemparkan. Seiring berjalan waktu, lemparan ini yang mendasari petani mengadakan Festival Perang Tomat di Kampung Cikareumbi, Desa Cikidan.

    Bagi Nanu Munajar Dahlan [59], penggagas acara perang tomat, tradisi ini bukan hiburan semata. Lebih dari itu, dia menginginkan semua pihak sadar dan paham, banyak masalah yang ditanggung petani.

    Mulai dampak perubahan alam yang mengkhawatirkan, lilitan utang kepada tengkulak, serta lemahnya peranan pemerintah terkait distribusi panen adalah sejumlah persoalan yang membuat petani sulit sejahtera.

    “Selain bersyukur atas panen, apa pun hasilnya, acara ini awalnya adalah kritik bagi pemerintah. Namun, jika dianggap sebagai acara kesenian, itu urusan lain. Setidaknya, kami memiliki harapan esok hari hasil panen dijual dengan harga ideal,” kata Nanu.

    Tradisi yang hampir sama dengan perang tomat di Spanyol ini, telah digelar lebih dari sewindu. Selama itu pula, para petani tetap melawan dengan cara mereka.

    [penulis adalah kontributor Mongabay Indonesia di Bandung, Jawa Barat]

    Artikel “Ngarot, Simbol Petani Menjaga Budaya Agraris” merupakan konten kolaborasi dengan Mongabay Indonesia. Konten serupa bisa dilihat di sini

    Kotahujan News & Story

    Kotahujan News & Story

    Related Posts

    63 Persen Kekerasan Berbasis Gender Terjadi di Tengah Pandemi

    by Kotahujan News & Story
    10 Februari 2021
    0

    Gambar oleh Free-Photos dari Pixabay Penulis : Dony P. Herwanto Konsultan Isu Gender, Tunggal Pawestri mengatakan,...

    Ini Cara Kita Memuliakan Penyintas Bencana

    by Kotahujan News & Story
    23 Januari 2021
    0

    Sejumlah perempuan tengah memilah pakaian untuk penyintas bencana. Sumber Foto : Facebook Bayu Gawtama | Sekolah Relawan Penulis :...

    Saling Bantu untuk Gempa Majene

    by Kotahujan News & Story
    16 Januari 2021
    0

    Suasana di salah satu tenda pengungsiang di Majene. Foto : Bayu Gawtama / Sekolah Relawan Penulis : Dony P....

    Next Post
    Koalisi masyarakat sipil menolak perundingan dan perjanjian RCEP yang digelar di Bali. Foto: istimewa

    Tolak Perjanjian Regional Comprehensive Economic Partnership

    Boy Candra dan sejumlah novelnya. Sumber foto: www.iphincow.com

    Boy Candra, Novel Remaja, dan Minat Baca

    Ilustrasi. Karya Graditio

    Pemberitaan Bunuh Diri Rentan Werther Effect

    Discussion about this post

    Story Populer

    • Pembacaan Proklamasi kemerdekaan RI oleh Sukarno di Pegangsaan. Sumber foto: Wikipedia

      Proklamasi, Kenapa Pindah dari Ikada ke Pegangsaan?

      0 shares
      Share 0 Tweet 0
    • Coretan-coretan Sukarno pada Teks Proklamasi itu

      0 shares
      Share 0 Tweet 0
    • Telepon Nasution dan Sarwo Edhie Setelah Pranoto Dibebaskan

      0 shares
      Share 0 Tweet 0
    • Seni dan Virtual, Antara Eksperimen dan Eksplorasi

      0 shares
      Share 0 Tweet 0
    • “Kami tak Ingin Lingkungan Ini Rusak,” kata Yanto

      0 shares
      Share 0 Tweet 0
    • Cara Orang Jawa Menikmati Hidup

      0 shares
      Share 0 Tweet 0
    • Kami Mengukur Curah Hujan untuk Menanam

      0 shares
      Share 0 Tweet 0
    # # #
    SeluangID

    Kami ingin menyajikan berita melalui cerita. Mimpi sederhana kami: mengisahkan kebenaran - walau itu kecil - ke banyak orang. Karena Dunia Butuh Cerita.

    • Amatan & Opini
    • Art
    • Catatan Redaksi
    • Kota Hujan
    • Landscape
    • Obituari
    • Our Story
    • Review

    Follow Us

    We’d like to hear from you!

    Hubungi Kami di : [email protected]

    Ikramina Residence Blok E No 1 RT 004/007 Desa Bojong, Kecamatan Kemang Kabupaten Bogor Jawa Barat, 16310

    • About Seluang
    • Beranda
    • Pedoman Media Siber

    © 2021 Design by Seluang Institute

    • Landscape
    • Our Story
    • Art
    • Amatan & Opini
    No Result
    View All Result

    Welcome Back!

    Login to your account below

    Forgotten Password?

    Create New Account!

    Fill the forms below to register

    All fields are required. Log In

    Retrieve your password

    Please enter your username or email address to reset your password.

    Log In