
- Artikel Nadyne_Iva
Tokyo itu luas. Rasanya buat saya perlu waktu paling tidak seminggu untuk full keliling spot-spot rekomendasi traveller di Tokyo. Namun karena keterbatasan waktu, saya hanya explore beberapa area seperti Shibuya, Shinjuku, Akihabara dan Odaiba.
Salah satu rasa penasaran ke Tokyo adalah mencoba Tokyo Rush Hour, yaitu naik kereta dan transportasi publik lainnya di saat peak hour. Kami naik Tsukuba Express dari stasiun Aoi menuju Akihabara. Luar biasa penuh tapi karena pengaturan line nya bagus dan ketepatan jadwalnya sempurna, maka waktu dempet-dempetannya hanya sebentar. Padahal saya sudah siap mental untuk berdiri dan “bertarung tubuh” di kereta dengan waktu tempuhnya Depok – Gondangdia. Ternyata Alhamdulillah, hanya sebentar saja.
Begitu kami ganti line di Akihabara St, tanpa komando dan arahan petugas semua orang bergerak dengan irama yang sama. Seakan ada garis imajiner yang membuat orang segitu banyaknya di areal publik yang segitu luasnya untuk berjalan secara rapih dan CEPAT.
Jika kita naik eskalator di Tokyo dan mau berdiri saja maka kita harus mepet ke sisi kiri sehingga sisi lainnya bisa dilewati oleh orang yang berburu waktu. Tapi jika kamu berada di Osaka, maka kamu berdirinya mepet ke kanan.
Satu hal yang benar-benar saya amazed dengan orang Jepang adalah MINDFULNESS OF OTHERS. Mereka rasanya hidup di dimensi yang berbeda dengan penduduk dunia lainnya. Tidak saja terlihat dari tata cara naik tangga tapi juga merasakan ketika saya beberapa kali nyasar (walau sudah pakai GPS) dan bertanya dengan penduduk lokal, mereka dengan kesungguhan hati mencari tahu arah yang kita tuju. Pernah di Kyoto kami dipandu seorang nenek dan supir bus yang sudah sangat senior, sampai beliau turun dari bus nya untuk membaca peta yang hendak saya tuju.
Lalu sewaktu di Odawara oleh seorang bapak yang rela keliling terminal Odawara untuk menemukan bus yang kami akan naiki dengan saya disuruh berdiri di tempat tanpa perlu ikut mencari dengan dia. Kadang saya merasa bersalah bertanya pada mereka karena saking sungguh-sungguhnya seakan menjadi merepotkan. Setelah memastikan saya naik atau tiba di tempat tujuan, mereka senyum dan membungkukkan badan, padahal saya sudah amat sangat merepotkan mereka. Arigatou Japan!

Pada hari pertama saya mendarat di Haneda, saya langsung mengaktifkan JR Pass di bandara. Karena baru aktif keesokan harinya, maka malam itu saya pergi ke Shinjuku dengan membeli karcis kereta lagi namun dengan potongan harga. Lalu melajulah saya dengan LRT menuju Hamamatsucho untuk transit lanjut lagi ke Shinjuku melalui JR Yamanote Line.
Teman-teman saya sudah mengingatkan akan crowded dan besarnya stasiun Shinjuku sehingga paling anti untuk ketemuan di sana, namun baru saya mengerti kekhawatiran mereka ketika menginjakkan kaki di sana.
Besaaarrr dan buaaanyaaak banget orang, dan kita harus tahu ke mana kita akan menuju supaya tidak salah memilih pintu keluar. Walau di papan informasi tertulis west gate/ east gate/ north gate tapi juga dilampirkan keterangan masing-masing landmark yang turis biasa pakai di tiap gate nya.
Ya walau sejelas-jelasnya petunjuk arah, saya tetap saja nyasar.
Malam itu ketika transit di Tokyo saya memutuskan untuk menginap di G’inn Hostels karena biaya murah (dormitory) dan tidak jauh dari Shinjuku station sebab besok paginya saya akan lanjut ke Kyoto menggunakan Shinkansen. Menurut Traveloka dan Google maps, hostels yang saya tuju ini ada di bilangan Kabuki-cho yang berarti tidak jauh dari stasiun dengan estimasi waktu tempuh 10 menit.
Well, saya nyasar sambil geret-geret koper sampai 1 jam lebih. Saya sendiri kala itu, karena teman saya sudah melaju ke Kyoto menggunakan bus malam. Sepanjang jalan yang nyasar itu rasanya tidak berhenti terhenyak melihat betapa ramainya kota Tokyo. Saya mampir ke sevel untuk kirim barang ke rumah sepupu dan lanjut mencari hostelnya.
Ketika sampai di Kabuki-cho yang ternyata merupakan Tokyo Red Light District rasanya seperti masuk ke dalam manga-manga yang saya baca selama ini. Ada gerombolan siswa dengan seragam gakuran dan sailor yang nongkrong sambil ketawa-ketawa, ada host-host pria ganteng yang menawarkan dengan sopan untuk mampir di pub-nya, ada berbagai foto yang dipajang di depan pub sepanjang jalur kabuki-cho.
Konon katanya, para host ini mengajak pengunjung untuk minum di dalam pub-nya sambil ditemani ngobrol. Ada host yang badannya tinggi dan paras profilnya mirip Tomohisa Yamashita. Cmiiww untung kutak tergoda. Hehehe.

Sempat juga saya salah belok masuk ke area love hotel, hotel yang tarifnya jam-jaman dengan nama yang mengundang seperti Leisure Hotel. Ketika saya lewat tempat itu sendirian sambil geret-geret koper beberapa orang melihat dengan bingung. Ok, akhirnya saya memutuskan untuk balik badan dan kembali ke mainroad.
Singkatnya, akhirnya saya menemukan lokasi hostelnya. Receptionistnya baik hati dan tempatnya bersih, cocok untuk menginap sebentar satu malam. Lalu saya janjian untuk bertemu dengan Tiwi-san, teman yang sedang menempuh kuliah di sana.
Malam itu kami dinner di restoran Turki yang tidak jauh dari Kabuki-Cho. Makanannya enak dan ada penari perutnya. Jadi mikir sebenernya saya lagi di Istanbul atau Tokyo? Happy night, full tummy, kind heart companion, mindfullness conversation. Suddenly, i fell for this city. Arigatoyu Tiwi-san for the hospitality.
Sebenarnya di Tokyo saya ingin sekali ke Yoyogi Park dan NHK Studio namun karena keterbatasan waktu saya harus merelakan dua list tersebut dan memilih untuk ke Odaiba. Terinspirasi dari dorama Itazura Na Kiss Love in Tokyo di mana Kotoko Aihara dan Irie Naoki first date ke Odaiba.
Karena letaknya agak ke ujung laut Teluk Tokyo dan tidak ada JR Line yang ke sana maka JR Pass tidak bisa dipakai. Untuk menuju daerah Odaiba, ada LRT khusus yang bisa kita naiki dengan transit di stasiun Shimbashi lalu sambung naik Yurikamome Line dan saya turun di Odaiba Aqua City tempat patung liberty-nya Tokyo berada.
Menikmati dinginnya angin teluk dengan pemandangan rainbow bridge sembari menghisap tolak angin sachetan dan sendiri. Teman saya, Arum, lebih memilih merapat ke Starbucks daripada kedinginan bengong bego sama saya, dengan dalih cari wifii — anak milenial banget kan. Puas mengitari lokasi tersebut kami makan siang di restoran The Oven, buffet all you can eat di Odaiba Aqua City lantai 6. Harganya bersahabat banget Cuma ¥ 1600 dan bisa makan sepuasnya.
Ada menu Japanesse, Western, India dan ada label-label kandungan makanannya. Yang babi dipisah berjauhan. Makannya pun sambil menikmati rainbow bridge, patung liberty dan teluk tokyo. Perfect place for dating or family trip.

Sayangnya saya tidak ke Gundam, karena sudah lelah sekali kalap belanja di Daisho dan Shimamura. Buat kalian yang hobi belanja, saya rasa Shimamura bisa jadi tempat belanja yang asik. Harganya terbilang lebih murah, kualitas oke, desain bisa pilih-pilih.
Saya sempat pisah jalan lagi dengan Arum karena beda tujuan jalan, dia dengan jastip-nya dan saya yang mesmerized dengan sibuknya kota ini. Maka kami pun janjian untuk ketemuan di Shibuya di malam hari. Sebelum bertemu saya menyempatkan keliling area Shibuya dan menemukan toko-toko lucu nan menggoda.
Saya masuk ke sebuah toko buku yang menjual manga-manga bundelan dengan harga miring. Sayangnya saya tidak bisa bahasa Jepang jadi cuma menatap nanar dereta buku yang dipajang. Ada banyak sekali seri lanjutan yang di Indonesia belum terbit. Ya curi-curi baca sedikitlah ya.
Lalu karena malam itu turun hujan, maka suhu turun drastis. Sebagai manusia tropis yang agak lebay dengan angin dingin musim gugur, saya memutuskan untuk merapat ke Gedung Tsutaya. Tidak salah pilih tempat, ternyata gedung tersebut berisi toko musik, toko buku, restoran dan cafe.
Dari sini kita bisa melihat The Famous Shibuya Crossing. Dan memang luar biasa, begitu banyak orang dan kendaraan tapi bisa begitu rapih dan CEPAT. Kebayang kalau di Bundaran HI dibuat penyebrangan serupa pasti tidak kalah menariknya.
Tak lengkap rasanya kalau ke Jepang tidak makan sushi, saya diajak oleh sepupu dan ditemani anak gadis kiciknya ke Hamazushi yang harganya ¥100 / piring. Favoritnya sushi dengan salmon di atasnya pakai bawang bombay dan mayonaise – super suegerrr —

Untuk oleh-oleh, saya kembali ke Shimamura dan supermarket yang ada di dekat rumah sepupu saya di bilangan Aoi – Adachi, Tokyo. Tips menghemat makan selama travelling ala kami adalah membawa rendang kering, kering tempe, abon dan indomie lalu nasi bisa dibeli di supermarket/ minimarket. Kalau sore/malam harganya bisa turun sampai setengahnya. Satu porsi nasi yang tinggal dipanasin di microwave berkisar ¥100 – ¥120.
Selama di Tokyo, saya lebih banyak menghabiskan waktu di malam hari untuk explore tengah kotanya seperti Shinjuku dan Shibuya. Karena siang harinya ke Kamakura dan Odaiba dan lanjut hari terakhir sudah sangat lelah kaki dan badannya memutuskan untuk chillin’ naik sepeda bersama keponakan saya keliling pertokoan Aoi di Adachi-ku Tokyo.
Sebenarnya daerah tersebut juga ga terlalu jauh dari Asakusa, naik Tsukuba Express hanya 2 stasiun tapi menikmati Tokyo bersama gadis cilik sebagai pemandu di boncengan sepeda rasanya juga tak boleh dilewatkan.

Cerita ini menjadi akhir dari Seri Jepang yang saya tulis untuk perjalanan selama 8 hari di akhir November 2017 lalu, semoga nanti ada kesempatan lagi untuk kembali ke sana. Arigatou Japan! So much Love.
NB: Tulisan serupa, bisa dijumpai di Sini
Nadyne_Iva, travel enthusiast, Commuter Depok-Jakarta-Depok, Jack of All Trades, alias banyak maunya.
Discussion about this post