
Dari generasi penulis Indonesia terdahulu, ada beberapa nama yang karya-karya mereka saya sukai, yaitu Mohammad Diponegoro, Pramoedya Ananta Toer, Mochtar Lubis, Nasjah Djamin, Sapardi Djoko Damono, Marianne Katoppo, NH. Dini, dan Budi Darma.
Saya tidak pernah bertemu langsung dengan Mohammad Diponegoro. Karya-karyanya pertama kali saya dengar melalui siaran pembacaan cerita pendek di Radio Australia. Kalau tidak salah, dia meninggal dunia waktu saya masih remaja.
Pertemuan saya dengan Mochtar Lubis, Nasjah Djamin, dan Marianne Katoppo juga berlangsung dalam angan-angan. Karya-karya Mochtar Lubis dan Nasjah Djamin saya baca pertama kali di perpustakaan SMP. Novel pertama Marianne Katoppo, “Raumanen”, saya nikmati sebagai cerita bersambung yang dimuat Majalah Femina, majalah yang dilanggani ibu saya.
Dengan Budi Darma, saya pernah bertemu satu kali. Dalam sebuah acara. Tidak ada pembicaraan kami yang saya ingat. Kami sama sama pendiam. Sementara Sapardi Djoko Damono pernah menjadi dosen saya untuk mata kuliah kajian puisi. Puisi-puisinya sering saya nyanyikan sendirian atau bersama teman-teman di kampus. Puisi Sapardi adalah puisi yang membuat Indonesia bersatu dalam cinta maupun pilu. Puisi-puisinya menyatukan ras, agama, kelas dan golongan, meski bukan Pancasila.
Baca juga: Bangka Menggugat, Sebuah Pledoi Panglima Tikal
Pertemuan saya dengan Pramoedya Ananta Toer tidak lebih dari tiga kali. Pertemuan pertama, di masa dia masih menjadi tahanan rumah di masa pemerintahan Orde Baru. Waktu itu Pramoedya menyarankan saya berolah raga dan rutin makan vitamin C, agar memiliki stamina yang kuat.
Pertemuan berikutnya juga terjadi di masa Orde Baru. Ketika itu Pramoedya dengan mata berkaca-kaca menceritakan dia kehilangan seorang sahabat karibnya dalam sebuah kontak senjata di daerah Lemah Abang. Pramoedya turut melakukan perjuangan bersenjata untuk kemerdekaan Indonesia.
Masa muda saya adalah puisi Sapardi yang puitis dan karya Pramoedya yang politis. Para penyuka puisi Sapardi dan karya Pramoedya dapat dikategorikan sebagai kaum romantis-revolusioner.
Karya-karya NH Dini saya baca pertama kali waktu SMP. Tiga novelnya, “Namaku Hiroko”, “La Barka”, dan “Pada Sebuah Kapal” dibahas cukup mendalam di kelas. Guru Bahasa Indonesia saya mengagumi NH Dini.
Karya-karya NH Dini memposisikan perempuan tidak lagi sebagai pihak yang dipilih dan ditentukan, tapi menjadi pihak yang menentukan dan memilih apa yang diinginkannya. NH Dini memberi suara baru bagi kaum perempuan Indonesia dalam karya sastra.
Baca juga: Surat Kepada Presiden Republik Indonesia Bapak Ir. Joko Widodo
Saya hanya bertemu NH Dini satu kali, di Frankfurt, pada 2015. Ketika itu saya menjadi pembicara tunggal untuk diskusi “Ekstremisme dan Agama” (bukan hanya Islam, tapi juga agama-agama lain), karena pembicara-pembicara lain kebetulan berhalangan hadir.
Setelah diskusi selesai, seorang perempuan tua menghampiri dan menyalami saya. Katanya, “Apa yang Linda katakan itu memang benar. Saya setuju. Saya NH Dini.” Andaikata dia tidak menyebut namanya, saya mungkin tidak segera mengenali dia. Saya senang sempat mengenal NH Dini, salah seorang penulis terkemuka kita, dan terkesan dengan kerendahan hatinya. Selamat jalan, NH Dini.
Sumber asli tulisan bisa kunjungi Facebook Linda Christanty
[Penulis lahir Pulau Bangka, Bangka Belitung. Sastrawati dan Wartawan]
Discussion about this post