
- Artikel Dony P. Herwanto
Belum juga balapan Moto GP di Sirkuit Automotodrom Brno, Ceko dimulai, warga Kabupaten Lombok Utara yang sudah bersiap menyaksikan balapan itu berhamburan keluar rumah. “Gempa, gempa, gempa” teriak semua orang. Dan dalam sekejab, ribuan rumah di Desa Gumantar, Dusun Beleq rata dengan tanah.
Itu terjadi sekitar pukul 19.46 Waktu Indonesia Tengah, hari Minggu 5 Agustus 2018. Kecuali orang-orang yang di luar rumah, hampir semua orang yang berada di dalam rumah menjadi korban gempa berkekuatan 7,0 SR. Ada beberapa yang selamat.
Ini gempa terbesar di Lombok sejak tahun 1979. “Kami seperti diaduk-aduk dalam sebuah mangkuk. Bukan ke kanan, ke kiri. Tapi kami naik turun,” cerita Jumayar, salah satu warga Desa Gumantar, Dusun Beleq, Kabupaten Lombok Utara mengisahkan malam kelam itu.
Entah dapat kekuatan dan kecepatan darimana, Jumayar yang ketika itu berada di dalam kamar melompat dari tempat tidur dan berlari menuju ruang tengah. Ruang di mana anak dan istrinya berada. “Dalam pikiran, saya harus menyelamatkan istri dan anak saya,” ucapnya.
“Saya sudah tidak perduli dengan keadaan saya. Yang penting mereka berdua selamat,” katanya. Tidak lebih dari 5 detik, Desa Gumantar, Dusun Beleq luluh lantak, bahkan hampir sebagian besar bangunan di Pulau Seribu Masjid rubuh. Kembali ke tanah.
Gempa kedua ini, kekuatannya lebih besar dari gempa pertama yang terjadi pada Minggu, 29 Juli 2018 yakni sebesar 6,4 SR. Tapi bagaimana pun, Jumayar dan ribuan warga Lombok tak pernah membayangkan tanah kelahirannya porak-poranda. Bermimpi tentang kehancuran saja tidak pernah.
Setelah memastikan anak dan istrinya selamat, Jumayar tak menyangka jika kayu penyangga atap rumahnya menimpa tubuh bagian belakang. Jumayar tersungkur. Darah mengalir hingga menutupi sebagian wajahnya. Tubuh bagian belakang tertimpa kayu sepanjang 10 meter. Sementara tubuh bagian depan tak bisa menghindar dari puing-puing rumah yang dibangun dari cucuran keringat semasa Lombok dipimpin Tuan Guru Bajang.

“Rumah-rumah dan warga di Kampung Adat Beleq semua selamat,” kata Jumayar. Ia menyebut bahwa kearifan lokal telah menyelamatkan warga di Kampung Adat yang letaknya hanya sepelemparan batu.
Sistem peringatan dini, sudah dimiliki masyarakat adat. Mungkin jauh sebelum kita memiliki dan mengenal Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika yang kerap terlambat mengumumkan kejadian bencana.
“Dan terbukti, dan terjawab 2018 ini gempa yang kekuatan 7,0 SR rumah tradisional di Dusun Beleq Alhamdulillah 100 persen masih berdiri kokoh, tegak, kuat,” jelas Jumayar.
Jumayar tak ingin menyalahkan siapa-siapa.
Senin pagi, Jumayar memboyong istri dan anaknya masuk ke dalam Perkampungan Adat. Berugaq Sekenem dipilih sebagai tempat tinggalnya sementara. Padahal, sebenarnya dia punya hak untuk tinggal di Bale Mengina (sebutan untuk rumah adat Suku Sasak yang tinggal di pegunungan) karena orangtuanya dan orangtua istrinya merupakan warga asli Perkampungan Adat.
Dari sinilah muncul rasa penyesalan yang mendalam pada diri Jumayar dan ratusan warga yang tinggal bersebelahan dengan perkampungan adat. “Kami sok tahu dan lupa akan tradisi nenek moyang. Kami dengan sombongnya membangun rumah dari semen dan batu yang pada akhirnya rubuh juga,” ungkap Jumayar.
***
Sahir, Pembekel Adat Desa Gumantar Dusun Beleq tak kuasa menahan air matanya. Sebagai Pembekel dan sekaligus Kepala Dusun, Sahir seolah tak bisa berbuat apa-apa. Sebagai seorang pemimpin, dia merasa gagal. Merasa tak berguna.
Babad Lombok yang pernah dia pelajari seolah tak berarti apa-apa saat melihat penderitaan yang dialami warganya. Seharusnya, itu tidak terjadi. Seharusnya itu bisa dicegah. Seharusnya bisa diminimalisir, jika seandainya Babad Lombok menjadi pegangan warga yang tinggal di luar pagar Perkampungan Adat Dusun Beleq.
“Saya menyesal. Sungguh menyesal. Kami punya catatan penting yang seharusnya bisa menyelamatkan kami dari dampak gempa bumi,” kata Sahir. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Sahir hanya bisa memandang kosong ratusan warga yang dengan inisiatif sendiri membangun kembali rumahnya. Membangun dari sisa-sisa reruntuhan rumah.
***
Pada akhirnya, Andrea Dovizioso, Pebalap dari Ducati berhasil menjadi yang terdepan di Sirkuit Automotodrom Brno, Ceko. Dovi berhasil mengalahkan dominasi Marc Marquez, dan Valentino Rossi.
Jumayar tak perduli itu. Siapa pun yang menjadi juara di gelaran Moto GP Ceko sudah tak penting lagi. Rumahnya rata dengan tanah. Satu-satunya televisi yang dia miliki bernasib sama dengan sejumlah barang elektronik lainnya. Tertimpa balok-balok kayu. Tertimpa rumah yang seharusnya mampu melindungi penghuninya.
Di Ceko, Dovi tertawa dengan mengangkat piala. Di Lombok, Jumayar tak mampu mengangkat kepala.
***
Sepanjang malam itu, Jumayar tak bisa melihat apa-apa. Gelap. Benar-benar gelap. Satu-satunya cahaya yang terlihat bersumber dari bulan yang belum genap bersinar. Jumayar mendekap anak perempuannya. Anak tujuh tahun itu menangis ketakutan. Dekapan Jumayar makin kencang. Tak jauh dari mereka, Sahir berlari bersama warga dari Kampung Adat menuju perkampungan di luar pagar. Sahir terlihat sibuk menyelamatkan satu per satu warganya. Menenangkan warga yang terus menangis dan menyebut kebesaran nama Sang Pencipta.

Malam itu, hanya tangis dan doa yang terdengar. Tangis dan doa dari anak dan istri Jumayar. Pun ribuan warga Lombok yang menjadi korban. Tegakkan Kepalamu Jum, Tegakkan.
Siangnya, Sahir meminta kepada warga untuk segera membersihkan puing-puing rumah dan meminta sebagian warga membangun tenda-tenda darurat. Tak jauh dari Perkampungan Adat. Bahkan Sahir meminta warga untuk membangun tenda di areal Perkampungan Adat itu sendiri. Sahir ingin menebus kesalahannya. Mengabaikan petuah leluhur, “Rumah batu itu adalah musuhmu,”
Tak pelak, sebanyak 436 warga meninggal dunia. Sebanyak 1.353 luka-luka berat dan ringan. Sekitar 352.793 jiwa tinggal di tenda-tenda pengungsian yang tersebar di 5 Kabupaten. Seperti yang tertulis pada halaman website BNPB
***
“Kalau menyesal tidak,” ucap Jumayar.
“Cuma saya secara pribadi harus berpikir kembali, saya harus berpikir tentang konsep-konsep leluhur-leluhur kami untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak kita inginkan,” lanjutnya.
“Sekarang kita membuat rumah yang tidak layak menurut orang, tetapi ternyata menurut alam inilah yang layak” terang Jumayar.
Seminggu paska gempa yang datang terus menerus, Jumayar mulai kembali membangun rumahnya. Rumah yang benar-benar bisa melindungi anak dan istrinya jika sewaktu-waktu terjadi gempa. “Meski sederhana, yang penting aman. Bisa melindungi kami,” ungkapnya.
Dari dalam Berugaq Sekenem, Sahir hanya bisa melihat Jumayar membangun kembali rumahnya dari sisa puing-puing yang masih terselamatkan. Sahir menghela nafas dalam, sangat dalam. Dia teringat bagaimana perjuangan dan pengorbanan Jumayar menyelamatkan anak dan istrinya dari ancaman tertimpa balok-balok kayu dan beton yang menyusun rumahnya.
Seandainya terlambat sedikit, entahlah apa yang terjadi. “Saya hampir mati karena tertimpa balok kayu dan terbentur batu,” kata Sahir menirukan pengakuan Jumayar saat kejadian.

“Dari kejadian ini, setidaknya kami ada trauma yang sangat besar untuk membuat rumah yang seperti yang diidam-idamkan itu tetapi tidak ada maknanya,” kata Jumayar.
“Saya bangga menjadi masyarakat adat, karena kami selamat dari bencana ini,” pungkas Sahir.
***
“Pitung dina lami nira, Getuh hiku hangebeki pertiwi, Hanerus maring batu dendeng kang hanyut. Wong ngipun kabeh hing paliya. Saweneh munggah hing ngukir..” artinya, Tujuh hari lamanya, gempa dahsyat meruyak bumi, Terdampar di leneng (lenek), diseret oleh batu gunung yang hanyut, manusia berlari semua…sebagian lagi naik ke bukit.. itulah Babad Lombok yang pernah dibaca Sahir. Jumayar pun sama. Tapi mereka lupa.
Mereka lupa bahwa jauh sebelum 2018, Lombok pernah diguncang gempa. Bale Mengina, salah satu jenis rumah adat di Perkampungan Adat Sasak di Dusun Beleq salah satu buktinya. Bukti yang tidak bisa terbantahkan. Bukti bahwa masyarakat adat siap untuk selamat.
Tegakkan Kepalamu Jum, Tegakkan.
#TangguhAward2018 #BudayaSadarBencana #SiapUntukSelamat
Dony P. Herwanto, documentary maker, peminum kopi yang setia dan pembaca buku. Menulis untuk menjaga kewarasan dan ingatan.
Discussion about this post