Seluang.id
  • KotaHujan
  • Editor’s Pick
  • Populer
  • About Seluang
  • Login
No Result
View All Result
  • Landscape
  • Our Story
  • Art
  • Amatan & Opini
SeluangID
  • KotaHujan
  • Editor’s Pick
  • Populer
  • About Seluang
No Result
View All Result
SeluangID
No Result
View All Result

“Saya Kembali, Banjir Su Hantam-hantam di Kaki,” kata Martina

Kotahujan News & Story by Kotahujan News & Story
19 Maret 2019
in Kota Hujan
Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsApp
Mobil tertutup lumpur di kawasan Pasar lama Sentani. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia
  • Artikel Asrida Elisabeth
  • Kala melihat Pegunungan Cyclop, dari Kota Sentani, tampak tenang. Dari kejauhan, warna hijau tua pepohonan dengan puncak tertutup awan.

    Sabtu, 16 Maret 2019, hujan turun seharian di Kota Sentani. Tak dinyana, malam hari, sekitar pukul 19.00 WIT, air deras mengalir dari Cyclop, dengan membawa beragam material dari bebatuan sampai batang kayu, menghantam segala yang ada di bawahnya.

    Banjir bandang melanda Kota Sentani, Papua.

    Data sementara, sampai Minggu malam (17/3/19), 68 orang meninggal dunia, luka ringan 75 orang, dan luka berat 30 orang. Warga yang mengungsi mencapai 4.153 tersebar di tujuh lokasi penampungan.

    Pantauan Mongabay, kerusakan terjadi dari hulu hingga hilir, paling parah antara lain di Kemiri, Pasar lama, Tauladan, dan Doyo.

    Ruko, pasar, perkantoran hingga pemukiman warga rusak diterjang batu, kayu dan terbenam lumpur.

    Tampak jembatan dan saluran air juga mengalami erosi parah. Di beberapa jembatan di sepanjang jalan raya sentani, air menggerus pinggir kali hampir mencapai bangunan di sekitarnya.

    Saluran air dan bangunan padat di sekitar jalan raya Sentani memperparah kondisi genangan air. Di danau, ketinggian air naik hingga menggenangi rumah warga.

    Tampak di beberapa titik, warga di pinggiran Danau Sentani, menyelamatkan barang ke daratan. Menjelang sore, mendung menggelayut di puncak Cyclop. Hujan turun lagi sepanjang malam.

    Badan Meterologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Jayapura menyampaikan, peringatan dini cuaca Jayapura pada 18 Maret 2019, masih berpotensi hujan dengan intensitas sedang hingga lebat disertai badai guntur dan angin kencang.

    Pukul 01.00 dini hari, di Sentani, Kota Jayapura dan sekitar hujan.

    Baca juga : Setelah 17 Tahun Otsus

    Kota Sentani, terletak membentang tepat di bawah kaki Pegunungan Cyclop. Sentani adalah ibu kota Kabupaten Jayapura dengan luas sekitar 225,90 km².

    Di wilayah ini membentang Danau Sentani, juga jadi muara bagi sungai-sungai dari Pegunungan Cyclop.

    Dari Pegunungan Cyclop, air mengalir membawa serta pasir, tanah, bongkahan batu, dan batang-batang kayu.

    Air bersama material ini meluncur deras tak terkendali, tak lagi pada daerah aliran biasa. Aliran air tumpah ruah membentuk daerah aliran baru, menyapu apapun yang berada di bawahnya.

    Pohon-pohon tumbang, rumah-rumah rusak parah, manusia dan ternak sebagian mati terhanyut, sebagian luka-luka, jalanan dipenuhi bongkahan lumpur, batu dan batang kayu.

    Kondisi Kali Suembak

    Kali Suembak, salah satu sungai yang mengalir keluar dari Pegunungan Cyclop. Di pinggir Kali Suembak, Martina Safkaur tinggal bersama suami dan lima anaknya. Suaminya, Jefri Kopew.

    Daerah di sekitar hulu Kali Suembak milik Marga Kopew. Secara administrasi pemerintahan, lokasi ini masuk daerah Tauladan RW 2/RT 10 Kelurahan Sentani Kota.

    Rumah mereka berada di ujung atas wilayah ini. Jaraknya sekitar 50 meter dari Kali Suembak. Sudah sembilan tahun Martina dan keluarga tinggal di sini.

    Malam itu, Martina, tinggal dengan lima anaknya. Suami sedang di Genyem. “Jam 7.00 saya turun ke bawah beli anak kecil pu susu. Saya kembali, banjir su hantam-hantam di kaki. Arus sudah kencang. Saya bilang, aduh Tuhan, anak-anak di rumah. Ini banjir sudah masuk.”

    Setiba di rumah, tumpahan air dari kali sudah masuk dan memenuhi kiri dan kanan rumah. Anak-anak tertidur lelap dia bangunkan.

    Anak paling besar menggendong adiknya yang berumur 1,6 tahun. Martina menggendong anaknya yang berusia dua bulan.

    Pukul 20.00 WIT, mereka masih di dalam rumah. Hujan terus turun, listrik padam dan kilat terus menyambar.

    Cahaya kilat ini membantu Martina menuntun anak-anaknya ke bukit samping rumah. Dari atas bukit, tampak pohon-pohon tumbang dan terbawa air.

    “Kita lari ke pondok yang di gunung. Sampai di gunung, banjir sudah makin besar, makin turun. Lihat matoa yang tadinya di pinggir rumah itu, pohon-pohon yang ada banyak itu bukan patah tapi akarnya naik.”

    “Oh Tuhan… ini sudah tambah parah. Sudah tambah keluar, sudah tambah masuk ke rumah ini. Lihat begini matoa sudah tindis rumah.”

    Baca juga : Tradisi Makan Papeda Gunakan Sempe

    Tempat mereka menyelamatkan diri juga mulai longsor. Martina mengajak anak-anaknya naik ke ketinggian.

    Dari sana tampak cahaya senter keluarga yang hendak menolong tetangga di rumah bawah. Martina berteriak minta tolong.

    “Keluarga naik angkat kita di gunung. Yang bayi kecil sudah gemetar. Datang ipar perempuan bungkus dengan kain.“

    Bagi Martina, kondisi ini tak terlalu mengherankan. Suaminya, Jefri Kopew, adalah anggota masyarakat mitra Polisi Kehutanan (MMP).

    MMP adalah kelompok masyarakat sekitar hutan yang membantu Polisi Hutan dalam melindungi hutan. Di sini MMP bernama Kelompok Horolowa.

    Selasa lalu, mereka baru kembali dari Pegunungan Cyclop. “Suami saya bilang di sana banyak longsor. Orang bikin kebun di pinggir-pinggir kali dan tebang pohon. Jadi, sekarang air turun dan bawa batang-batang kayu dengan batu-batu ini.”

    Martina beruntung. Meski kini anak-anaknya sakit, mereka semua selamat. Dibantu keluarga, siang hari, Martina, kembali ke rumah menyelamatkan barang tersisa.

    Baginya, rumah mereka harus segera pindah ke tempat lebih aman. Rumah mereka, dia pastikan bakal jadi aliran sungai baru.

    Yance Wenda, wartawan Tabloid Jubi juga tinggal di sekitar daerah aliran Sungai Suembak, lebih rendah dari rumah Martina.

    Yance bersama keluarga tinggal di sini sejak 2000. Dia dari pegunungan Papua. Dia tinggal lima meter dari pinggir Kali Suembak, bersama anak dan istrinya.

    Malam hari, air menyapu rumah dengan segala isi. Tampak batu-batu besar dan batang kayu berserakan di sini. Meski rumah dan ternak hancur, mereka sekeluarga selamat.

    Tak jauh dari rumah Yance, tampak pemukiman warga dari Sulawesi. Rumah-rumah juga tergenang lumpur dan sebagian tersapu air.

    Warga tampak sibuk memperbaiki saluran air di sekitar rumah dan memperbaiki bagian rumah yang rusak.

    Menurut Yance, tumpukan batu dan kayu membuat air tidak lagi berjalan di jalurnya.

    “Biasa air banjir turun di sini, ini hantam di tengah-tengah, jadi turun ke rumah sini.”

    Penebangan pohon dan pembukaan kebun di bibir kali diduga jadi salah satu penyebab banjir bandang dengan membawa material batu dan kayu.

    Yance berharap, pembukaan kebun di hulu segera dihentikan. Kali pun, katanya, dibuatkan bronjong hingga memperkuat daerah pinggi sungai.

    “Ini sudah dari 2007, ada musibah. Kita minta kali dipasang bronjong tapi belum dikabulkan sampe sekarang. Musibah ini terjadi lagi.”

    Baca juga : Bom Waktu dan Anak-anak yang Meregang Nyawa

    Kali Kemiri?

    Di Jalan Sosial Kelompok Karang Taruna, Mama Kindena Kogoya, hanya berdiri menatap rumahnya yang hancur. Rumah-rumah sekitar juga alami hal serupa. Bongkahan batu dan batang kayu memenuhi lokasi ini.

    Mama Kindena bercerita, longsor sekitar pukul 7.00 malam. Air bersama kayu dan batu seperti terbang dari ketinggian.

    “Di dalam rumah, masuk semua hancur. Babi kandang semua air bawa. Tidak ada satupun ada di rumah. Manusia lagi korban. Saya punya lokasi ini, ada meninggal nene satu, anak tiga. Empat. Yang luka banyak. Ada dua belum ketemu,” katanya.

    Selain rumah hancur, ternak seperti bebek, ayam, babi dan ikan ikut hayut. Tampak juga kios tempat mama berjualan sudah tertimbun material batu dan pasir.

    Air yang masuk ke sini, dari Kali Kemiri. Kali Kemiri, terletak di ketinggian menumpahkan isi ke lokasi ini.

    Air sudah berhenti mengalir tetapi bongkahan batu menyebabkan muncul daerah aliran sungai baru.

    Rumah-rumah tampak kosong walau masih ada sebagian warga berusaha membersihkan rumah, meski tampak sia-sia.

    Tumpukan material lumpur sangat tebal, ditambah kemungkinan hujan akan turun lagi. Sebagian warga mengungsi ke lokai-lokasi terdekat.

    Tidak jauh dari Mama Kendina, tepat di samping Gereja Zaiturn Bukit Cyclop, air dari Kali Kemiri, juga membentuk sungai baru.

    Air mengalir deras dan menembus hingga ke kompleks Yonif 751/VJS. Dari kompleks Yonif 751/VJS, air ini lanjut mengalir ke Jalan Raya Sentani.

    Jalan macet total. Endapan lumpur memenuhi jalan, membenam sekitar Yonif maupun pertokoan di seberang.

    Beberapa eskavator membantu menyingkirkan lumpur agar bisa dilalui kendaraan. Lumpur ditumpuk di pinggiran sampai melewati tinggi orang dewasa.

    Petugas baik tentara, polisi maupun pegawai Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tampak berpatroli dari satu lokasi ke lokasi lain.

    Mereka juga ikut membantu mengatur jalan yang macet dan licin. Sementara ambulans lalu lalang membawa korban.

    Warga tumpah di jalanan. Sebagian memilih berjalan kaki. Ada yang pergi mengungsi, ada juga berusaha menolong keluarga yang terkena musibah, atau sekadar menyaksikan banjir.

    Di daerah datar terutama sepanjang pinggiran Jalan Raya Sentani, lumpur masuk ke rumah, mengubur mobil, motor dan semua barang. Warga sibuk menyelamatkan barang-barang yang tersisa.

    Satu wilayah rusak parah di sekitar Jalan Raya Sentani adalah taman kanak-kanak, SD dan SMP Kristen Baik. Lokasi sekolah ini lebih rendah dari jalan raya. Tepat di sampingnya, mengalir kali kecil.

    Malam hari, air masuk ke sekolah ini hingga mencapai leher orang dewasa. Air masuk dan menghantam pagar sekolah sampai roboh.

    Gereja, ruang kelas, perpustakaan, laboratorium semua tergenang. Buku-buku, peralatan musik dan lain-lain, tak sempat diselamatkan.

    Kristomus Enok, guru SD Sentani, malam itu ada di lokasi sekolah. Air masuk dari atas maupun dari kali, di samping kompleks sekolah.

    “Dari pukul 11.00-2.00 subuh, air tetap posisi di leher. Rasanya dingin sekali,” kata Kristomus.

    Sejak pagi hingga sore, Kristomus, bersama guru, jemaat, kepala sekolah dan murid terus membersikan lokasi sekolah ini.

    Pendeta Sumiran, Ketua Yayasan Pelayanan Irian Jaya yang membawahi sekolah ini mengatakan, peralatan dan fasilitas sekolah akan didata hingga bisa pengadaan lagi.

    Sekolah ini ada 500 siswa. Kemungkinan, katanya, sekolah libur sampai tiga hari ke depan guna menormalkan kondisi.

    Sumiran berharap, pemerintah membantu perbaikan fasilitas pendidikan dan tempat ibadah yang rusak.

    [penulis adalah kontributor Mongabay Indonesia di Jayapura]

    Artikel “Saya Kembali, Banjir Su Hantam-hantam di Kaki,” kata Martina” merupakan konten kolaborasi dengan Mongabay Indonesia. Konten serupa bisa dilihat di sini

    Kotahujan News & Story

    Kotahujan News & Story

    Related Posts

    63 Persen Kekerasan Berbasis Gender Terjadi di Tengah Pandemi

    by Kotahujan News & Story
    10 Februari 2021
    0

    Gambar oleh Free-Photos dari Pixabay Penulis : Dony P. Herwanto Konsultan Isu Gender, Tunggal Pawestri mengatakan,...

    Ini Cara Kita Memuliakan Penyintas Bencana

    by Kotahujan News & Story
    23 Januari 2021
    0

    Sejumlah perempuan tengah memilah pakaian untuk penyintas bencana. Sumber Foto : Facebook Bayu Gawtama | Sekolah Relawan Penulis :...

    Saling Bantu untuk Gempa Majene

    by Kotahujan News & Story
    16 Januari 2021
    0

    Suasana di salah satu tenda pengungsiang di Majene. Foto : Bayu Gawtama / Sekolah Relawan Penulis : Dony P....

    Next Post
    Ilustrasi. Foto karya Ismayanti. Karya-karya fotonya bisa dijumpai di https://instagram.com/ismaimoey?utm_source=ig_profile_share&igshid=1218cxzla2l53

    Detak Waktu Terhenti di Warung Kopi

    Suasana nan indah di Pulau Papan Kepulauan Togean. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

    Kisah Muram Coral Triangle

    Aneka tanaman hias dan bunga berjejer di dinding lorong masuk Kampung Glintung. Eko Widianto/ Mongabay Indonesia

    Belajarlah Sampai ke Kampung Glintung

    Discussion about this post

    Story Populer

    • Pembacaan Proklamasi kemerdekaan RI oleh Sukarno di Pegangsaan. Sumber foto: Wikipedia

      Proklamasi, Kenapa Pindah dari Ikada ke Pegangsaan?

      0 shares
      Share 0 Tweet 0
    • Coretan-coretan Sukarno pada Teks Proklamasi itu

      0 shares
      Share 0 Tweet 0
    • Banjir di Jantung Kalimantan

      0 shares
      Share 0 Tweet 0
    • Seni Tradisi dan Adaptasi Semasa Pandemi

      0 shares
      Share 0 Tweet 0
    • Amirah Telah Pergi Selamanya

      0 shares
      Share 0 Tweet 0
    • Membincang Hegemoni dalam Reformasi Dikorupsi Bersama Peramu

      0 shares
      Share 0 Tweet 0
    • Seni dan Virtual, Antara Eksperimen dan Eksplorasi

      0 shares
      Share 0 Tweet 0
    # # #
    SeluangID

    Kami ingin menyajikan berita melalui cerita. Mimpi sederhana kami: mengisahkan kebenaran - walau itu kecil - ke banyak orang. Karena Dunia Butuh Cerita.

    • Amatan & Opini
    • Art
    • Catatan Redaksi
    • Kota Hujan
    • Landscape
    • Obituari
    • Our Story
    • Review

    Follow Us

    We’d like to hear from you!

    Hubungi Kami di : [email protected]

    Ikramina Residence Blok E No 1 RT 004/007 Desa Bojong, Kecamatan Kemang Kabupaten Bogor Jawa Barat, 16310

    • About Seluang
    • Beranda
    • Pedoman Media Siber

    © 2021 Design by Seluang Institute

    • Landscape
    • Our Story
    • Art
    • Amatan & Opini
    No Result
    View All Result

    Welcome Back!

    Login to your account below

    Forgotten Password?

    Create New Account!

    Fill the forms below to register

    All fields are required. Log In

    Retrieve your password

    Please enter your username or email address to reset your password.

    Log In