
Guna memperkuat riset terkait genetika dan membantu penegak hukum dalam menangani kasus-kasus kejahatan terhadap satwa liar, Universitas Indonesia dan Wildlife Conservation Society Indonesia, serta dukungan dari Kedutaan Inggris menggelar Seminar Nasional bertajuk Teknologi Genomik dan Forensik Molekular Satwa Liar.
Beberapa pembicara nasional dan internasional berbagi pengetahuan, pengalaman, serta informasi seputar penggunaan teknologi DNA sebagai strategi konservasi satwa liar kepada 150 peserta.
“Penanggulangan perdagangan satwa liar ilegal di Indonesia memerlukan berbagai pendekatan baru, misalnya penggunaan teknologi terkini yakni forensik satwa liar berbasis DNA,” kata Abdul Haris, Dekan Fakultas MIPA Universitas Indonesia.
“Penelitian melalui DNA satwa bisa didapatkan dari beberapa sumber seperti darah, rambut, kotoran, urin, tulang, dan juga air liur. Sampel-sampel yang dikumpulkan dari barang-barang sitaan maupun populasi satwa liar di alam,” imbuhnya.
Di Indonesia, genetika satwa liar dapat digunakan untuk, mengidentifikasi jenis satwa dari bagian tubuh satwa yang disita, seperti empedu, taring, cakar beruang, gading gajah, kuda laut, tulang, taring, dan cakar harimau yang sering disita di Bandar Soekarno Hatta.
Baca juga: Air Mata di Tanah Bandara
Kemudian, Mendapatkan data akurat jumlah satwa liar, seperti gajah sumatera di Taman Nasional Way Kambas yang menjadi tempat tinggal 10-17% dari populasi seluruh Gajah Sumatera dan saat ini mendapat ancaman terhadap keberlangsungan populasi karena perburuan terhadap gajah.
Serta memastikan apakah satwa liar yang sulit teridentifikasi, seperti Badak Sumatera, masih tersisa di habitatnya dan tidak salah teridentifikasi sebagai spesies lain seperti tapir.
Lebih dari itu, teknik-teknik penggunaan analisis DNA ini sangat penting terhadap penegakan hukum terkait perlindungan satwa liar di Indonesia. Analisis DNA dapat menyediakan data akurat terhadap pengaturan kuota untuk pemanfaatan satwa liar yang berkelanjutan di Indonesia di bawah PP 8/ 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar dan CITES.
Selain itu, teknik DNA ini juga diharapkan dapat memperkuat penegakan hukum dengan memberi bukti tambahan yang memperberat tuntutan terhadap pelaku kejahatan, terutama pada kasus-kasus perdagangan satwa liar ilegal transnasional.
Dari seminar tersebut terungkap bahwa analisis DNA juga memudahkan aparat penegak hukum untuk menelusuri asal satwa yang telah diperjualbelikan. Contohnya, gading gajah afrika yang disita di Singapura dan Hongkong ternyata berasal dari populasi gajah di Gabon dan Kongo-Brazaville.
Baca juga: Yang Luput dan Sebuah Narasi Panjang
Setelah kesuksesan pemeriksaan benda-benda sitaan yang berasal dari satwa liar di Sumatra, pemeriksaan akan berlanjut ke Kalimantan, Jawa, dan pulau-pulau lain sehingga sangat penting untuk memastikan bahwa semua informasi genetik dari pemeriksaan barang sitaan tersebut dianalisis dan terdokumentasi dengan baik sebelum dimusnahkan oleh satgas gabungan antara Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK) dengan dukungan dari Wildlife Conservation Society (WCS).
Direktur WCS Indonesia, Noviar Andayani mengatakan, penelitian konservasi keanekaragaman hayati di Indonesia masih sangat terbatas dan belum menjadi prioritas di lembaga-lembaga penelitian biologi molekuler.
“Semoga pertemuan ini dapat meningkatkan kapasitas ilmuwan Indonesia dalam melakukan penelitian genetika satwa liar dan memperbaiki pengelolaan konservasi spesies yang dilindungi secara nasional dan/ atau terdaftar di CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna & Flora) dan terbentuk konsorsium nasional untuk memperkuat riset terkait genetika satwa liar,” jelasnya.
Wakil Duta Besar Inggris untuk Indonesia, Rob Fenn menambahkan, sebagai negara megabiodiversitas, pendeteksian menggunakan DNA satwa liar memegang peranan penting untuk konservasi satwa dan keanekaragaman hayati di Indonesia.
“Kami berharap seminar ini dapat menginspirasi lebih banyak pihak untuk terlibat dalam kegiatan konservasi satwa liar di Indonesia dan mendukung penegakan hukum terhadap kasus kejahatan dan perdagangan satwa liar,” katanya.
Baca juga: Sekolah Kami Berpagar Sungai, Berdinding Tebing
Seminar ini merupakan rangkaian pertama dari kegiatan tiga hari mengenai Teknologi Genomik dan Forensik Molekular Satwa Liar. Pada hari kedua dan ketiga, seminar akan dilanjutkan dengan diskusi kelompok terarah (focus group discussion – FGD) dan lokakarya untuk membentuk konsorsium nasional yang terdiri atas berbagai pihak seperti pemerintah, akademisi, peneliti, dan mahasiswa, untuk meningkatkan koordinasi antar institusi dalam menyelesaikan isu-isu perdagangan satwa liar legal maupun ilegal melalui penegakan hukum dan pengawasan CITES.
[Tulisan ini diolah dari rilis WCS Indonesia]
Dony P. Herwanto, documentary maker, peminum kopi yang setia dan pembaca buku. Menulis untuk menjaga kewarasan dan ingatan.
Discussion about this post