
- Artikel Dony P. Herwanto
[KotaHujan – Bogor] Sabtu, 18 Mei 2019, Paduan Suara Dialita mendapatkan penghargaan Special Gwangju Prize for Human Right 2019 dari The May 18 Foundation.
Penghargaan itu diberikan atas kerja-kerja kemanusiaan yang sampai hari ini dilakukan Paduan Suara Dialita.
Berikut adalah isi pidato yang dibacakan Utji K. Fauzia saat acara pemberian penghargaan di Kota Gwangju Korea Selatan.
***
Bapak dan ibu yang kami hormati, kawan-kawan pegiat HAM yang saya banggakan dan semua korban pelanggaaran HAM yang saya cintai.
Sebuah kebahagian dengan disertai rasa haru bercampur bangga, saya mewakili Paduan Suara Dialita dapat berdiri di sini untuk menerima sebuah penghargaan Special Award for Gwangju Prize for Human Right 2019 dari The May 18 Memorial Foundation.
Bagi kami, penghargaan ini adalah sebuah pengakuan pada perjuangan kemanusiaan untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM dengan menggunakan media musik dan bernyanyi.
Pengakuan ini menjadi penting karena mendorong kami untuk terus berjuang melalui bidang seni budaya.
Perjuangan Hak Azasi Manusia menggunakan seni budaya menjadi salah satu alternatif dari bentuk perjuangan lainnya yang sudah ada.
Setengah abad (53 tahun) yang lalu pada 1965, satu peristiwa politik telah terjadi di Negara yang kami cintai Indonesia.
Peristiwa tersebut membawa akibat terjadinya tragedi kemanusiaan yang menewaskan banyak orang, puluhan ribu orang dipenjarakan tanpa proses hukum.
Anak-anak harus berpisah dengan ayah dan ibu, Orang tua kehilangan anak, suami kehilangan istri dan istri kehilangan suami.
Banyak orang kehilangan hak sipilnya, mereka dipecat dari pekerjaannya, dipecat dari sekolahnya, dirampas harta bendanya.
Saat itu kami masih anak-anak. Kami tumbuh dewasa dalam ketakutan dan tekanan. Ibu dan ayah kami ada di penjara, ada yang orang tuanya hilang tak pernah ditemukaan lagi.
Namun, dari kekejaman tersebut, masih ada kekejaman lain yang harus diterima korban dan keluarganya yaitu stigma PKI.
Pemberian label ini mengakibatkan anak-anak keluarga korban 1965 kehilang hak sosial politik dan budaya.
Anak-anak tumbuh dewasa dalam ketakutan dan luka menyandang stigma sepanjang hidupnya. Keluarga korban tidak mendapatkan pemulihan atas trauma yang dialaminya.
Oleh karena itu, pertemuan dan perjumpaan keluarga korban menjadi penting karena ada “ruang yang aman” untuk saling bertutur tentang penderitaan masa lalu.
Bertutur dan bernyanyi merupakan pengalaman yang membuat keluarga korban merasakan ada kedamaian dan kekuatan serta semangat meraih masa depan, karena masa depan adalah milik semua manusia. Termasuk ana-anak korban 1965.
Bahwa pada setiap peperangan, konflik antar suku atau kelompok dan perbuatan/aksi teroris di setiap Negara akan membawa dampak kerusakan baik materiil maupun moriil.
Merusak tumbuh kembangnya anak-anak di dalam meraih mimpinya akan masa depan yang indah. Kaum perempuan dan anak-anak adalah kelompok yang paling rentan sebagai korban.
Oleh karena itu kami mengajak saudara-saudara atau kawan-kawan pekerja kemanusiaan di seluruh dunia untuk memperkuat solidaritas, saling bahu membahu melawan setiap bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Terus bersama-sama berjuang agar hak atas kebenaran dan keadilan dapat dimiliki oleh setiap korban pelanggaran HAM. Bersama berjuang mendesak agar peristiwa pelanggaran HAM tidak berulang kembali.
Sehingga pemulihan terhadap semua kerusakan yang ditimbulkan oleh peristiwa pelanggaran HAM dapat diterima dan dirasakan oleh semua korban.
Maka kami pun mengutuk aksi terror di Srilanka yang menewaskan ratusan orang tak bersalah. Duka itu bukan hanya milik Srilanka tapi duka kita semua.
Dulu, kami adalah “Anak-anak korban tragedi 1965” tetapi sekarang kami adalah manusia yang punya nama bukan “angka”.
Dialita adalah nama paduan suara di mana kami berusaha memulihkan trauma dengan cara bernyanyi.
Kami sangat berkepentingan terwujudnya dunia yang damai karena pada situasi konflik dan peperangan, kami kaum perempuan dan anak yang rentan menjadi korban.
Maka kami menyuarakan suara persabahatan dan perdamaian melalui tembang-tembang karya dari penjara. Agar rekonsiliasi budaya dapat terwujud.
Yang pada akhirnya Negara mau mendengar suara kami dan ada pengakuan bahwa tragedy kemanusiaan tersebut benar-benar telah terjadi. Walaupun kami sudah berdamai dengan masa lalu yang menyakitkan.
Namun, kami tetap merawat ingatan untuk tidak melupakan peristiwa pelanggaran HAM agar setiap bangsa dapat hidup damai tanpa diskriminasi, tanpa penindasan manusia atas manusia, bangsa terhadap bangsa lainnya.
Mari kita perkuat solidaritas antar bangsa, satukan pikiran, satukan langkah menuju dunia baru yang damai.
Sekian dan terima kasih.
[Sumber tulisan berasal dari sini]
Tulisan tentang Paduan Suara Dialita.
Baca juga : Dunia Milik Kita
Baca juga : Dan Kami Akan Terus Bernyanyi
Dony P. Herwanto, documentary maker, peminum kopi yang setia dan pembaca buku. Menulis untuk menjaga kewarasan dan ingatan.
Discussion about this post