
Penulis : Dony P. Herwanto
Menjadi seorang yang langkah dan geraknya diawasi tentu bukanlah hal yang menyenangkan. Paling tidak, itulah yang saya alami saat sekarang. Saya mengisolasi diri sejak Wali Kota Bogor, Bima Arya Sugiarto dinyatakan positif Covid-19. Ini pun saya lakukan untuk menghindari diskriminasi.
Saya adalah satu dari ratusan warga Kabupaten Bogor yang kini menyandang status Orang Dalam Pemantauan (ODP). Oh ya, virus ini memiliki beberapa jenjang sebelum pengidapnya dinyatakan positif Corona atau Covid-19.
Ironisnya, masyarakat pada umumnya tidak pernah paham akan tahapan tersebut. Saat mereka mendengar salah satu orang dilingkungannya menyandang status ODP, secara otomatis stigmanya adalah positif Covid-19.
Menjaga jarak, bahkan mengasingkannya. Itulah efek domino dari ketidaktahuan masyarakat hari ini.
Tak mudah memang memberikan pemahamn tersebut di tengah keresahan yang kian meluas dengan mudahnya terinfeksi virus tersebut, namun di sisi lain masyarakat harus tetap di edukasi tentang tahapan itu sehingga tak berdampak buruk bagi penyandang ODP, seperti halnya saya sendiri yang dinyatakan ODP oleh Tim Dinas Kesehatan Kota Bogor.
Tepat 20 Maret 2020, Bima Arya mengumumkan pada khalayak terkait statusnya melalui saluran media sosial.
Empat hari sebelum Bima Arya mengumumkan status, tanggal 16 Maret 2020, saya dan beberapa rekan media mendatangi rumahnya untuk konferensi pers.
Saat itu, Bima Arya sudah dinyatakan ODP sejak lawatan kerja ke Turki dan Azerbaijan. Untuk bertemu Bima Arya, semua wartawan diwajibkan cuci tangan dan menggunakan masker. Protokol yang bagi saya sudah cukup aman.
Tepat pukul 17.55 wib, Bima Arya berserta rombongan tiba di rumah pribadinya di Baranangsiang Indah, Kota Bogor.
Hujan deras menyambut kedatangan orang nomor 1 di Kota Bogor yang berstatus ODP. Tentunya saya sudah waspada.
Kami melakukan wawancara langsung dengan jarak sekira 1 meter, bahkan lebih. Semua berjalan lancar. Terlihat normal dan sesuai protokol.
Seperti tidak ada masalah yang berarti. Saya kembali ke kantor dengan perasaan yang biasa saja. Seolah usai melakukan peliputan dengan orang yang tidak beresiko.
Petaka datang tiga hari kemudian seusai Bima Arya diyakini terpapar. Ketakutan dan kegelisahan kian kuat di hati saya, serta kawan-kawan jurnalis yang malam itu mengikuti pertemuan dengan Bima Arya.
Jika Bima Arya positif Covid-19, maka kami otomatis berstatus ODP yang harus mengarantina mandiri selama 14 hari.
Saya belum berani membayangkan apa yang selanjutnya bakal terjadi kepada saya, anak saya, istri saya. Saya hanya bisa memejamkan mata sambil menarik nafas sangat dalam.
Dan kekhawatiran saya pun terjadi. Saya dan sejumlah jurnalis yang pada malam itu berada di rumah Bima Arya disatukan dalam WA grup oleh tim Dinas Kesehatan Kota Bogor. Grup itu dibuat untuk memantau rutinitas kami setiap hari.
Sejak saat itu, saya merasa tidak nyaman. Sebelumnya, saya tak pernah merasakan rasa takut, tepatnya khawatir saat dinyatakan sebagai ODP.
Saya tak ingin membawa virus di rumah saat bermain dengan anak. Saya tidak ingin menjadi seorang ayah yang jahat. Tak ingin.
Saat itu, saya ingin marah dan berontak, terutama ke tempat di mana saya bekerja. Seandainya waktu itu saya menolak perintah atasan, tentu saya tidak akan berstatus ODP.
Saya tentu akan lebih leluasa bermain dengan anak dan memiliki waktu istimewa berdua bersama istri tanpa rasa khawatir membawa virus yang hingga saat ini belum ditemukan obatnya.
Tapi semua sudah terlambat. Ibarat nasi sudah menjadi bubur. Sekarang, tinggal bagaimana cara membuat agar bubur itu nikmat dimakan.
Sayangnya, di saat seperti ini, di saat kami harus banyak mendapatkan dukungan, stigma dan diskriminasi dari lingkungan mulai terasa.
Status ODP yang kami sadang dengan begitu cepat membuat kami dijauhkan dari lingkungan sosial kami.
Tak semua memang. Tapi dari yang sedikit itulah perlakuan diskriminasi tetap tidak dibenarkan.
Minimnya pengetahuan masyarakatlah yang menjadikan orang-orang seperti kami ini kian terpuruk, lemah. Padahal, belum tentu kami ini dinyatakan terpapar virus mungil itu.
Belum lagi masa karantina diri yang membuat saya kian tertekan, sebab kebutuhan pokok terus berjalan, susu anak-anak yang harus tetap tersedia, sementara langkah kaki terpenjara sejenak.
Kami ODP, bukan orang yang perlu dijauhi. Kami pun tak ingin berada di situasi ini. Namun tugas dan tanggung jawab kami mengharuskan kami bergelut dengan orang-orang yang mungkin terpapar lebih dulu.
Kami kehilangan kepercayaan diri, sempat drop ketika kanan kiri kami menatap sinis, tapi kami yakin kami ini baik-baik saja.
*Ditulis berdasarkan pengakuan dan sudah dengan ijin pemilik cerita
Discussion about this post