Seluang.id
  • KotaHujan
  • Editor’s Pick
  • Populer
  • About Seluang
  • Login
No Result
View All Result
  • Landscape
  • Our Story
  • Art
  • Amatan & Opini
SeluangID
  • KotaHujan
  • Editor’s Pick
  • Populer
  • About Seluang
No Result
View All Result
SeluangID
No Result
View All Result

Seni dan Virtual, Antara Eksperimen dan Eksplorasi

SeluangID by SeluangID
23 Oktober 2020
in Our Story
Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsApp
Sumber foto : Dian Putri R.

Penulis : Dian Putri R.

Pagi sepi dan mendung di Parung Bingung, Depok, Jawa Barat, tak membuat Hanafi menutup Galeri Kertas miliknya. Pintu kaca sengaja ia buka lebar, mempersilakan pengunjung menikmati 29 karya lukis Irawan Karseno di ruang pamer.

Satu kemewahan yang tak lagi dapat dinikmati warga Jakarta, Surabaya, dan kota berzona merah Covid-19 lainnya. 

Perupa kawakan asal Yogyakarta ini mengerti kejenuhan menatap sajian seni secara virtual yang gandrung sejak pandemi mewabah.

Karenanya, ia berinisiatif menawarkan alternatif ruang seni secara langsung bagi warga melalui serangkaian agenda pameran, residensi seniman lintas disiplin, dan edukasi seni rupa di galerinya.

“Seni rupa menawar dulu dengan offline, ada momen yang hilang saat kita melihat seni secara virtual. Pengunjung menyiapkan baju khusus untuk pergi ke pameran, hal itu bagian dari apresiasi tersendiri pada karya seni. Kalau virtual paling di kamar, lihat karya seni sambil pakai sarung,” kata Hanafi, saat ditemui di Galeri Kertas, Jumat, 9 Oktober.

Meski Depok tak masuk kawasan berzona merah, Hanafi tetap menerapkan protokol kesehatan di galerinya.

Sebelum datang, pengunjung diminta mengisi form registrasi via daring agar jumlahnya dapat diprediksi.

Saat berkunjung, di muka galeri tersedia pencuci tangan dan lingkaran putih pembatas jarak antarpengunjung.

Di saat banyak galeri seni tutup sementara, ia bahkan tak ragu menghelat pameran tunggal untuk merayakan kiprahnya sebagai perupa dalam pameran 60 Tahun dalam Studio, Juli lalu. 

Berpameran secara langsung adalah kemewahan yang Hanafi syukuri saat ini.

Ia menyadari, dalam kondisi pandemi tak semua seniman bisa tetap menyapa publik dari dekat.

“Saya diuntungkan karena lokasi. Di tengah kondisi pandemi saya menafsir keprihatinan hidup melalui karya, saya menggunakan perca, kanvas lama, dan bahan-bahan baku yang masih bisa difungsikan. Itu membuat saya merasa beruntung,” lanjut perupa peraih Top 10 Philip Moris Award ini.

Dengan membuka galeri, ia mengaku tak antipati dengan teknologi dan seni virtual yang saat ini ramai digunakan banyak seniman.

Bersama kurator dan tim Galeri Kertas, Hanafi tengah memikirkan konsep karya dan edukasi seni rupa virtual di pameran selanjutnya.

“Dari awal sumber daya tidak disiapkan ke virtual, tapi kalau jadi keharusan maka tidak sulit mencari ahli-ahli teknologi virtual. Sedang mencari gagasan yang menyenangkan dan mencari pola virtual ke depannya,” tutupnya.

Adaptasi ke format virtual tak terelakkan bagi setiap seniman untuk menyiasati laku artistik dan dukungan ekonomi selama pandemi.

Data Koalisi Seni per 21 April merangkum 234 laporan acara seni yang batal atau ditunda seperti, 30 proses produksi, rilis, dan festival film, 113 konser, tur, dan festival musik, 2 acara sastra, 33 pameran dan museum seni rupa, 10 pertunjukan tari, 46 pentas teater, pantomime, wayang, dan boneka.

Angka itu bahkan tak cukup mewakili seluruh acara seni yang batal dari Sabang sampai Merauke sepanjang pandemi.

Jika 1 acara seni melibatkan minimal 5 orang seniman, maka dengan angka 234 acara batal atau tertunda, ada ratusan bahkan ribuan seniman yang telah kehilangan mata pemasukan.

Sejak itu, virtual menjadi solusi untuk menciptakan ruang kreasi baru, menghidupkan acara seni yang sempat tertunda.

Kini, kantung seni budaya tengah berlomba untuk menarik perhatian publik di panggung virtual.

Selain Galeri Kertas Hanafi, dunia seni rupa turut diramaikan dengan inovasi pameran dan edukasi Museum MACAN.

Virtual sebagai medium dirancang untuk membangun ilusi kedekatan publik dan seniman, melalui gerakan #MuseumFromHome misalnya, Museum MACAN mengajak publik berpelesir ke museum tanpa keluar rumah, Arisan Karya menggerakkan empati publik untuk membeli karya perupa terdampak dengan konsep pelelangan, dan memperkaya wawasan dari pengajar seni rupa se-Indonesia lewat Educator Forum. 

Sementara di dunia seni pertunjukan, ada kemeriahan Musim Seni yang dihelat Komunitas Salihara.

Dengan mengusung tema Adapt and Play, Melati Suryodarmo, Jim Adhi Limas, Gema Swaratyagita, dan Achmad Krisgatha menyemarakkan panggung dan lecturer performance virtual melalui kanal Youtube Komunitas Salihara.

Rebecca Kezia, Manager Program Edukasi dan Gagasan Komunitas Salihara mengatakan, meski gedung pertunjukan tutup sejak 16 Maret namun melalui virtual, program tetap berjalan sambil memikirkan cara untuk mengurai masalah dan peluang kesenian semasa pandemi.

“Kami berupaya menciptakan program tanggap cepat untuk memberi insentif pada seniman pertunjukan yang terdampak, juga program-program bagus dan kritis bagi publik. Kami pun melakukan riset dan diskusi dengan mitra dalam maupun luar negeri,” ujarnya melalui surel, Kamis, 1 Oktober. 

Sebelumnya, publik telah dihibur dengan sajian Stay A(r)t Home melalui Drama Audio, Podcast Pemikiran Sastra, mengajak publik berdonasi dan menonton ulang pentas Bila Malam Bertambah Malam (Teater Mandiri, Jakarta, 2014), Mega-Mega (Prodi Seni Teater Institut Kesenian Jakarta, 2015), Madekur dan Tarkeni atawa Orkes Madun (Teater Boneka Cing Cing Mong, Solo, 2015), Pagi Bening (Padepokan Seni Madura, 2019), dan Holy Body (Anis Herlani, Bandung, 2019).

“Donasi memang belum terlalu banyak, tapi setidaknya melalui pemutaran ulang arsip, kami memberikan semacam screening rights sebagai insentif yang semoga bisa tetap menjaga produktivitas seniman terdampak,” imbuh Rebecca. 

Festival Seni Niscaya Daring
Tahun ini tak ada lagi arak-arakan seni di di jalan utama Yogyakarta. Atribut seni tradisi dan kontemporer semua migrasi ke virtual.

Berkat Youtube, Festival Kebudayaan Yogyakarta (FKY) berdamai dengan pandemi.

Paksi Raras Alit, Direktur FKY, tak menyangka semua konsep matangnya dimentahkan pandemi dalam sekejap.

Di tahun kedua ia menjabat, FKY untuk pertama kalinya digelar virtual setelah 31 tahun menjadi tontonan rakyat di ruas jalan.

“H-2 bulan kami akhirnya memutuskan untuk menggelar secara virtual. Tentu dengan banyak pertimbangan, di antaranya festival ini menggunakan dana pemerintah, jadi harus disalurkan untuk seniman utamanya membantu yang terdampak pandemi,” ujar Paksi, melalui pesan singkat, Senin, 6 Oktober. 

Tahun ini FKY melibatkan 33 seniman rupa dan 35 seniman pertunjukan. Mata penonton harus terbiasa melihat penari Reog Wayang berlenggok menggunakan face shield dan pemusik dengan masker kain.

Sementara sebelumnya, Paksi dan tim kepanitiaan berusaha keras mempelajari format live streaming Youtube.

“Setiap hari kami belajar untuk mengoperasikan Youtube, Bandwidth, dan resolusi kamera. Ke depannya kami belum tahu apakah FKY akan kembali online, tapi kami belajar banyak dari penyelenggaraan tahun ini.” pungkas Paksi.

Setali tiga uang dengan Paksi, Briliantika Tamimi dan Kelompok Pojok cepat mengubah konsep FDPS (Festival Drama Pendek SLTA) menjadi daring.

Dalam pelaksanaannya, festival tahunan ini menghadapi banyak kendala, mulai dari penurunan jumlah peserta dari 13 menjadi 6, matinya ekskul sekolah saat pandemi, dan antusiasme siswa yang kurang didukung orang tua.

“Ini bentuk dari tanggung jawab kami agar setidaknya ekskul teater di sekolah tetap exist, banyak kendala terutama bagi peserta di luar Jakarta. Tapi karena format daring ini juga kami melihat antusiasme yang besar dari teater SMA di Flores.” ujar Tamimi, melalui pesan singkat, Rabu, 8 Oktober. 

Tantangan dan Peluang Wacana Seni
Di tengah semarak praktik seni pertunjukan dan rupa di ruang virtual, seni di medan wacana pun memiliki dinamika tersendiri, melihat pandemi sebagai tantangan dan peluang untuk membuka dialektika dan gagasan lebih luas.

Saat pertemuan langsung belum memungkinkan, melalui format webinar, Konferensi Pertunjukan dan Teater Indonesia (PTN) untuk pertama kalinya diselenggarakan pada 10, 17, 23, dan 24 September.

Ruang yang mempertemukan lebih dari 26 seniman pertunjukan, peneliti, dan akademisi lintas disiplin dari berbagai provinsi di Indonesia ini berhasil menyedot perhatian sekitar 300 pelaku seni. 

Muhamad Abe, Wakil Direktur Konferensi PTN mengakui keterbatasan daring yakni kendala sinyal yang tidak merata namun di sisi lain, format ini membuat konferensi menjangkau peserta lebih luas.

Yang unik sepanjang konferensi berlangsung, penerjemah bahasa isyarat dari Bawayang Yogyakarta hadir untuk membuat pemaparan panelis dan pertunjukan aksesibel bagi teman-teman tuli.

Sehingga konferensi ini tak hanya mempertimbangkan jangkauan geografis, tapi juga kesetaraan akses pengetahuan.

“Saat ini kami mempertimbangkan untuk mempertahankan format daring sampai beberapa tahun ke depan. Selain karena pertimbangan situasi pandemi, juga karena faktor keterjangkauan dan keterlibatan (teman dengar dan tuli,red) dari luar Pulau Jawa,” ungkapnya, melalui pesan singkat, Rabu, 14 Oktober.

Selain jangkauan, gagasan yang dibawa para panelis dalam konferensi ini pun membahas seni pertunjukan dan teater dari sudut pandang yang luas seperti konteks sejarah, lokalitas di berbagai daerah, tradisi, dan menyerap perkembangan pengetahuan masyarakat.

Seni  dibahas mendalam dan spektrum, tak sekadar aspek estetika pertunjukan. Menurut Abe, hal ini menjadi wadah yang menjembatani gagasan praktisi, akademisi, dan institusi seni agar lebih progresif melihat perkembangan seni yang terus berkembang.

“Peran institusi akademis yang formal kami kira cukup penting dalam produksi dan distribusi pengetahuan dan di sisi lain “memaksa” institusi akademik formal untuk melihat perkembangan dari para praktisi,” kata Abe.

Harapan agar institusi seni lebih lentur membaca konteks perkembangan kesenian hari ini yang diutarakan Abe menjadi persoalan konkret di kampus seni, masalah ini makin runcing pada situasi pandemi.

Luna Kharisma, Dosen Jurusan Teater Institut Seni Indonesia, Solo, Jawa Tengah, mengamini hal ini.

“Yang ku kritisi adalah para pengajar gagap dalam menentukan metode, bahan, dan medium ajar. Sebenarnya bukan para pengajar aja, kampus atau institusi ini juga kewalahan dan tidak siap dalam menentukan langkah-langkah strategik KBM (Kegiatan Belajar Mengajar, red) dan Tugas Akhir,” ujarnya melalui pesan singkat, Selasa 6 Oktober.

Di masa pandemi, praktik teater seperti olah tubuh, rasa, dan penciptaan karya misalnya, kini bergantung pada teknologi.

Hal ini menurut Luna, membuat batas antara teater dan seni lainnya menjadi bias namun tak semua dosen mau beradaptasi dengan pemahaman teater yang dalam perkembangannya terus terbuka.

“Dari sini keliatan bahwa kebanyakan pengajar itu gak update sama perkembangan seni. Pertanyaan kita harus digeser, bukan lagi apakah ini teater atau ini film atau tari tapi lebih ke kapan ini jadi teater, kapan ini jadi film.  Sistem tanda apa yang hilang, dan apa yang bertambah. Dan satu lagi, kemungkinan apa yg bisa kita lakukan atas peristiwa dan pengalaman diri dalam pandemi ini,” tandasnya.

Sementara itu di ranah literasi, momentum pandemi memantik Ibed Surgana Yuga, Dramawan asal Bali untuk mengeksekusi gagasan lamanya, semangat menghidupkan regenerasi kepenulisan naskah pertunjukan melalui platform, Lelakon.

Berangkat dari keresahan atas minimnya jumlah lakon, penulis, ekosistem, dan tradisi menulis, Ibed yang aktif menggagas penerbitan literasi budaya pertunjukan Kalabuku di Yogyakarta mengajak Theater Movement, Indonesia Dramatic Reading Festival (IDRF), Kala Teater Makassar, dan Bandung Performing Arts Forum untuk menggarap Lelakon.

“Gagasan ini bisa dilakukan tanpa harus berkumpul secara fisik dengan teman-teman yang lain. Saya berharap ini menjadi warna lain di tengah pandemi, sehingga tidak melulu diisi dengan teater digital atau online (yang beberapa “cuma” memutar dokumentasi pertunjukan lawas), atau hanya dicekoki dengan berbagai webinar atau diskusi online,” papar Ibed, melalui pesan singkat, Kamis 1 Oktober.

Sejak diluncurkan ke publik pada 3 Agustus, Lelakon berhasil menjaring 178 naskah lakon dari 109 penulis (30 perempuan dan 79 laki-laki) di 19 provinsi di Indonesia.

19 di antaranya lakon monolog, 80 lakon pernah dipentaskan, 29 lakon pernah menjuarai atau nominasi sayembara.

Lakon-lakon terpilih akan diterbitkan dalam bentuk kompilasi buku, penulis mendapatkan pembagian dari margin penjualan.

Besarannya adalah 40% dari margin penjualan dibagi jumlah, lakon yang ada dalam buku tersebut. Katakanlah margin penjualan satu eksemplar buku Rp. 20.000, maka 40%-nya adalah Rp 8.000, dibagi 5 lakon dalam buku, maka satu penulis hanya mendapatkan Rp 1.600, dari penjualan 1 buku.

“Sungguh tak sebanding dengan jerih payah dalam menulis sebuah lakon yang bagus. Namun ini sebuah usaha di tengah keterbatasan, cara untuk menggerakkan literasi dengan seminimal mungkin tanpa mengabaikan hak ekonomi penulis,” tutup Ibed.

*Penulis adalah seorang pekerja seni dan jurnalis. Tinggal di Jakarta, Indonesia

Baca juga tulisan Dian Putri lainnya,

Tulisan pertama : Seni Tradisi dan Adaptasi Semasa Pandemi

Tulisan kedua : Teknologi dan Wajah Baru Seni Tradisi

Tulisan ketiga : Membayangkan Ekosistem Seni Saat dan Setelah Pandemi

SeluangID

SeluangID

Related Posts

Catatan dari Lokasi Banjir di Pamanukan

by SeluangID
11 Februari 2021
0

Banjir di Pamanukan. Foto: Bayu Gawtama / Sekolah Relawan Penulis : Bayu Gawtama Ini memang harus dituliskan agar masyarakat...

Chanee Kalaweit dan Kisah Pelestarian Satwa Liar

by SeluangID
22 Januari 2021
0

Chanee Kalaweit mendedikasikan hidupnya untuk kelestarian Owa. Sumber Foto : greeners.co Penulis : Linda Christanty Andaikata saya kembali ke...

Kado 2021 Jokowi untuk Masyarakat Adat

by SeluangID
9 Januari 2021
0

Acara penyerahan SK Pengelolaan Hutan Adat, Perhutanan Sosial dan TORA di Istana Negara, Kamis, 7 Januari 2021. Foto: BPMI...

Next Post

Pasar Sempulur dan Kisah-kisah Kecil Lainnya

Getar Piano itu Melebur

Tahun Tanpa Resolusi

Discussion about this post

Story Populer

  • Pembacaan Proklamasi kemerdekaan RI oleh Sukarno di Pegangsaan. Sumber foto: Wikipedia

    Proklamasi, Kenapa Pindah dari Ikada ke Pegangsaan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Coretan-coretan Sukarno pada Teks Proklamasi itu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Seni dan Virtual, Antara Eksperimen dan Eksplorasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Banjir di Jantung Kalimantan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ini Cara Kita Memuliakan Penyintas Bencana

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Telepon Nasution dan Sarwo Edhie Setelah Pranoto Dibebaskan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Teknologi dan Wajah Baru Seni Tradisi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
# # #
SeluangID

Kami ingin menyajikan berita melalui cerita. Mimpi sederhana kami: mengisahkan kebenaran - walau itu kecil - ke banyak orang. Karena Dunia Butuh Cerita.

  • Amatan & Opini
  • Art
  • Catatan Redaksi
  • Kota Hujan
  • Landscape
  • Obituari
  • Our Story
  • Review

Follow Us

We’d like to hear from you!

Hubungi Kami di : [email protected]

Ikramina Residence Blok E No 1 RT 004/007 Desa Bojong, Kecamatan Kemang Kabupaten Bogor Jawa Barat, 16310

  • About Seluang
  • Beranda
  • Pedoman Media Siber

© 2021 Design by Seluang Institute

  • Landscape
  • Our Story
  • Art
  • Amatan & Opini
No Result
View All Result

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In