Seluang.id
  • KotaHujan
  • Editor’s Pick
  • Populer
  • About Seluang
  • Login
No Result
View All Result
  • Landscape
  • Our Story
  • Art
  • Amatan & Opini
SeluangID
  • KotaHujan
  • Editor’s Pick
  • Populer
  • About Seluang
No Result
View All Result
SeluangID
No Result
View All Result

Reforma Agraria untuk Keadilan Sosial dan Kesejahteraan

SeluangID by SeluangID
22 September 2018
in Landscape
Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsApp
Suasa Press Conference persiapan pelaksanaan Global Land Forum 2018. Foto : Benni Wijaya / Panitia GLF 2018
  • Artikel Dony P. Herwanto

Sedikitnya 197 pemimpin organisasi, aktivis, dan jurnalis tewas kurun waktu 2017 karena mempertahankan tanah dan sumber-sumber penghidupan mereka. Situasi tersebut berlanjut di tahun 2018, di mana tercatat 66 orang telah terbunuh sejauh ini.

Saat ini mereka masih rentan terhadap intimidasi, kriminalisasi bahkan ancaman pembunuhan. Situasi tersebut merupakan dampak dari praktik perampasan tanah yang terus terjadi secara masif.

Sebab itu, komunitas dan organisasi masyarakat sipil global harus mengambil sikap bersama dan bersatu untuk menentang dan melawan berbagai praktik-praktik perampasan tanah tersebut, dan memastikan hak atas tanah bagi petani, nelayan, masyarakat adat dan perempuan.

Atas dasar situasi tersebut, lebih dari 800 organisasi masyarakat sipil, organisasi rakyat, organisasi pembangunan internasional, badan-badan PBB, akademisi hingga lembaga pemerintahan akan bertemu di Bandung, dalam perhelatan Global Land Forum (GLF) ke-8.

Mereka menuntut pemenuhan hak atas tanah bagi rakyat, khususnya petani kecil, tuna kisma, nelayan miskin, perempuan dan masyarakat adat, serta perlindungan bagi pejuang hak atas tanah dan lingkungan.

GLF merupakan forum pertanahan global terbesar di dunia yang diselenggarakan International Land Coalition (ILC), bekerjasama dengan Panitia Nasional GLF, dan Kantor Staf Presiden (KSP). ILC merupakan koalisi yang terdiri dari 250 anggota yang berasal dari NGO, organisasi masyarakat adat, serikat tani, lembaga penelitian, dan organisasi antar pemerintah di 77 negara.

Terpilihnya Indonesia sebagai negara tuan rumah penyelenggara GLF oleh Dewan Global ILC didasarkan pada beberapa perkembangan signifikan, diantaranya dari sisi kemajuan gerakan sosial yang memperjuangkan hak atas tanah, serta adanya kemauan politik pemerintah mendorong proses-proses pengakuan hak atas tanah melalui kebijakan reforma agraria dan penyelesaian konflik. Meskipun implementasinya berjalan sangat lambat dan masih jauh dari apa yang diinginkan oleh organisasi masyarakat sipil dan serikat tani.

Salah satunya ketiadaan peraturan presiden sebagai landasan pelaksanaan reforma agraria (Perpres RA) sehingga agenda yang telah dicanangkan menjadi tersendat di tengah konflik agraria yang terus terjadi di lapangan.

Suasana Press Conference persiapan Global Land Forum 2018. Foto: Benni Wijaya / Panitia GLF 2018

“Sertifikasi saja tidak cukup, kami menuntut reforma agraria sejati” kata Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) pada saat peluncuran resmi Global Land Forum 2018 di Istana Negara di Jakarta, 20 September 2018.

Dewi menambahkan, saat ini perampasan tanah yang memicu konflik-konflik agraria di lapangan terus terjadi dan belum tersentuh oleh agenda reforma agraria. Ada jutaan jiwa petani, masyarakat adat dan nelayan yang menjadi korban konflik agraria.

“Presiden harus segera mengeluarkan keputusan politik penyelesaian konflik agraria di seluruh negeri ini. Sekaligus memastikan pendekatan-pendekatan keamanan, yang bersifat mengkriminalkan dan represif kepada masyarakat di wilayah konflik, di desa-desa, di kampung, dapat segera dihentikan,” ungkap Dewi.

Tahun ini, GLF membawa tema “United for Land Rights, Peace and Justice” dengan beberapa isu dan sub-tema diantaranya, reforma agraria sejati, kedaulatan pangan, perampasan tanah, hak perempuan atas tanah, masyarakat Adat, perubahan iklim, dan krisis regenerasi petani, untuk membahas dan mempromosikan tata kelola pertanahan berbasis masyarakat (people-centered land governance).

“Masyarakat Adat dan komunitas lokal melindungi separuh dari lahan dunia, tetapi hanya 10 persen yang diakui. Situasi tersebut menyebabkan perampasan tanah menjadi tantangan besar. Di banyak negara, mereka berjuang membela hak-hak tanah dengan mempertaruhkan nyawa,” kata Direktur ILC, Mike Taylor.

“GLF merupakan momen yang tidak ternilai untuk menggali solidaritas, menyatukan kembali dan merencanakan aksi bersama”, tutup Mike.

Naskah diolah dari hasil press conference dan rilis yang kami terima

Dony P. Herwanto, documentary maker, peminum kopi yang setia dan pembaca buku. Menulis untuk menjaga kewarasan dan ingatan.

SeluangID

SeluangID

Related Posts

637.624 Hektare Kawasan Mangrove Kritis

by SeluangID
12 Februari 2021
0

Salah satu hutan mangrove di pesisir utara Cirebon. Foto : Dony P. Herwanto (2019) Penulis : Dony P. Herwanto...

Kondisi banjir di Dayeuh Kolot, Kabupaten Bandung, Jawa Barat pada awal Februari 2020.
Foto: Donny Iqbal/Mongabay

Dan Kita yang Lambat Tangani Banjir

by SeluangID
24 Februari 2020
0

Kondisi banjir di Dayeuh Kolot, Kabupaten Bandung, Jawa Barat pada awal Februari 2020. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Penulis : Donny...

Ilustrasi. Masyarakat Kasepuhan Karang, Kabupaten Lebak, Banten dengan latar bangunan rumah adat berbahan kayu dan beratap injuk. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

Mitigasi Bencana di Kampung Cikondang

by SeluangID
27 Januari 2020
0

Ilustrasi. Masyarakat Kasepuhan Karang, Kabupaten Lebak, Banten dengan latar bangunan rumah adat berbahan kayu dan beratap injuk. Foto :...

Next Post
Ke-eksklusifan sebuah musik itu nyawa, dan lagu yang dibawakan adalah udaranya. Dan jika kita hirup bersamaan tidak hanya akan menghidupi namun seperti merayakan kehidupan dengan berbagi hidup bersamanya. Ilustrasi : Graditio

Eksklusivitas dan Kritik Seorang Awam

Persiapan along-along angkut obat-obatan. Foto: Waliroh K. – Apoteker TIMA dan dr. Iwan – Kapuas Hulu

Menembus Pedalaman Kalimantan

Penurunan debit air di Waduk Jatigede menyebabkan pemukiman warga yang dulunya ditenggelamkan muncul kembali ke permukaan. Foto : Donny Iqbal/Mongabay

Waduk Jatigede tak Basah Lagi

Discussion about this post

Story Populer

  • Pembacaan Proklamasi kemerdekaan RI oleh Sukarno di Pegangsaan. Sumber foto: Wikipedia

    Proklamasi, Kenapa Pindah dari Ikada ke Pegangsaan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Coretan-coretan Sukarno pada Teks Proklamasi itu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Banjir di Jantung Kalimantan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Seni Tradisi dan Adaptasi Semasa Pandemi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Amirah Telah Pergi Selamanya

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Membincang Hegemoni dalam Reformasi Dikorupsi Bersama Peramu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Seni dan Virtual, Antara Eksperimen dan Eksplorasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
# # #
SeluangID

Kami ingin menyajikan berita melalui cerita. Mimpi sederhana kami: mengisahkan kebenaran - walau itu kecil - ke banyak orang. Karena Dunia Butuh Cerita.

  • Amatan & Opini
  • Art
  • Catatan Redaksi
  • Kota Hujan
  • Landscape
  • Obituari
  • Our Story
  • Review

Follow Us

We’d like to hear from you!

Hubungi Kami di : [email protected]

Ikramina Residence Blok E No 1 RT 004/007 Desa Bojong, Kecamatan Kemang Kabupaten Bogor Jawa Barat, 16310

  • About Seluang
  • Beranda
  • Pedoman Media Siber

© 2021 Design by Seluang Institute

  • Landscape
  • Our Story
  • Art
  • Amatan & Opini
No Result
View All Result

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In