Seluang.id
  • KotaHujan
  • Editor’s Pick
  • Populer
  • About Seluang
  • Login
No Result
View All Result
  • Landscape
  • Our Story
  • Art
  • Amatan & Opini
SeluangID
  • KotaHujan
  • Editor’s Pick
  • Populer
  • About Seluang
No Result
View All Result
SeluangID
No Result
View All Result

Tidakkah Kau Menyesal, Jadi Orang Pergerakan?

SeluangID by SeluangID
1 Juli 2019
in Obituari
Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsApp
Adam Malik. Sumber foto : www.narakata.com
  • Artikel Hasan Aspahani
  • Tuan Vermijs membelalakkan mata pada Asmara Hadi, melanjutan ocehannya, “Indonesia Merdeka? Meskipun seribu tahun lamanya rakyat di sini bergerak, Indonesia tak akan merdeka!.

    Kamu semuanya harus berterima kasih bahwa pemerintah di sini sangat sopan.

    Kalau saya yang berkuasa di sini maka segala orang yang menyebut dirinya pemimpin rakyat akan berayun di tiang gantungan!”

    Asmara Hadi menahan diri. Tujuannya menghadap Tuan Vermijs adalah menyampaikan permintaan kawan-kawannya yang ditahan.

    Situasi pembicaraan berkembang menjadi buruk. Ia tak membalas kata-kata Tuan Vermijs.

    Baca juga : Dan Menyerahlah Belanda

    Ah, Tuan Vermijs, saya kasihan mendengar kata-kata Tuan. Tuan lupa sejarah bangsa Tuan sendiri.

    Tuan lupa pada Willem van Orange yang oleh bangsa Tuan dipuja sebagai pahlawan nasional.

    Apakah kemerdekaan itu hanya untuk bangsa Tuan saja? Bangsa Eropa saja? Dan kami bangsa Asia tak berhak?

    Tuan menyebut nama Sukarno, Hatta, dan Thamrin. Buat kami orang Indonesia nama-nama itu adalah simbol semangat kami.

    Dari kehidupan mereka, pengarang-pengarang di zaman nanti akan mendapat ilham untuk mengarang drama dan tragedi.

    Sampai akhir zaman bangsa Indonesia akan menghormati pahlawan-pahlawannya.

    Tuan katakan tadi bahwa Indonesia tidak akan merdeka? Benar, lama sudah Indonesia menjadi koloni, sudah lebih dari tiga ratus tahun.

    Tetapi meski tiga ratus tibu tahun pun tidak bisa menghilangkan hak atas kemerdekaan itu.

    Dalam zaman jang sangat dahsjat / Membuat hati cabar dan sangsi / Jiwaku sudah dapat melihat / Sinar kemenangan kami nanti.

    Dalam suara topan yang bergegar / Gemuruh melalui dunia / Jiwaku sudah dapat mendengar / Sorak kemenangan di Indonesia.

    Baca juga : Pidato Soeharto dan Surat Tagore Kepada Gandhi

    Tuan Vermijs, tidakkah Tuan dengar gegar suara angkatan udara? Deramnya meriam dan dentuman bom sekarang?

    Bagi kami bunyi yang dahsyat itu adalah seperti lagu yang datang dari Fujiyama melintasi gunung dan samudera, rimba raya dan tanah datar.

    Laguan yang menunjukkan bahwa antero Asia tidak lama lagi akan merdeka!

    Hadi meninggalkan Tuan Vermijs dengan kecamuk berbagai pikiran di kepalanya.

    Permintaan agar ia dan kawan-kawannya yang ditahan diizinkan dulu membereskan hal-hal rumah tangga tidak dikabulkan.

    Seminggu setelah menghadap, Tuan Vermijs kembali memanggil Asmara Hadi.

    Sekali lagi ia dipaksa supaya mengakui bahwa revolusi artinya pemberontakan, pertumpahan darah, dan sekali lagi dia tetap menentangnya.

    “Kalau Tuan tidak mau ikut pendapat saya, saya tidak bisa membebaskan Tuan! Saya tahu siapa Tuan Hadi,”.

    “Ketika bersekolah Tuan tinggal pada Sukarno, ketika dia diasingkan di Ende Tuan ikut pula ke sana, lebih setahun Tuan tinggal di sana dan sekarang Tuan menjadi suami anaknya,”.

    “Tentu keyakinan politik Tuan sama dengan mertua Tuan,”. “Tuan mesti diinternir!”

    “Bolehkan istri saya mengikut?”

    “Buat sementara tidak boleh.Tapi barangkali nanti akan diadakan aturan lain.”

    “Bolehkah saya bersua dulu dengan istri saya sebelum saya berangkat?”

    “Itupun tidak boleh!”

    “Kejam sekali”

    “Saya mesti lakukan itu!”

    Baca juga : Merah dan Putih pada Bendera Pusaka itu Pernah Dipisahkan

    Para tahanan itu harus menghabiskan waktu 36 hari lamanya di sel-sel Seksi Ketiga, barulah dikeluarkan dan dibawa ke Stasiun Gambir.

    Di sana sudah menunggu Pandoe Kartawigoena dan Adam Malik. Kulit wajah mereka pucat karena sebulan lebih tak terpapar sinar matahari.

    Mereka disuruh masuk ke salah satu gerbong. “Jangan ada yang mencoba lari! Karena sans pardon akan ditembak!”

    Rasanya tak akan ada yang mencoba lari. Mereka masih mencintai hidup dan keluarga mereka.

    Jendela wagon dibiarkan terbuka. Seorang agen polisi berjaga di pintu. Dengan bedil.

    Asmara Hadi memandang keluar jendela kereta.

    “Tidakkah kau menyesal, Dam, menjadi orang pergerakan?” tanya Hadi pada Adam Malik.

    “Menyesal, Di? Tidak ada yang saya sesalkan. Sayang saya hanya punya satu jiwa dan satu badan saja. Kau kan tahu kita ini hendak kemana?”

    “Ke puncak kemenangan!”

    Kereta kembali membawa mereka ke Sukabumi. Kembali ke interneringkamp yang sudah diisi oleh orang Tionghoa yang dituduh sebagai pengikut Wang Jingwei.

    Nama yang dianggap sebagai pengkhianat abadi bagi bangsa Tiongkok, karena mendirikan negara Republik Tiongkok atas dukungan Jepang.

    Para pengikutnya menyebar ke seluruh dunia. Mereka ditangkap dari berbagai tempat di Indonesia.

    Ada yang dibawa ke sana bersama keluarganya, ada yang tercerai-berai, tak tahu lagi di mana anak dan istrinya berada.

    Beberapa hari ditahan di Sukabumi, mereka dipindahkan lagi ke Garut. Di tanjakan Nagrek, kereta merangkak lambat.

    Di Garut, telah berkumpul para tahanan lain, yang ditangkap dengan alasan yang sama, mereka para aktivis politik yang dianggap ingin mengobarkan revolusi melawan Belanda.

    Para tahanan yang baru datang dari Sukabumi disambut dengan sorakan. Kesedihan, akan terasa ringan jika dipikul beramai-ramai.

    Itulah mungkin arti dari sorak-sorai sambutan itu. Dasaad tersenyum.

    Baca juga : Buku Marx dan Engels di Ruang Kerja Mayjen Sutojo Siswomihardjo

    S.K. Trimoerti menyambut dari balik jendela rumah tahanan perempuan. Asmara Hadi memandangi lagi sekeliling kamp interniran itu.

    Pagar kawat berduri. Tiga meter tingginya. Seorang serdadu Belanda dengan bedil berjaga di setiap sudut. Kamp itu menampung kira-kira 500 tahanan.

    “Jangan mendekat pagar. Yang berani memegangnya akan ditembak!”

    Di penjara pada masa perang adalah siksaan, berada pada situasi di mana hidup ada pada titik terendah. Hukum sesungguhnya tak ada.

    Siapa saja bisa diam-diam dihabisi. Tak ada pengadilan. Tak tahu sampai kapan mereka harus ditahan.

    Kesalahan yang dituduhkan pun tak jelas. Mereka, para interniran itu, adalah para aktivis politik yang dianggap membahayakan kekuasaan Belanda. Betapa hebatnya tuduhan itu!

    Dua minggu sekali, para tahanan boleh mengirim kartupos kepada keluarga. Batasnya: 100 patah kata.

    Hadi selalu mengabarkan pada Ratna bahwa keadaannya di kamp Garut tak perlu dicemaskan.

    Dengan kartupos-kartupos itu ia hendak menguatkan istrinya. Harapan yang tak terpenuhi adalah mendapat balasan dari Ratna.

    Ia tak tahu apakah kartupos yang dikirimkan Ratna ditahan oleh petugas kamp, atau memang Ratna tak pernah membalasnya.

    Dikurung di kamp dengan pagar kawat berduri, di dalam kamar yang berpenerangan lampu listrik seadanya, Hadi menulis:

    Teman-temanku, namamu barangkali tidak akan dituliskan orang dalam buku sejarah, patungmu tidak akan didirikan orang, murid-murid sekolah tidak akan menghafalkan namamu sebagi pahlawan, tetapi saya tahu, dalam interingskamp ini kau adalah pahlawan: memikul beban penderitaan dengan tiada mengeluh.

    Kalau yang berkobar-kobar dalam dadamu itu bukan kepahlawanan, saya tidak tahu lagi apa artinya kepahlawanan!

    Baca juga : Penjara tidak Mengubah Seorang Sukarno

    Suatu pagi, Asmara Hadi, Adam Malik, Chadjin, Hakim, Imam, Moelia, Pandoe, Samsoeri, Selamat, Sipahoetar, Soekarni, Soeratin, Wadji, Wikana, mendapat perintah untuk bersiap. Mereka akan segera diberangkatkan!

    Kemana? Tak ada yang tahu.

    Kenapa? Juga tak ada penjelasan. Mungkin karena mereka dianggap bisa mempengaruhi para tahanan lain. Mereka berpamitan.

    “Saudara sabar saja. Ingatlah bahwa Tuhan itu adil dan kuasa melindungi kita!” kata Kasmat kepada Hadi.

    Stasiun Garut penuh.

    Orang-orang itu, rakyat jelata itu, ingin melihat para tahanan ‘penting’ yang hari itu akan dipindahkan lagi entah kemana.

    Kereta berangkat meninggalkan Garut, menembus rel yang di kiri-kanannya hanyalah hutan dan sesekali bentangan sawah. Menuju ke Bandung.

    Di Sukabumi mereka turun dan dititipkan lagi di internerinskamp di sana.

    [Penulis adalah mantan wartawan. Kini bermukim di Jakarta. Giat menulis puisi dan sedang mendalami penulisan naskah film. Tukang gambar yang rajin berkeliling Jakarta]

    Artikel “Tidakkah Kau Mwnyesal Jadi Orang Pergerakan?” merupakan konten kolaborasi dengan narakata.com, konten serupa bisa dilihat di sini

    Tags: asmara hadimerdekaobituariorang pergerakanpergerakan
    SeluangID

    SeluangID

    Related Posts

    Pendar Sinolog Indonesia itu Telah Berpulang

    by SeluangID
    9 September 2020
    0

    David Kwa. Foto: Ist Penulis : Anggit Saranta “Saya David, kang” Lelaki tua itu dengan ramah menyambut dan memperkenalkan...

    Ajip Rosidi: Membaca dan Menulis Tanpa Akhir

    by SeluangID
    30 Juli 2020
    0

    Maman S. Mahayana (tengah) bersama Ajip Rosidi, sebelum sakit dan meninggal. Ditemani Nani Wijaya, istri Ajip Rosidi. Foto: Maman...

    Saya Yakin, Glenn Orang Baik

    by SeluangID
    9 April 2020
    0

    Glenn Fredly. Foto : dok.Glenn Fredly Penulis : Anggitane Gerimis seketika turun dari langit, membasahi tanah meski masih meninggalkan...

    Next Post
    Perempuan di Kabupaten Fakfak, Papua Barat, yang berperan penting dalam perdagangan pala. Foto: INOBU

    Perempuan Dalam Rantai Perdagangan Pala

    Suasana latihan bersama warga negara asing di Setu Babakan,  Jakarta Selatan.  Foto: Hony Irawan / Yayasan Benyamin Sueb.

    Pelatihan Seni Budaya Betawi untuk WNA

    Lilik Fauziah (kanan), menemani Aina Thalita Zahran (2 tahun), anak dengan gangguan fungsi hati kronis atau Atresia Bilier di Rumah Singgah Pejuang Hati, Jakarta. Foto: Dony P. Herwanto

    Lekas Dapatkan Hatimu yang Baru, Aina

    Discussion about this post

    Story Populer

    • Pembacaan Proklamasi kemerdekaan RI oleh Sukarno di Pegangsaan. Sumber foto: Wikipedia

      Proklamasi, Kenapa Pindah dari Ikada ke Pegangsaan?

      0 shares
      Share 0 Tweet 0
    • Coretan-coretan Sukarno pada Teks Proklamasi itu

      0 shares
      Share 0 Tweet 0
    • Telepon Nasution dan Sarwo Edhie Setelah Pranoto Dibebaskan

      0 shares
      Share 0 Tweet 0
    • “Kami tak Ingin Lingkungan Ini Rusak,” kata Yanto

      0 shares
      Share 0 Tweet 0
    • Cara Orang Jawa Menikmati Hidup

      0 shares
      Share 0 Tweet 0
    • Banjir di Jantung Kalimantan

      0 shares
      Share 0 Tweet 0
    • Seni dan Virtual, Antara Eksperimen dan Eksplorasi

      0 shares
      Share 0 Tweet 0
    # # #
    SeluangID

    Kami ingin menyajikan berita melalui cerita. Mimpi sederhana kami: mengisahkan kebenaran - walau itu kecil - ke banyak orang. Karena Dunia Butuh Cerita.

    • Amatan & Opini
    • Art
    • Catatan Redaksi
    • Kota Hujan
    • Landscape
    • Obituari
    • Our Story
    • Review

    Follow Us

    We’d like to hear from you!

    Hubungi Kami di : [email protected]

    Ikramina Residence Blok E No 1 RT 004/007 Desa Bojong, Kecamatan Kemang Kabupaten Bogor Jawa Barat, 16310

    • About Seluang
    • Beranda
    • Pedoman Media Siber

    © 2021 Design by Seluang Institute

    • Landscape
    • Our Story
    • Art
    • Amatan & Opini
    No Result
    View All Result

    Welcome Back!

    Login to your account below

    Forgotten Password?

    Create New Account!

    Fill the forms below to register

    All fields are required. Log In

    Retrieve your password

    Please enter your username or email address to reset your password.

    Log In