
Setiap matahari tepat di atas kepala, Aida sudah berada di lokasi tambang batu di Desa Hilionaha, Kecamatan Telukdalam, Kabupaten Nias Selatan, Sumatra Utara. Aida masih 14 tahun. Masih sangat kecil untuk berada di lokasi tambang yang kerap memakan korban jiwa itu. Tapi Aida tak sendiri. Ada puluhan anak-anak seumuran Aida, bahkan ada yang di bawah Aida berada di lokasi tambang. Memang, semua tak seperti Aida.
Aida selalu berada di tambang batu selepas pulang sekolah. Jarak sekolah ke tambang batu sekira 5 kilometer. Aida selalu berjalan kaki sendiri. Ya, sendiri. Setiap hari. Bahkan ketika hari turun hujan, Aida tetap sendiri. Berjalan sejauh 5 kilometer dari sekolah. Jalan yang tak pernah ada turunan. Terus naik, naik dan terus naik. Tapi Aida tak pernah lelah. Cita-cita menjadi seorang dokter melawan semua rasa itu.
***
Pagi itu, Desa Hilionaha diselimuti kabut tipis. Rumah Aida terletak di tengah hutan. Di antara pohon karet dan kakao. Rumah Aida berdiri sendiri di sana. Di atas bukit. Aida bangun lebih pagi dari biasanya. Hari ini, Aida menghadapi ujian tengah semester. Aida sudah kelas IX. Aida anak ketiga dari 5 bersaudara. Ayah dan ibunya, Onesokhi Halawa dan Madirihati Gowasa, hanya bekerja di tambang batu. Terkadang, mencari makanan babi dan menyadap karet.
Selepas sarapan, lebih tepatnya makan sepotong ubi rebus, Aida bersiap meninggalkan rumah. Seragam dan sepatu sudah dimasukkan ke dalam tas punggungnya. Aida hanya memakai sandal jepit. Tepat pukul 6.15 wib, Aida bersama kakak keduanya, Vitri Heni Halawa berjalan menuruni bukit. Menembus hutan karet dan kakao yang masih basah menuju sekolah. Mereka kakak beradik yang umurnya hanya terpaut 1 tahun 2 bulan. Vitri kelas X, mengambil jurusan Tata Boga di SMKN 1 Telukdalam. Berdua, mereka berjalan kaki sampai ke sekolah.
Sementara, kedua adik lelakinya, Arjul Halawa dan Arisman Halawa yang masih duduk di bangku sekolah dasar masih terlelap dipelukan Madirihati Halawa. Kakak sulung Aida, Hepirman Halawa tidak tidur di rumah bersama adik-adiknya. Hepirman memilih tidur di rumah nenek yang teletak persis di bibir jalan raya. Yang ada listriknya. Maklum, rumah Aida tidak memiliki jaringan listrik. Lagian, PLN mana mau menarik kabel ratusan meter hanya untuk memberikan pasokan listrik satu rumah. Tidak ada untungnya. Malah rugi bandar.
Kalau untuk sekadar melihat televisi dan mengisi batre gawainya, Aida dan keluarga rela meninggalkan rumah sampai larut malam di rumah nenek. Karena hanya di rumah neneklah, kehidupan modern ada di sana. Jika itu ukurannya listrik dan televisi. Selebihnya, Aida memilih tinggal di rumah, meski di tengah hutan sekalipun.

***
Setahun setelah Aida Fitra Halawa lahir, Pulau Nias diguncang gempa dan tsunami. Gempa berkekuatan 8,7 SR itu meninggalkan luka yang sangat mendalam. Lebih dari 1.000 orang meninggal. Lebih dari 2.391 orang terluka parah. Kota lumpuh. Semua bangunan rata dengan tanah. Ini merupakan gempa terbesar kedelapan sejak tahun 1900. Aida tidak mengetahui itu. Yang ia tahu, Nias adalah pulau yang memiliki banyak pantai yang indah.
Sejak pindah dari Kabupaten Nias Barat ke Kabupaten Nias Selatan, orangtua Aida memilih bekerja menjadi penambang batu di Desa Hilionaha. Di tambang batu itu, orangtua Aida harus berbagi titik dengan sejumlah penambang yang lain. Beruntung, di lokasi tambang itu, kakek Aida sudah terlebih dahulu bekerja di sana. Senior. Tak butuh waktu lama dan proses yang berbelit-belit untuk mendapatkan titik galian. Ayah Aida cukup membayar uang pakai dan olah lahan sebesar Rp 2 juta setahun kepada pemilik lahan.
Setiap hari, selalu datang mobil pengangkut batu, L 300. Untuk mengangkut batu, satu mobil pengangkut dikenakan Rp 50.000. Itupun masih dipotong oleh pemilik jalan menuju lokasi tambang sebesar Rp 10.000. Sialnya, tidak setiap hari batu yang sudah berhasil diangkat dari dalam tanah, dibeli orang. Kadang, kerja keras benar-benar membohongi hasil.
Praktek penambangan batu di Nias sudah lama terjadi. Sejak 30 tahun silam. Namun paska gempa dan tsunami, praktek penambangan batu semakin meningkat. Sebab, permintaan material untuk kerja-kerja konstruksi semakin banyak. Anak-anak pun tak luput dari pekerjaan keras itu. Aida salah satunya.
***
Di luar ruang kelas, hujan turun sangat deras. Aida berdiri di antara pintu kelas. Aida menunggu hujan reda. Ia ingin bergegas pulang. Bergegas ke tambang membantu ayah ibunya mengumpulkan batu. Hepirman Halawa tidak bisa menjemput Aida. Dia harus berada di lokasi tambang batu membatu ayahnya, Onesokhi Halawa menggali dan memecah batu. Kemudian dikumpulkan untuk membangun rumah di pinggir jalan. Meninggalkan rumah lama di tengah hutan, di atas bukit. “Kami sedang membangun rumah di pinggir jalan. Agar kami tak jauh ke lokasi tambang dan ke sekolah,” kata Aida.
Meski hujan rintik-rintik, Aida terpaksa menembusnya. Berlari sekencang-kencangnya, menghindari basah. Aida tak menoleh sedikitpun ke belakang. Dia harus segera sampai rumah. Berganti baju. Makan secukupnya. Lantas kemudian pergi ke tambang batu bersama Vitri Heni Halawa.
Sayang, begitu sampai di rumah nenek, Aida tak melihat kedua kakaknya. Aida takut kena marah karena terlambat pergi ke tambang batu. “Saya kerap bertengkar dengan kakak hanya karena telat datang ke tambang,” ungkapnya.
Jelas, Aida tak mengenal Hugh Waddington, Ahli Ekonomi yang termahsyur itu. Apalagi membaca tulisannya. Baiklah Aida, saya kutipkan pemikiran Hugh untukmu, begini: perkembangan fisik, mental dan sosial seseorang terjadi pada masa kanak-kanak. Mereka belum mampu memenuhi kebutuhan dasar secara mandiri. Ketika pertumbuhan di fase usia anak tidak optimal, akan berdampak negative terhadap kemampuannya saat dewasa. Karena, Aida, anak seperti kamu butuh lebih dari indikator finansial. Kamu butuh tumbuh kembang yang sehat.

***
Seperti yang tertulis di laman theconversation.com, sebagai salah satu Negara yang sudah meratifikasi Konvensi Hak Anak, pemerintah Indonesia dituntut memberikan jaminan atas pemenuhan hak dan perlindungan anak-anak Indonesia.
Mengacu pada konvensi itu, hak anak tidak sebatas pada pemenuhan kebutuhan finansial, tetapi juga berbagai dimensi yang terkait erat dengan kehidupan mereka. Kamu, Aida, pasti tak kenal dengan Grootaert dan Kanbur. Bahkan, mendengar namanya saja kamu pasti belum pernah. Nama-nama dan hasil penelitian mereka memang tidak diajarkan di bangku-bangku sekolah. Seperti di sekolahmu salah satunya. Tapi, saya akan tuliskan dua dari 4 faktor penentu anak seusiamu bekerja menurut mereka.
Pertama, jumlah anak dalam rumah tangga merupakan faktor penentu yang potensial. Karena semakin banyak jumlah keluarga akan mengurangi partisipasi sekolah anak-anak dan mengurangi investasi orangtua untuk menyekolahkan anak-anaknya. Dengan kata lain, makin besar jumlah anggota keluarga akan meningkatkan risiko anak-anak untuk bekerja.
Faktor kedua, Aida, dengan mengijinkanmu bekerja membantu orangtua itu merupakan strategi untuk meminimalkan terhentinya arus pemasukan pendapatan rumah tangga dan mengurangi dampak anggota keluarga yang kehilangan pekerjaan. Pada rumah tangga yang termasuk ke dalam katagori miskin – saya tidak bilang kamu berasal dari keluarga miskin – biasanya tidak memiliki aset yang dapat dijual serta tidak memiliki jaringan untuk meminjam uang, dan kehilangan pekerjaan merupakan ancaman bagi kelangsungan hidup keluarga.
***
Dengan cekatan Aida turun naik lubang yang sudah dibuatkan Onesokhi Halawa. Tangan mungilnya mengangkut satu per satu batu seukuran kepala orang dewasa dari bawah ke atas. Itu yang berkali-kali Aida lakukan. “Sudah biasa. Saya melakukan ini sejak kelas 4 SD. Anak-anak di sini sudah biasa,” ungkapnya.
Angin bertiup kencang. Pekat berganti terang. Matahari tepat di atas kepala. Aida pergi ke bilik yang dibangun kakek dan neneknya. Mengambil topi merah pilihannya. “Dulu sebelum pakai topi, kepala sering pusing kena matahari. Kalau sekarang sih tidak,” jelas Aida.
Saat di tambang batu, Aida tidak terlihat seperti anak perempuan 14 tahun. Dia tumbuh dan besar di lingkungan yang mayoritas laki-laki dewasa dan sarat pengalaman. Aida hanyalah perempuan 14 tahun yang berada dalam cengkeraman tambang batu.

***
Silam, sekira tahun 2017, di lokasi di mana Aida dan keluarganya bekerja menggali dan mengangkat batu, pernah ada korban jiwa. Seorang penambang meninggal tertimpa longsoran batu. Meninggal seketika. Tergencet batu yang telah menjadi sandaran finansialnya. “Iya tahu kabar itu. Tapi saya nggak takut, karena saya mencari tempat yang aman,” katanya.
***
Sekira pukul 17.00 wib, Aida dan kedua orangtuanya serta kedua kakaknya meninggalkan tambang batu yang mulai gelap dan rapuh. Wajah lelah Aida tak bisa bersembunyi. Aida termasuk anak yang jarang tersenyum riang di antara anak-anak yang lain.
Alat-alat produksi sudah disandarkan pada sebongkah batu. Celotehan anak-anak yang bermain di tambang sudah menguap bersama pergantian waktu. Aida berjalan paling belakang. Di depannya, Vitri Heni Halawa membawa tas hitam berisi sisa makan siang yang tak habis. Kedua orangtuanya melangkah lebih cepat.
Di rumah nenek, Arjul Halawa dan Arisman Halawa sudah menunggu. Bertujuh, mereka berjalan kaki menembus pekatnya hutan dan kebun karet. Setiap hari, ini yang dilakukan Aida dan keluarganya. Ya setiap hari. Tidak ada libur. Karena baginya, mungkin, libur adalah menunda kesuksesan. Karena kembali ke rumah yang menghadap matahari terbenam adalah sebuah akhir.
Sebagian tulisan diolah dari neliti.com
Dony P. Herwanto, documentary maker, peminum kopi yang setia dan pembaca buku. Menulis untuk menjaga kewarasan dan ingatan.
Discussion about this post