
Penulis : Anggit Saranta
“Saya David, kang”
Lelaki tua itu dengan ramah menyambut dan memperkenalkan dirinya kepada saya. Ia seperti menangkap gestur malu-malu yang saya tunjukkan.
Ia mendahului, seakan memastikan kami tak jatuh harga diri dihadapan ‘sesepuh’ kota yang tengah membahas masa depan tradisi peranakan Handlestraat di Indonesia. Sebuah jalan perniagaan yang kini dikenal dengan nama Jalan Suryakencana.
Sekeliling tampak asing. Ini kali pertama saya masuk Vihara Dhanagun, bangunan ikonik yang mengusik perhatian sejak tiba di Bogor dan berkelana menyusuri aneka sudut kota.
Pada tepi jalur perniagaan yang memancing rasa keingintahuan itu, lantas bergumullah saya dengan komunitas Kampoeng Bogor. Sekumpulan anak muda yang mencoba memecah kebuntuan kisah sejarah kotanya.
Hingga nasib membawa saya kepada David Kwa, lelaki tua yang meminta cukup dipanggil nama depannya.
“Orang-orang di sini bilangnya Bio, dari Hok Tek Bio. Kalau resminya di Pemerintah, Vihara Dhanagun,” kata David, kala itu.
Kali kedua, David Kwa menangkap kebingungan kami.
Pertemuan ‘sesepuh’ saat itu tengah membahas persiapan perayaan 15 hari setelah Imlek, Cap Go Meh. Tahun itu masih 2007 dan kami di Kampoeng Bogor sedang hangat-hangatnya mengagumi aneka peninggalan kota.
Diundang dalam rapat persiapan Cap Go Meh oleh pengurus Bio saat itu sungguh suatu kehormatan. Kami tersentuh dengan keramah-tamahan yang disampaikan. Sejak saat itu, saya terpikat dengan bubur kacang hijau Bio, kala perjumpaan diadakan.
David mengajak saya dan kolega Kampoeng Bogor berkeliling singkat. Saat itu, saya melihat David dituntun seorang anak muda yang memanggilnya om.
Ada rasa tak enak, jalannya yang tak begitu sigap membuat rasa bersalah mengerubuti batin.
Seringkali, ia harus dibantu saat menaiki anak tangga. Namun kekuatan dan energinya untuk bercerita membuat kami kagum. Memang bukan tutur cerita yang runtut layaknya dongeng, namun David selalu memastikan kami paham dengan apa yang ia sampaikan dengan sabar.
Narasi tentang Eyang Suryakancana dan perannya di Bio menjadi pemantik kesadaran akulturasi khas peranakan yang bersanding dengan narasi Hok Tek Cheng Sin dan Kwan Im.
Saya kagum. Kagum se-kagum-kagumnya. Narasi yang sempat menjadi mitos dan sekat membayang masa kecil, kini terkuak menjadi semacam pengetahuan. Dan itu diceritakan oleh seorang David Kwa.
Saya seperti membaca plakat riwayat peranakan.
***
Membaca kisah Baba-Nyonya, keturunan dari pernikahan antara laki-laki Tionghoa totok (Sing keh) dengan perempuan lokal (nyai). Saat itu, hingga akhir abad 19 sangat jarang perempuan Tionghoa totok datang ke Hindia Belanda.
Alasan sulitnya jalur pelayaran dan kerasnya adat-istiadat yang memisahkan laki-laki dan perempuan ketika itu menjadi alasan terbentuknya Tionghoa Peranakan. Laki-laki Tionghoa itu kemudian menikahi perempuan lokal dan membentuk keluarga.
Setelah beberapa generasi akhirnya mereka menjadi mapan dan kuat dengan ciri-ciri budaya tersendiri. Dari pihak ayah mereka mewarisi budaya Tionghoa, namun dari pihak Ibu mereka mewarisi budaya lokal (Melayu, Sunda, Jawa dan lain-lain).
Tidak heran jika kemudian pakaian yang dikenakan orang Tionghoa merupakan bentuk budaya yang dipengaruhi perkembangan silang budaya nusantara. Termasuk juga budaya barat yang dibawa masuk oleh orang Belanda.
Munculnya kaum terdidik pada 1920 sebagai imbas didirikannya Hollandsch Chineesche Schoolen telah mengilhami kesadaran di kalangan Tionghoa Peranakan, bahwa mereka memiliki latar belakang budaya yang berbeda dari kaum Totok.
Merekapun menyadari Hindia Belanda (Indonesia) adalah tempat mereka lahir dan dibesarkan. Hal inipun memunculkan keyakinan untuk tinggal dan menyelesaikan hidupnya di negeri ini.
***
Batuk ringan mengiringi langkah David Kwa mengantar kami keluar komplek Dhanagun. Pertemuan baru saja usai. Pengurus Bio, sesepuh dan tokoh masyarakat komunitas di Handlestraat (Suryakencana) sepakat untuk mengadakan Street Fest Cap Go Meh 2008.
Saya terlibat aktif bersama komunitas Kampoeng Bogor. Sejak saat itu, nyaris tiap tahun kami kolaborasi melakukan preservasi budaya peranakan yang kini menjelma menjadi gelaran tahunan Bogor Street Fest.
Perjumpaan bersama David Kwa semakin intens dalam aneka sasana budaya dan diskusi membahas perkembangan kota lainnya.
Pengetahuan minim saya tentang David Kwa lantas berubah menjadi rasa hormat setelah membaca aneka buku riwayat dan sejarah. Banyak nama David Kwa tertera di sana.
Nama dan sosok yang sama yang berbincang hangat dengan saya. David jugalah yang memandu bagaimana memahami sejarah tanpa ragu, tak hanya sejarah yang dikisahkan dalam buku. Namun kisah-kisah tutur yang belum banyak tercatat dan ‘dirumahkan’.
Bagi saya, David Kwa dalam berbagai publikasi sejarah menjadi sosok tak tersentuh karena pengetahuan dan tuturan sejarahnya yang membuka wawasan.
Namun dalam kehidupan nyata dan pergaulan sesama warga kota, ia adalah sosok yang ramah dan antusias kepada anak muda yang haus pemahaman sejarah. Aneka wawancara oleh pewarta, penulis dan komunitas ia ladeni dengan segala kompromi kondisi.
Seperti padi, meski banyak menulis buku dan publikasi, David tak pernah mewacanakan pengetahuannya dengan serampangan dan gagah-gagahan.
Dalam berbagai forum, saya menyaksikan David memilih menepi ketika banyak yang merasa ahli dalam suatu diskusi. Ia baru berbicara ketika diminta. Itu pun dalam takaran kebijaksanaan yang tak pernah sekalipun mengadili, setidaknya demikian yang kerap saya jumpai.
Faktanya, David adalah pakar dengan latar sinolog dari Universitas Indonesia.
***
Suatu pagi, dalam suasana pandemi, tersiar kabar bahwa David Kwa telah pergi.
Menuntaskan perjalanan 64 tahun yang sarat warna dalam lingkaran orang-orang yang menyayanginya.
David Kwa pergi dengan ragam ungkapan terima kasih dari kolega, kenalan dan keluarga atas dedikasi dan sumbangsih ilmu dan pengetahuannya.
David Kwa Kian Hauw, lahir 20 November 1956. Ia pamit menuju perjalanan berikutnya pada 7 September 2020 dengan iringan doa-doa dari khalayak dan kolega. Raganya berakhir di rumah duka Sinar Kasih, Jalan Batu Tulis Bogor lalu menuju pungkasan di Krematorium Rumah Abu, Cibionong, Bogor.
Meski begitu, semangatnya dalam memperkenalkan kembali Budaya Peranakan Indonesia terlanjur menginspirasi saya dan kolega lainnya.
Terima kasih Pak David Kwa, berkat pertemuan pertama dengan anda membawa saya mengenal Guntur Santoso, Mardi Lim, Arifin Himawan, Gunawan Rahardja, dan tokoh Dhanagun lainnya. Juga Pak Bram dan keluarga Pulo Geulis lainnya.
Sebagaimana narasi tentang peranakan, anda membuktikan berakhir dalam pelukan negeri.
Selamat jalan “Pemerhati Budaya Peranakan Tionghoa Indonesia”
Terima kasih
Discussion about this post