Saat empat ruang kelas sekolah kami ambruk terkena terjangan air bah sungai puraseda, kami baru selesai mengaji di mushala
Artikel Dony P. Herwanto
Saya berlari ke rumah bibi. Mendengar suara seperti gemuruh yang jaraknya tak begitu jauh. Lalu, orang-orang berteriak kalau sekolahan ambruk. Bibi tak mengijinkan saya untuk keluar. Di luar masih hujan dan gelap. Bibi lantas mengambilkan payung untuk paman yang ingin memastikan kebenaran kabar itu.
Saya mengintip dari jendela yang sedikit terbuka. Hanya remang cahaya dari lampu senter yang terlihat di seberang Sungai Puraseda.
Di luar ruang kelas, langit mendung. Angin bertiup tidak seperti biasanya. Pak Atori, guru Agama kami, yang juga Kepala SDN Kampung Tengah, terlihat tenang duduk di meja depan dekat papan tulis. Sesekali, dia melihat keluar, memastikan bahwa cuaca baik-baik saja.
Tidak sedikit pun dia bicara. Dia melangkah meninggalkan tempat duduknya. Dia menuju jendela yang terbuka. “Anginnya dingin sekali,” kata Pak Atori. Lantas dia menutup jendela. Saya menatap wajah Pak Atori. Ekspresinya lain dari biasanya.
“Kita sepertinya harus pulang cepat anak-anak. Sepertinya mau hujan deras,” ucap Pak Atori sambil memasukkan beberapa buku pelajaran ke dalam tasnya. Kami pun berteriak kegirangan. Kami lupa, jika Senin, 2 Oktober 2017, akan ujian tengah semester.
Saya memasukkan pensil dan buku tulis ke dalam tas merah muda. Seperti biasa, saya memimpin doa bersama. Pak Atori membuka pintu kelas. Berdiri tegap menunggu kami satu per satu mencium tangannya. “Muna, nanti kalau hujan deras, kamu tidak usah pergi mengaji ya,” kata Pak Atori mengingatkan saya. Saya mengangguk.
Di luar makin gelap. Angin bertiup makin kencang. Saya dan Fijri – teman satu kelas – bergegas meninggalkan kelas. Berlari bersama teman-teman menjauhi sekolahan yang berpagar sungai dan berdinding tebing. Pak Atori menatap kami. Dia memastikan punggung kami tak terlihat olehnya.
Saya dan Fijri terus berlari meninggalkan sekolah. Setelah itu, saya tak tahu apa yang dilakukan Pak Atori di sekolah. Sebagai Kepala Sekolah, tentu dia menjadi orang terakhir yang akan menutup pagar.
***
SDN Kampung Tengah, Desa Puraseda, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor berdiri di bibir sungai Puraseda dan sebuah bukit yang mulai gundul. Sebelum menjadi sekolah negeri, pada masa Presiden Soeharto, sekira tahun 1970-an sekolah ini bernama sekolah inpres (instruksi presiden). Konsep sekolah yang dijadikan crash program, sama seperti program massal lainnya.
Pada saat yang bersamaan, jumlah anak-anak usia sekolah dasar di Desa Puraseda meningkat. Pemerintah pusat, melalui instruksi presiden meluncurkan program pembangunan sekolah dasar secara besar-besaran.
Semuanya harus dilakukan dalam waktu singkat. Cepat. Pada akhirnya, warga Desa Puraseda bersepakat untuk membangun sekolah di desanya. Pemilihan tempat pun dipilih yang tidak jauh dari rumah warga. Maka dipilihlah lokasi yang kini menjadi SDN Kampung Tengah.
“Dulu, sungai tidak di sini (sekolah), tapi di sana,” cerita Atori sambil menunjuk ke areal persawahan dan perkampungan warga yang dihuni sekira 44 kepala keluarga itu. “Entah kenapa sekarang aliran sungai bisa lewat depan sekolah,” lanjutnya.
Menurut beberapa warga, tempat di mana sekolah itu berdiri dahulunya memang aliran sungai Puraseda. Karena mengering, warga berinisiatif membuat lahan untuk bercocok tanam. Sisanya, untuk membangun sekolah dan beberapa tempat tinggal.
***
Sabtu, 29 September 2017, sekira pukul 15.30 wib, hujan mulai turun. Deras dan sangat deras. Atori dan Heriyanto, penjaga sekolah masih berada di ruang kepala sekolah. Atori baru selesai solat asar. Heriyanto mulai mengaduk secangkir kopi liong. Hujan makin deras. Atori melihat ada beberapa bagian kelas yang bocor. Dia meminta Heriyanto untuk mengambil ember, menadah air yang jatuh.
Atori baru saja menyeruput secangkir kopi untuk kali pertama. Gemuruh seperti ombak besar terdengar samar dari kejauhan.
“Ada apa pak?” tanya Heriyanto.
“Kamu dengar suara gemuruh?” ucap Atori.
Heriyanto diam sejenak. Memasang telinga lebih tajam. Dia berkonsentrasi untuk mendengar suara itu. Pintu ruang kepala sekolah yang tadinya tertutup, dia buka untuk memastikan arah sumber suaranya. Sumber suara dari arah utara, dari hulu sungai Puraseda.
Halaman sekolah mulai banjir. Air sungai meluap. Atori dan Heriyanto tetap bertahan di sekolah. Dari ruang kepala sekolah itulah, dua lelaki yang memilih bertahan menjaga sekolah melihat air mulai meninggi.
Dari belakang sekolah, tanah longsor. Jalan yang hanya muat satu kendaraan roda empat itu makin menyempit karena longsor. Atori makin khawatir. Bangunan sekolah ini tidak dipersiapkan untuk menahan bencana, baik longsor maupun banjir.
Atori dan Heriyanto hanya bisa berdoa. Mereka pasrah pada kejadian yang akan menimpa sekolah dan diri mereka sendiri. Buru-buru, Heriyanto mengambil gawainya yang tergeletak tak jauh dari tempatnya berdiri.
***
Saya berlari keluar mushala begitu mendengar suara gemuruh yang aneh. Sejak bersekolah di SDN Kampung Tengah, baru sekali ini mendengar gemuruh. Fijri mengikuti saya dari belakang. Dia juga ketakutan. Kami berdua bergegas menerobos hujan. Saya berlari ke rumah bibi. Fijri memilih pulang ke rumah.
Orang-orang dewasa yang sudah berdiri di bibir sungai berteriak bahwa sekolah kami dan dua rumah warga rubuh diterjang banjir bandang. Saya ingin melihat, memastikan teriakan orang-orang itu. tapi bibi melarang saya, katanya “Nggak usah ikut-ikut ke sana. Ini sudah malam. Lagian di luar hujan deras,”.
Memang selama sepekan ini, Desa Puraseda, Leuwiliang Kabupaten Bogor kerap turun hujan. Jika sudah seperti ini, maka ancaman banjir tak bisa dihindari.
Kalau sudah terjadi banjir, satu-satunya akses jalan menuju jalan raya pasti terputus. Dan benar saja, satu-satunya jembatan yang mampu dilintasi kendaraan roda empat pun ikut terbawa arus sungai Puraseda. “Bibi, Muna takut,” ucap saya.
Esok paginya, Fijri mengajak saya melihat kondisi sekolah. Kami hanya bisa melihat dari seberang. Kami tak bisa mendekat ke sekolah, karena satu-satunya jembatan menjadi korban banjir bandang sabtu malam, kemarin.
Ruang kelas 1 sampai kelas 3 rubuh. Gapura dan pagar sekolah juga hilang. Sekolah kami benar-benar berpagar sungai kali ini.
Dari seberang, saya melihat Pak Atori, Pak Heriyanto dan beberapa warga sedang membersihkan puing-puing di bekas kelas 1 sampai kelas 3. Bahkan banyak meja dan kursi belajar ikut hanyut terbawa arus air.
Ruang guru yang menyimpan semua data siswa dan alat elektronik juga tak luput terkena dampaknya. Atap baja ringan tak cukup kuat menahan deras aliran sungai Puraseda.
Ekspresi wajah Pak Atori menunjukkan kesedihan yang sangat. Dengan mengenakan seragam batik KORPRI dia sesekali merapikan letak pecinya. Saya berteriak memanggil Pak Atori. Dia hanya melambaikan tangan dan memberi tanda agar saya dan Fijri kembali pulang.
Kami mengangguk. Kami tak mungkin melawan atau menolak perintahnya. Pak Atori adalah kepala sekolah yang baik dan ramah. Dia juga guru agama kami yang sabar. Kami meninggalkan tepi sungai dengan mata berkaca-kaca.
Sekolah kami hancur.
Di mana nanti kami akan sekolah?
Pertanyaan itu yang terus menghantui saya. Padahal, dua hari lagi, Senin 2 Oktober 2017, kami akan mengikuti ujian tengah semester. Di rumah, air yang semula setinggi 60 centimeter berangsur surut. Saya membantu ibu membersihkan rumah. Mengepel lantai yang kotor karena lumpur.
Saya tak berani menatap wajah ibu. Dia juga baru kehilangan matapencaharianya. Satu-satunya warung yang berdiri di luar pagar sekolah ikut menjadi korban banjir bandang.
***
“Saya ingin merekam kejadian itu,” ucap Heriyanto. Dia satu-satunya orang – selain Atori – yang berada sangat dekat dengan lokasi kejadian. Dia melihat bagaimana satu per satu bangunan sekolah, mulai dari pintu gerbang, pagar sekolah, ruang belajar kelas 1, kelas 2 dan kelas 3 rubuh terseret derasnya aliran sungai Puraseda.
Dia juga melihat genteng yang menempel pada rangka atap baja ringan dengan mudahnya berjatuhan seperti daun kering terkena angin dan menimpa semua barang yang berada di bawahnya. Heriyanto hanya bisa istighfar. Gawai masih di mode video. Dia tak kuasa menahan kesedihan. “Saya nggak kuat melihatnya,” kenang Heriyanto.
***
Minggu, 1 Oktober 2017, sekira pukul 16.00 wib, langit di Desa Puraseda kembali hitam. Gelap. Sepertinya, hujan akan kembali datang. Atori memutuskan untuk pulang sebentar, sebelum hujan menjadi deras. Dia memacu sepeda motornya lebih cepat, meninggalkan Heriyanto dan beberapa warga di sekolah.
Sungai Puraseda memang belum surut benar. Sisa sekira 30 centimeter dari tubir halaman sekolah yang sudah hilang separuh. Benar saja, hujan turun lebih deras dari kemarin. Beruntung, Atori sudah sampai di sekolah sebelum bencana yang kedua datang. “Caah dengdeng (air bah) lebih besar dari kemarin,” kata Atori kepada Heriyanto yang masih menggenggam gawainya.
Atori, Heriyanto dan beberapa warga yang berada di lokasi kembali bertakbir, istighfar dan berdoa agar tak ada bencana yang datang lagi. Rupanya, doa mereka kalah cepat dengan caah dengdeng sungai Puraseda. Sekali lagi, Heriyanto merekam bagaimana ruang belajar kelas 4 terseret air. Suara patahan tembok yang dibangun tidak serius itu pun terdengar. Patahan rangka atap baja ringan pun tambah mencekam suasana sore menjelang malam itu.
Saya berniat berlari ke rumah Fijri. Tapi, ibu melarang saya untuk keluar rumah. Padahal belum juga malam. Tak lama, ada suara pintu diketuk orang dari luar. Saya mendengar suara Fijri. “Muna, ayo lihat sekolah kita,” ajak Fijri pada saya. Saya melihat ke arah ibu. “Ya sudah sana keluar. Tapi hati-hati. Jangan dekat-dekat dengan sungai,” perintah ibu. Lalu saya dan Fijri bergegas meninggalkan rumah yang mulai tergenang.
Dari seberang sekolah, saya melihat Pak Heriyanto memegang gawai dan diarahkan ke ruang kelas 4 yang sudah rubuh. Saya melihat Pak Atori beberapakali menggeleng-gelengkan kepala. Beberapa warga yang ada juga terlihat panik. Sekali lagi, saat Pak Atori melihat kami, dia menyuruh kami pulang. “Pulang saja, bahaya,” teriak Pak Atori. Usai berteriak, jembatan bambu yang pada Minggu pagi sempat dibuat kembali hanyut.
“Kami sudah tak punya sekolah lagi,”
***
Saya datang lebih pagi ke sekolah. Diantar ayah menyeberangi sungai. Jembatan bambu sudah beberapakali hanyut. Warga mulai malas memasangnya kembali. Di sekolah, Pak Heriyanto dan beberapa siswa kelas 6 sudah berada di lapangan sekolah yang masih tersisa. “Nunggu siapa pak?” tanya saya pada Pak Heriyanto, lelaki Jawa Tengah yang sudah fasih berbahasa Sunda itu. “Pak Atori,” jawabnya singkat.
Tanpa meletakkan tas terlebih dahulu, Pak Atori langsung meminta kami yang sudah berkumpul di halaman sekolah untuk meninggalkan sekolah. “Kita pinjam sekolah lain dulu ya. Yang penting UTS tetap berlangsung. Soal sekolah ini, kalian nggak usah pikirkan,” pesan Pak Atori. Dia lalu memanggil Pak Heriyanto. Entah apa yang mereka bicarakan.
Pak Atori terlihat bergegas menuju ke samping sekolah. Menuju sepeda motor yang diparkir tanpa arah yang jelas. Dia meninggalkan sekolah. Dia meninggalkan kami.
Fijri tiba. Dia tampak bingung melihat sekolah yang rubuh dan kacau. “Muna, kita ujian di mana?” tanya Fijri. “Di SDN Puraseda,” jawab saya. “Teman-teman dan adik tingkat bagaimana,?” burunya. Saya hanya menggelengkan kepala. Tiba-tiba Pak Heriyanto menepuk pundak saya.
Dia meminta kami, murid-murid kelas 5 untuk segera ke SDN Puraseda yang jika ditempuh dengan berjalan kaki, akan memakan waktu sekira 20 menit. Dia memastikan semua siswa segera meninggalkan sekolah untuk mengikuti ujian di sekolah yang lain.
***
Fijri menangis di sudut ruang kelas 5 yang beberapa asbesnya hancur. “Tadi ada anak yang ngejek sekolah kita. Katanya, sekolah sudah jelek kok masih dipakai” jelasnya. Saya mencoba menenangkan Fijri, “cuek saja. Yang penting kita masih bisa sekolah,”. Fijri menyeka airmatanya. Dia satu-satunya murid kelas 5 SDN Kampung Tengah yang ingin menjadi ustazah. Kalau saya, ingin menjadi polisi wanita.
***
“Murid-murid kelas 5 dan 6 berkumpul di lapangan, kita gotong-royong membantu warga membersihkan sekolah,” kata Pak Atori melalui pelantang sekolah yang fals. Kami yang mendengar suara Pak Atori langsung bergegas mengambil sapu, ember dan alat pel. “Murid-murid perempuan tugasnya membersihkan kelas,” perintah Pak Atori. “Yang laki-laki, ikut membantu mengangkat puing-puingnya. Tapi yang ringan saja. Dan tetap hati-hati,” sambungnya.
Hari itu, menjadi hari yang paling melelahkan bagi kami. Tapi kami senang. Minimal kami ikut menjadi bagian dari anak-anak yang pantang menyerah untuk mendapatkan pendidikan.
Di ruang kelas yang mulai sepi, saya melihat Fijri menulis sesuatu di papan tulis: Kami Ingin Tetap Sekolah.
***
Melihat kejadian itu, sejumlah orangtua murid di SDN Kampung Tengah mengurus kepindahan sekolah anak-anaknya. Dari total semula 220 anak, kini tersisa 117 anak. Sementara, siswa kelas 1 sampai kelas 4 menempati ruang belajar di salah satu pondok pesantren yang tidak jauh dari sekolah. Kelas 5 dan 6, tetap belajar di bangunan yang masih laik.
***
Sudah sebulan lebih, paska kejadian itu, sekolah kami tak kunjung diperbaiki. Orang-orang datang dan pergi silih berganti membawa sejumlah bantuan. Saat upacara bendera, Pak Atori pernah berkata bahwa sekolah kami kemungkinan besar akan pindah tempat. Tapi kapan waktunya? Itu yang tidak Pak Atori utarakan.
Sekolah kami saat ini memang berpagar sungai dan berdinding tebing. Setiap waktu, alarm tanda bahaya harus siap menyala. Jika hujan deras dan cuaca tidak memungkinkan, guru-guru menyuruh kami pulang. Saya antara sedih dan senang.
***
Di teras ruang kepala sekolah, Pak Atori menghisap rokoknya. Pak Heriyanto masih mengaduk dua cangkir kopi liong untuk tamu yang salah satunya, katanya calon Bupati Bogor. Saya dan Fijri memilih pulang. Tidak ingin melihat calon bupati itu foto berlatar belakang sekolah kami yang rusak.
Dony P. Herwanto, documentary maker, peminum kopi setia dan pembaca buku. Menulis untuk menjaga kewarasan dan ingatan.
Discussion about this post