Seluang.id
  • KotaHujan
  • Editor’s Pick
  • Populer
  • About Seluang
  • Login
No Result
View All Result
  • Landscape
  • Our Story
  • Art
  • Amatan & Opini
SeluangID
  • KotaHujan
  • Editor’s Pick
  • Populer
  • About Seluang
No Result
View All Result
SeluangID
No Result
View All Result

Pohon Jambu dan Letusan Peluru

Kotahujan News & Story by Kotahujan News & Story
10 Maret 2019
in Kota Hujan
Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsApp
Seorang pengendara melintas di depan salah satu rumah tua di Bedahan, Semarang, Jawa Tengah. Foto: Ari Trismana
  • Artikel Ari Trismana
  • Namanya Bedagan, sebuah kampung kecil di tengah Kota Semarang. Konon namanya berasal dari kata bebedag, dalam bahasa Jawa artinya berburu.

    Ini kampung bersejarah bagi saya. Saat awal sekolah dasar, saya tinggal di kampung ini bersama nenek saya.

    Setelah puluhan tahun tak pernah menginjakkan kaki di Bedagan, pagi itu menyusuri Bedagan terasa seperti masuk ke lorong waktu.

    Ada beberapa tradisi menarik yang saya ingat di Bedagan. Dulu saat ada orang meninggal, maka ada seorang petugas yang berkeliling kampung mengumumkan berita duka dengan cara meniup semacam terompet ukuran kecil.

    Petugas itu meniup terompetnya berulang-ulang, lalu mengumumkan informasi tentang kematian.

    Saya tak tahu apakah cara ini masih dipakai sampai sekarang.

    Ada juga tradisi menyediakan air minum atau air untuk cuci muka. Meski tak semua rumah, tapi ada banyak rumah yang menaruh kendi berisi air di depan rumah dan boleh digunakan oleh siapa pun, terutama oleh orang-orang yang sedang dalam perjalanan.

    Era itu tentu saja belum dikenal air minum dalam kemasan.

    Biasanya anak-anak kecil, termasuk saya senang minum dan cuci muka menggunakan air kendi itu setelah main keliling kampung.

    Tampaknya tradisi itu sudah tak ada lagi. Tapi saat ini di beberapa lokasi di Bedagan, saya lihat ada penampungan air yang disediakan untuk kebutuhan cuci tangan bahkan lengkap dengan sabunnya.

    Saya tak tahu apakah ini ada kaitannya dengan tradisi menyediakan air kendi di masa lalu?

    Sangat banyak yang berubah. Rumah-rumah berarsitektur khas tempo dulu jumlahnya sekarang bisa dihitung dengan jari.

    Saya tak mengenali lagi sudut-sudut kampung ini. Bahkan saya tak tahu lagi mana rumah milik nenek saya yang dulu.

    Selain berusaha mengenali rumah milik nenek saya yang dulu, saya mencari pohon jambu yang bagi saya sangat bersejarah.

    Suatu hari saya dan seorang kawan naik pohon jambu milik tetangga. Kami makan jambu dan ngobrol tanpa turun dari pohonnya.

    Saat itu, siang hari yang tak terlalu panas, saat masih asyik ngobrol, kami sama-sama terdiam karena mendengar suara-suara letusan seperti petasan.

    Karena tak paham apa yang terjadi kami berdua cuma bengong. Suara-suara letusan terus ada, kemudian tetangga-tetangga berteriak-teriak “Geger… geger…” dalam bahasa Jawa artinya ada peristiwa yang menggemparkan.

    Dari atas pohon jambu, saya bisa melihat betapa tetangga-tetangga saya ini, terutama ibu-ibu sangat panik.

    Berteriak-teriak, lari, masuk rumah dan menutup rapat semua pintu dan jendela. Tak ada yang mengetahui keberadaan kami, dan kami tetap makan jambu di atas pohon.

    Sampai akhirnya ibu kawan saya yang berteriak-teriak panik memanggil, mencari-cari kawan saya (saya lupa namanya).

    Kami turun dari pohon jambu, lalu sang ibu setengah mencengkeram tangan anaknya, juga mencengkeram pergelangan tangan saya.

    Pertanyaan “ada apa?” hanya sampai di kepala, tanpa sempat saya ucapkan.

    Sang ibu berlari dan kami otomatis mengikutinya. Kami masuk rumah dan si ibu menutup rapat pintu, jendela serta tirainya.

    Sampai di situ kami tetap tak tahu apa yang terjadi. Suara-suara letusan terus terdengar.

    Setelah suara-suara letusan mulai reda, gantian nenek saya yang berteriak-teriak memanggil saya.

    Saya mengintip dari balik tirai jendela. Menemukan bahwa saya aman di dalam rumah tetangga, nenek saya memeluk saya dan bergegas membawa saya pulang.

    Saat itu, umur saya 7 tahunan dan tak paham apa yang terjadi. Jauh setelah itu baru saya tahu bahwa kejadian november 1980-an itu adalah kerusuhan rasialis yang terjadi sebagai rentetan kerusuhan yang berawal dari Kota Solo.

    Saat itu di beberapa wilayah Semarang, massa merusak toko-toko milik orang Cina.

    Suara-suara letusan yang saya dengar saat itu, saya duga adalah suara tembakan peringatan dari aparat untuk menghalau dan membubarkan massa.

    Berita baiknya, beruntung saat itu tak ada peluru nyasar ke arah pohon jambu dan massa dari jalan utama di Jalan Pemuda tak masuk ke dalam Kampung Bedagan.

    Sebab kawan saya itu juga keturunan Cina dan saat pertama turun dari pohon jambu saya ikut sembunyi di rumah keluarganya yang secara wajah sangat mudah diidentifikasi sebagai orang Cina.

    Jika geger merambat masuk ke Kampung Bedagan, bisa dipastikan bahwa saya tak mungkin bisa menuliskan kisah ini.

    Kampung Bedagan terasa lebih sempit dari yang dulu, dan saya tak menemukan pohon jambu bersejarah itu.

    Di jalur utama keluar dari Kampung Bedagan adalah Jalan Pemuda. Jalan Pemuda adalah salah satu jalan penting di Semarang.

    Membentang sepanjang hampir 3 km dari Tugu Muda hingga Jembatan Berok. Saat jaman Belanda bernama Bodjongweg.

    Jalan ini termasuk dalam Jalan Raya Pos (de Grote Postweg) yang dibangun oleh Gubernur Jenderal Deandels tahun 1808.

    Dulu bersama nenek, pagi-pagi saya sering menyusuri Jalan Pemuda untuk mengumpulkan asam jawa yang jatuh dari pohon. Sering juga nonton pertunjukkan wayang kulit di Balai Kota hingga malam hari.

    Pagi itu setelah berkeliling Kampung Bedagan, saya menyusuri Jalan Pemuda. Mulai dari Lawang Sewu hingga ujung Mall Paragon, tak lebih dari separuh panjangnya jalan Pemuda. Tapi banyak hal menarik yang bisa dilihat.

    Sisa-sisa peradaban tempo dulu, deretan pohon asam tua, koran dinding untuk warga, akulturasi budaya, hingga produk-produk modernitas dan memorabilia konflik bisa ditemui di sini.

    Tak kurang dari dua jam saya berjalan kaki. Udara yang mulai panas dan polusi dari asap kendaraan bermotor membuat saya harus menyerah untuk terus menyusuri “lorong waktu“.

    Secara fisik, Semarang memang banyak berubah, yang tetap adalah kenangannya.

    [Tulisan ini bersumber dari Facebook penulisnya, bisa dilihat di sini]

    [Penulis adalah produser rumah produksi audio visual watchdoc, yang memproduksi sejumlah karya jurnalistik bergenre Dokumenter]

    Kotahujan News & Story

    Kotahujan News & Story

    Related Posts

    63 Persen Kekerasan Berbasis Gender Terjadi di Tengah Pandemi

    by Kotahujan News & Story
    10 Februari 2021
    0

    Gambar oleh Free-Photos dari Pixabay Penulis : Dony P. Herwanto Konsultan Isu Gender, Tunggal Pawestri mengatakan,...

    Ini Cara Kita Memuliakan Penyintas Bencana

    by Kotahujan News & Story
    23 Januari 2021
    0

    Sejumlah perempuan tengah memilah pakaian untuk penyintas bencana. Sumber Foto : Facebook Bayu Gawtama | Sekolah Relawan Penulis :...

    Saling Bantu untuk Gempa Majene

    by Kotahujan News & Story
    16 Januari 2021
    0

    Suasana di salah satu tenda pengungsiang di Majene. Foto : Bayu Gawtama / Sekolah Relawan Penulis : Dony P....

    Next Post
    Shanti Soedarpo. Sumber foto: www.narakata.com

    Kemayoran, New York, dengan Bayi dalam Keranjang Rotan

    Putri Damayanti Potabuga menyampaikan materi dalam workshop Climate Vlogger di Manado. Foto : Climate Institute/Mongabay Indonesia

    Lewat Vlog, Suarakan Perubahan Iklim

    Salah seorang peserta aksi mengangkat poster bernada protes kepada Pemerintah Kota Surabaya atas penangkapan dan kriminalisasi warga yang berjuang menuntut haknya, hak mendapatkan ruang hidup yang semestinya. Sumber foto: www.change.org

    Jangan Biarkan Waduk Sepat Mengering Seperti Air Mata Kami

    Discussion about this post

    Story Populer

    • Naskah asli Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang dikoleksi wartawan B.M Diah. Sumber foto: Wikipedia

      Coretan-coretan Sukarno pada Teks Proklamasi itu

      0 shares
      Share 0 Tweet 0
    • Proklamasi, Kenapa Pindah dari Ikada ke Pegangsaan?

      0 shares
      Share 0 Tweet 0
    • Telepon Nasution dan Sarwo Edhie Setelah Pranoto Dibebaskan

      0 shares
      Share 0 Tweet 0
    • Kami Mengukur Curah Hujan untuk Menanam

      0 shares
      Share 0 Tweet 0
    • Saya Tidak Panik. Saya Mengisolasi 14 Hari

      0 shares
      Share 0 Tweet 0
    • “Kami tak Ingin Lingkungan Ini Rusak,” kata Yanto

      0 shares
      Share 0 Tweet 0
    • Seni dan Virtual, Antara Eksperimen dan Eksplorasi

      0 shares
      Share 0 Tweet 0
    # # #
    SeluangID

    Kami ingin menyajikan berita melalui cerita. Mimpi sederhana kami: mengisahkan kebenaran - walau itu kecil - ke banyak orang. Karena Dunia Butuh Cerita.

    • Amatan & Opini
    • Art
    • Catatan Redaksi
    • Kota Hujan
    • Landscape
    • Obituari
    • Our Story
    • Review

    Follow Us

    We’d like to hear from you!

    Hubungi Kami di : [email protected]

    Ikramina Residence Blok E No 1 RT 004/007 Desa Bojong, Kecamatan Kemang Kabupaten Bogor Jawa Barat, 16310

    • About Seluang
    • Beranda
    • Pedoman Media Siber

    © 2021 Design by Seluang Institute

    • Landscape
    • Our Story
    • Art
    • Amatan & Opini
    No Result
    View All Result

    Welcome Back!

    Login to your account below

    Forgotten Password?

    Create New Account!

    Fill the forms below to register

    All fields are required. Log In

    Retrieve your password

    Please enter your username or email address to reset your password.

    Log In