
Penulis : Dony P. Herwanto
[KotaHujan – Bogor] Belum lama ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) no. 22/2021 tentang dikeluarkannya limbah batubara dari daftar Limbah B3 (Bahan Beracun dan Berbahaya).
Hal ini memicu Partai Hijau Indonesia (PHI) mendukung langkah-langkah warga untuk mengoreksi pemerintah secara konstitusional.
PP no. 22/2021, menurut PHI, semakin mengukuhkan sikap tidak peduli pemerintah dengan keselamatan warga dan pemulihan lingkungan hidup.
Melalui aplikasi zoom, seluruh anggota Presidium Nasional PHI, Kristina Viri, Taibah Istiqamah, Dimitri Dwi Putra, Roy Murtadho dan John Muhammad menggelar diskusi 4 kota, Jakarta, Bogor, Yogyakarta dan Palangkaraya.
“Energi batubara saja, kami tolak. Apalagi bila kini pemerintah melindungi dan membela limbahnya.” kata John Muhammad.
Menurut John, warga jangan terjebak dengan polemik limbah batubara saja, sehingga industri batubara yang menjadi pangkal masalah seolah-olah disetujui.
Energi batubara, lanjut John, selain termasuk energi kotor bersama dengan bensin, solar dan turunan energi fosilnya, telah terbukti menyebabkan banyak penyakit dan kematian dini (HEAL, 2018).
Sementara itu, dari Yogyakarta, Kristina Viri menambahkan bahaya energi batubara. Batubara adalah sumber pencemaran karbon dioksida terbesar yang disebabkan oleh aktivitas manusia (14.4 gigaton pada 2018) dan merupakan penyumbang 40% total emisi bahan bakar fosil serta lebih dari 25% total emisi gas rumah kaca global.
“Pada 2018, Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres telah meminta dunia untuk menghentikan pembangkit listrik batubara di 2020. Sementara Pemerintah Indonesia malah melanjutkannya dan mengampuni limbahnya,” kata Viri.
Dari Bogor, Roy Murtadho mengatakan, di Indonesia, dampak buruk PLTU sangat nyata. Dari laporan masyarakat, telah terjadi penurunan kualitas lingkungan hidup serta kesehatan warga di beberapa lokasi PLTU, seperti di Mpanau (Sulteng), Cilacap (Jateng), Indramayu dan Cirebon (Jabar), Celukan Bawang Bali, Ombilin (Sumbar), Muara Maung dan Muara Enim (Sumsel), dan Suralaya (Banten).
“Semua itu terjadi ketika limbah batubara masih ditetapkan sebagai limbah B3. Maka apa jadinya, jika limbah batubara sekarang dianggap aman?” ucapnya.
Jadi, imbuh Dimitri Dwi Putra, ini semua adalah siasat pemerintah dan kartel batubara untuk memeras keuntungan sebesar-besarnya dan membiarkan kerusakan hayati yang menjadi dampaknya.
Menurut Dimitri, keekonomian energi batubara sebenarnya sudah kalah dari energi surya (ESDM, 2020). “Makanya, tanggung jawab pengolahan limbah B3 batubara yang menjadi beban biaya energi batubara sengaja dihilangkan supaya energi batubara kembali kompetitif,” katanya.
Sementara itu dari Palangkaraya, Taibah Istiqamah mengingatkan pemerintah dengan mengutip Pasal 28 H Ayat 1 UUD 1945, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
Menurutnya, apa yang dilakukan pemerintah terkait industri batubara telah bertentangan dengan amanat konstitusi.
Berdasarkan penjelasan Taibah tersebut, Gus Roy mendukung dan mengajak publik untuk segera mengoreksi pemerintah karena batas waktu untuk memperbaiki kerusakan lingkungan alam akibat perubahan iklim sudah sangat dekat.
Pada 2018, Panel Antarpemerintah PBB tentang Perubahan Iklim (IPCC) yang bernaung di bawah Kesepakatan Iklim Paris PBB menyatakan, bumi akan mengalami kenaikan suhu global melewati ambang minimum yang ditetapkan 1,5 derajat Celcius pada awal 2030.
“Waktu laporan IPCC dirilis, sisa waktu kita hanya 12 tahun. Sekarang sisa waktunya hanya 9 tahun. Dan jika membiarkan kebijakan ini berlangsung dan menanti pergantian kepemimpinan nasional pada 2024, sisa waktunya tinggal 6 tahun!” katanya.
Oleh karena itu, Gus Roy menegaskan, “Bersama warga, PHI akan menyiapkan langkah-langkah politik mitigasi untuk mengoreksi kebijakan energi kotor pemerintah,”
Discussion about this post